"Makan yang banyak Cita, tante tidak bisa menemani ngobrol, tidak apa yah?"
Ibunya Adi meletakkan satu piring daging rendang di atas meja makan.
Cita tersenyum sambil mengangguk.
"Iya Tante, ngga apa."
Ibu nya Adi menepuk bahu Cita.
"Tante tinggal dulu, Mbak Ela belum terlalu mahir."
Kata Ibu nya Adi yang rupanya kini sudah mulai memiliki asisten.
Sebagai isteri tentara yang belum memiliki pangkat tinggi memang harus pandai mencari uang sampingan, dan Ibunya Adi termasuk isteri tentara yang kreatif.
Tinggal berjauhan dengan suami yang bertugas di wilayah timur Indonesia, Ibu nya Adi mengelola ekonomi keluarga dengan sangat baik hingga keluarganya sangat berkecukupan.
Selain usaha menerima pesanan kue, Ibu nya Adi juga membuka usaha taylor yang karyawannya ada dua.
Usaha yang dirintis di garasi rumah itu juga cukup ramai pelanggan, salah satunya adalah Almarhumah Ibu Cita saat dulu masih hidup.
Cita mengambil nasi tanpa malu-malu, ia sudah biasa berada di rumah Adi, jadi sudah terbiasa ikut makan di sana, sama sebagaimana Adi juga begitu di rumah Cita dulu.
Yah dulu, sebelum Ibu Cita meninggal, sebelum bergaul dengan teman laki-laki seolah sebuah kesalahan besar dan di katakan genit oleh Bibi Irma serta bibi-bibinya yang lain.
"Sebentar lagi kita kelas tiga, kamu akan kuliah di mana Ta? Tetap di Jakarta atau di kota lain?"
Tanya Adi lalu menyuapkan nasi nya ke dalam mulut.
Cita menggeleng.
"Entah, mungkin aku akan bekerja saja, malas kuliah."
Kata Cita lalu menyuapkan nasinya juga ke dalam mulut.
Haish...
Adi mendesis mendengar jawaban Cita yang sama sekali tidak bersemangat.
"Katanya mau jadi pelukis, mau masuk jurusan seni di Jogja."
Kata Adi.
Cita memainkan sendoknya di atas piring.
"Tau ah, malas bahas kuliah."
Sahut Cita lalu memilih meneruskan makannya tanpa mau bicara apapun lagi.
Adi menatap Cita yang makan dengan lahap, lalu setelah habis lebih dulu dari Adi, tampak Cita bergegas membawa piring kosongnya ke dapur untuk ia cuci sebentar.
"Sudah di taruh saja Ta."
Kata Ibu nya Adi.
Cita tersenyum.
"Enggak apa-apa tante, sekalian cuci tangan."
Kata Cita membuat Ibu nya Adi terkekeh.
Setelah mencuci piring Cita menuju ruang tengah rumah Adi, duduk di sana sambil bersandar malas di sofa.
Adi yang baru menyelesaikan makannya tampak menyusul dan duduk juga di sana.
Cita duduk bersandar menatap bingkai besar di ruangan tengah rumah Adi di mana tampak foto keluarga Adi terpasang.
Ada Ayah Adi dengan pakaian Dinas loreng hijau tua yang keren, di sebelahnya Ibu nya Adi memakai kebaya dengan rambut di sanggul, lalu di sebelah kanan kiri mereka berdiri Adi dan Kakak Adi, Bang Angga.
Angga Pratama, kakak Adi yang sekarang tengah kuliah kedokteran di salah satu Universitas terbaik di negeri ini. Yah di mana lagi, jika bukan di UI.
"Kamu akan mengikuti Bang Angga masuk kedokteran yah?"
Tanya Cita pada Adi yang duduk bersandar malas juga di dekat Cita.
"Entah. Dulu iya, sekarang aku ingin masuk tekhnik saja."
Kata Adi.
Cita menghela nafas.
Dulu Cita memang ingin sekali kuliah di Jogja, lalu ingin mengambil jurusan seni rupa. Ia ingin jadi pelukis, karena itu kesukaannya.
Sejak kecil, Cita gemar melukis. Apa yang ia lihat, apa yang ia imajinasikan, apa yang ia inginkan, Cita selalu menuangkannya dalam bentuk lukisan.
Dari yang semula ia hanya menggambar bunga, lalu gunung, lalu sawah, lalu akhirnya binatang dan orang.
Buat Cita melukis itu seperti ia bisa mengekspresikan fikiran dan perasaannya tanpa harus banyak bicara.
Ia bisa menyampaikan apa yang ingin ia luapkan, meskipun mungkin untuk banyak orang tak akan mengerti dalam setiap coretan warna Cita di atas kain kanvas yang mereka lihat.
Suatu hari, Cita pernah melukis seekor anak ayam berdiri di tengah jalan dengan latar langit senja yang mulai beranjak gelap, tapi yang melihat tentu saja mengira Cita hanya melukis anak ayam saja, bukan berusaha mengatakan jika anak ayam ini adalah aku, yang seperti menghadapi masa depan gelap tapi tak tahu harus lari atau tetap berada di sana saja menunggu siapapun membawanya pulang.
"Kamu sangat berbakat Ta, sayang jika ngga diasah supaya lebih matang. Kau tahu tak semua orang terlahir dengan bakat yang nyaris sempurna."
Kata Adi membuyarkan pikiran Cita yang ruwet.
Ah berbakat kata Adi? Tapi nyatanya keluarga besar Cita mengatakan jika hobi melukis Cita hanyalah sesuatu yang buang-buang waktu, lebih baik seperti Dea yang masuk kelas kecantikan dan sudah mulai bisa menghasilkan uang dengan buka salon kecil di rumah.
Cita memang merasa sejak Ibu meninggal semua orang tiba-tiba jadi sangat mengganggu.
Seolah mereka merasa berhak menilai Cita sesuka hati, lalu mengatur hidup Cita juga seenak mereka sendiri.
Cita dan Adi kemudian berbincang seputar sekolah mereka, terutama soal banyaknya kasus perundungan yang belakangan makin sering terjadi di kelas seangkatan mereka maupun juga kakak dan adik kelas mereka.
"Makin ke sini kalau dipikir-pikir sekolah malah seperti hutan yang memakai hukum rimba, siapa yang kuat menginjak-injak dan mengintimidasi yang lemah."
Kata Cita.
Adi mengangguk setuju.
"Di keluarga juga begitu, bahkan bisa sangat menakutkan jika keluarga sudah mulai saingan dan terpecah-pecah."
Gumam Cita seolah tengah mencerminkan keluarga Ayah.
Hari telah senja, Cita pamit pulang, meski sebetulnya ia malas pulang.
Setelah pamit pada Ibu nya Adi, Cita keluar dari rumah diantar Adi.
"Besok jangan bolos lagi Ta, bulan ini kamu sudah bolos tiga kali dan masuk ruang BP dua kali."
Kata Adi.
Cita hanya menghela nafas.
"Jangan cuma karena badmood kamu malah jadi ngorbanin masa depan."
Adi menasehati.
Cita naik ke atas motor, enggan menyahut.
"Ta, aku serius Ta, ini demi kebaikanmu."
Adi masih begitu cerewet.
"Iya besok aku berangkat. Lagian besok senen, aku ngga pernah bolos hari senen."
Sahut Cita akhirnya.
Adi tersenyum sambil menepuk-nepuk atas helm Cita yang sudah dipakai Cita.
Bersamaan dengan itu sebuah motor memasuki pelataran dan kemudian diparkir di sebelah Cita.
Bang Angga tampak membuka helm, tersenyum sekilas pada Cita dan Adi, lalu turun dari motor.
"Sebentar lagi maghrib kok pulang Ta?"
Tanya Bang Angga.
"Bang Angga juga pulang sekarang."
Kata Cita.
"Ah iya, kamu selalu bisa saja jawab, ya sudah ati-ati."
Bang Angga tersenyum, kemudian berlalu meninggalkan keduanya.
Cita menyalakan mesin motornya, lalu meninggalkan pelataran rumah Adi.
**----------**
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 95 Episodes
Comments
novita setya
menghadapi & mengatasi mslh remaja beranjak dewasa hrs sabar & hati2. omongan dijawab katanya ga sopan. omongan didengar doang katanya mengabaikan..jadi gmn
2024-05-23
0
ARSY ALFAZZA
mantap ❤️
2021-12-24
0
Lisa Aulia
ah..hidup memang harus bisa memilih...tp terkadang pilihan yg harus dihadapi terbentur oleh keadaan yg mengharuskan cita2 itu harus terkubur...semua hanya bisa menjadi angan yg takkan bisa digapai...yaelah baru masuk part 2 udh galau aja....
2021-10-13
2