Di pul bus.
Bondan sedang bicara dengan Pak Rusdi di pul bus. Pak Rusdy menceritakan semua yang dia ketahui tentang Rania. Cara Bondan menanyakan perihal Rania membuat Pak Rusdi mengatakannya. Bondan berpura-pura menjadi kerabat Rania yang sudah lama mencarinya.
"Alamatnya di Gang Duren nomer dua puluh, deket ko dari jalan. Ketemu orang kalo nanya juga pasti langsung apal" jelas Pak Rusdi.
"Baik Pak, terima kasih banyak ya Pak!" pamit Bondan.
"Sama sama dek!" jawab Pak Rusdi.
Bondan pergi sambil menelpon Dina.
"Din, restoran itali My Spagheti ya jam satu!"
"Oke kak!" jawab Dina.
Bondan masuk mobil dan melajukan mobilnya ke restoran.
Di rumah sakit.
Rania dan Ramadhan sedang di ruang tunggu operasi. Wajahnya menyiratkan rasa sedih dan khawatir yang dalam. Yudi datang ke rumah sakit dan bertanya pada perawat. Dia ditunjukkan ke ruang operasi dan dia pun lekas ke sana. Terlihat Rania sedang bicara dengan dua orang polisi dan seorang pria paruh baya. Yudi tak jadi menghampirinya, dia diam dibalik tembok dekat dengan mereka. Yudi mendengarkan pembicaraan mereka.
"Begitu Ran, semua memang kecelakaan, tapi pemilik toko yang kena kebakarannya minta emak lu buat ganti rugi atas kerusakannya. Gua udah berusaha buat minta mereka kebijakan, cuma ya gitu Ran, susah kalo urusannya soal duit" ucap Pak Maman.
Dia ketua pedagang di pasar itu, mencoba untuk menjelaskan maksud kedatangan mereka.
Tak sepatah kata pun keluar dari mulut Rania. Yudi mengintip melihat wajahnya dengan rasa kasian. Rania duduk perlahan dan menghela nafas dalam. Para polisi dan Pak Maman hanya menatap dan menunggu jawaban darinya.
Ramadhan pun tak bisa berkata apa-apa, dia hanya mengandalkan ibu dan kakaknya dalam mencari uang. Ramadhan menyentuh bahu kakaknya yang masih terdiam. Rania mengambil nafas dan mulai bicara.
"Ok, Rania ganti. Tapi..." ucap Rania.
Wajah Rania memerah, matanya berkaca-kaca, suara nya parau, tangannya mengepal seolah menahan sebuah rasa yang tidak bisa diungkapkan.
"Tapi Rania minta waktu, Rania akan cari cara untuk bisa mendapatkan uangnya"
Dia menyelesaikan ucapannya dengan sesak di dada. Pak Maman dan polisi meninggalkannya. Ramadhan menunduk dan mulai menangis.
Mata Rania tak henti mengeluarkan air mata. Semua terjadi seperti kilat memyambar. Uang yang selama ini terkumpul untuk biaya sekolah Ramadhan, sudah jelas akan habis untuk biaya operasi kaki ibunya. Belum lagi biaya rawat inap selama penyembuhan. Darimana Rania akan mendapatkan uang. Pikirannya kosong, entah kemana dia harus mencarinya. Meminjam atau bagaimana masih belum terpikirkan. Mata sendunya hanya menatap ruang operasi tempat ibunya terbaring.
Yudi melihat semuanya. Dia hanya terdiam menunduk. Awalnya dia hendak menemui Rania dan membuatnya lebih tenang dengan dukungan moril. Namun hanya uang yang sekarang mampu untuk bisa meringankan bebannya pikir Yudi. Dia pun meninggalkan Rania tanpa menemuinya.
Di restoran.
Bondan duduk melihat papan menu untuk memesan. Yudi masuk dari pintu depan dan langsung menuju dapur. Sedangkan Davin masih di kantornya masih dengan telponnya. Dina masuk dan mencari Bondan. Dia langsung menghampiri Bondan dengan manja.
"Hei, ada apa sih? Aku gak ngerti deh tadi pagi, ngomong apa sih?" tanya Dina sambil menggandeng lengan Bondan.
Bondan menatap tangan Dina yang terkait di lengannya, lalu melepaskannya.
"Lihat ini!" ucap Bondan.
Dia memperlihatkan foto-foto yang dia ambil tadi pagi. Dina mengambil ponsel dan memperhatikan fotonya. Namun dia tak begitu mengerti dan merasa foto itu biasa saja.
"Siapa? Siapa cewek ini?" tanya Dina.
"Perhatiin lebih seksama. Dia mirip banget sama Dila Aryani Subagja" Bondan coba menjelaskan.
Dina mengerutkan dahinya dan mencoba memperhatikan dengan detil. Seolah tak percaya, dia malah tersenyum dan menatap Bondan dengan santai.
"Terus...?"
"Hufffhhh...lu gak ngerti ya. Begini..."
Bondan menjelaskan hal yang ingin dia lakukan. Dina mendengarkan dengan seksama.
"Lu gila! Lu kan tahu Beni itu kayak gimana. Saat dia tahu semuanya dia bakal ngamuk sengamuk ngamuknya" ucap Dina tak setuju.
"Dila gak bakal mau kembali pada Beni yang possesif. Terlebih dia bakal kuliah empat tahun di Amerika. Ini hanya akan jadi rahasia lu, gue dan cewek itu" jelas Bondan meyakinkan.
"Kenapa lu ga biarin aja Beni dalam keadaan kayak gitu? Toh lu sama posisi lu menjadi pewaris Atmajaya Group jadi ga keganggu sama Beni kan!" tanya Dina.
"Adik gue yang ga berguna itu tetap berpengaruh terutama buat nyokap gue. Dibandingkan semua hal yang gue dapet, nyokap gue jauh lebih penting. Karena keadaan Beni yang begitu, nyokap gue jadi sakit-sakitan"
Bondan meremas serbet yang ada di samping piringnya. Dina semakin kagum dengan pribadi Bondan yang cakap dalam bisnis namun juga sangat sayang keluarga.
"Ok, tapi kita harus bisa meyakinkan cewek itu buat mau terikat kontrak sama kita. Kapan kita ke rumahnya?" tanya Dina.
"Malam ini, setelah pulang kantor. Lu tunggu gue di depan kantor" ucap Bondan.
"Ok!" jawab Dina.
Mereka makan dan menyantap makan siang. Sementara Yudi yang sedang memasak sedang berpikir bagaimana cara agar bisa membantu Rania. Hati nya terasa ikut bersedih saat dia melihat Rania menangis. Yudi tak menyadari kini hatinya sudah mulai menerima Rania. Dia mulai menyayanginya. Namun tak mau mengakuinya di depan yang lainnya.
Di rumah sakit.
Ibunya sudah selesai di operasi, kini sudah ada di kamar rawat inap. Rania menemaninya sepanjang hari. Ramadhan bolak balik ke rumah mereka untuk sekedar membawa baju ganti dan apapun yang diperlukan.
Ibunya belum sadar, Rania dan Ramadhan masih bergantian berjaga. Malam ini Ramadhan merasa sangat lelah karena harus bolak balik ke rumah dan ke rumah sakit. Dia minta untuk tidur di rumah dan meminta Rania yang menjaga ibu mereka.
Saat tiba di rumah, Ramadhan mendapat pesan dari tetangga.
"Dhan, Ramadhan!" teriak Bu Yuni tetangga rumahnya.
"Ya Bu!" jawab Ramadhan sambil menghampirinya.
"Gimana ibu kamu?"
"Udah selesai operasi, tapi belum sadar"
"Oh...semoga cepet sembuh ya!"
"Iya makasih Bu!"
"Oh iya, tadi pas kamu selesai ngambil barang ada kerabat yang datang"
"Kerabat?"
Ramadhan sedikit bingung, mencoba mengingat kerabat mereka yang masih hidup.
"Ya, berdua cewek cowok. Nanya nya sih nanya Rania. Sampe mastiin nama lengkap segala. Trus mereka ibu kasih tahu kalo ibu kamu di rumah sakit"
"Kerabat dari mana ya Bu? Perasaan keluarga ibunya Ramadhan udah pada ga ada"
Ramadhan menggaruk kepalanya, meskipun tak merasa gatal.
"Waduh! Ibu udah ngasih tahu kalian di rumah sakit lagi. Apa mereka kesana kali ya?"
Bu Yuni merasa salah memutuskan memberitahu tentang keluarga Rania.
"Tadi pas Ramadhan di sana sih ga ada yang dateng, tau deh kalo sekarang! Ntar Ramadhan coba telpon kak Rania"
"Ya, mudah mudahan beneran kerabat yang mau menjenguk ya Dhan!"
"Iya Bu, permisi!"
"Iya udah sono tidur, dah malem!"
Ramadhan masuk ke rumahnya dan mematikan lampu tengah, dia masuk kamar dan langsung berbaring. Sambil mengirim pesan pada Rania.
[Tadi ada yang nyari kata bu Yuni, cewek cowok, nanyain kak Rania. Mungkin bakalan ke sana, jenguk. Ramadhan dah di rumah mau tidur]
Ramadhan menyimpan ponselnya dan tertidur.
Di rumah sakit.
Rania menerima pesan dari Ramadhan, namun dia tak menghiraukannya. Dia masih menatap ibunya meski kantuk sudah mulai menyerang matanya.
Rania menjatuhkan kepalanya ke bahu kanan dan ke kiri. Mencoba meregangkan otot lehernya yang mulai pegal. Dia berdiri dari kursi dan melihat jendela rumah sakit. Langit malam itu sangat cerah, bintang bertaburan berkerlip cahayanya. Rania menarik nafas dalam. Dia mengalihkan pandangannya ke arah ranjang di sebelah yang kosong. Ruang yang seharusnya di isi 4 pasien ini hanya terisi oleh dua orang, ibunya dan satu lagi seorang pria paruh baya yang juga terlihat mengalami kecelakaan. Tak ada yang menjaganya, namun dia terdengar tertidur pulas.
Rania berjalan keluar kamar untuk mencari minum dan makan. Perut nya baru terasa sakit setelah seharian tak makan apapun. Dia berjalan di lorong rumah sakit, namun langkahnya terhenti. Matanya menatap sosok pria yang sedang duduk di kursi tunggu. Tubuhnya bersandar ke belakang dengan mata tertutup, seperti mencoba untuk tertidur.
Rania mendekat, dia mencoba memperjelas matanya yang seolah tak percaya dengan kehadiran nya. Mata Rania berkaca-kaca,
"Chef!" gumamnya.
Yudi terbangun mendengar Rania menyebut namanya. Mereka saling bertatapan untuk sejenak. Yudi merasa sudah ketahuan yang awalnya berniat sembunyi-sembunyi menemani nya di rumah sakit. Rania melihat ke kanan dan ke kiri.
"Chef, sedang apa di sini? Ada keluarga yang sakit?" tanya Rania polos.
Yudi menganga tak percaya bahwa Rania berpikir dia sedang menunggu keluarganya yang sakit. Dengan sedikit tersenyum dia mengangguk.
"Ya, ada teman masuk rumah sakit. Keluarganya belum bisa datang" jawab Yudi.
Rania tersenyum dan mengangguk, mengerti situasinya.
"Oh ya, aku dengar ibu kamu..." ucapan Yudi belum selesai.
"Iya, di ruang melati. Rania baru mau cari makan, laper!" jawab Rania.
"Oh....mau aku temani?" tanya Yudi.
Rania membulatkan mata sembabnya. Merasa gugup dengan tawaran Yudi yang biasanya cuek padanya.
"Aku juga lapar, sepulang dari restoran langsung ke sini. Biasanya ada yang sekedar mentraktir minuman atau cemilan, hari ini ngga ada" ucap Yudi sambil tersenyum.
Rania tersenyum malu, dia paham Yudi sedang membicarakannya.
"Yuk!" ajak Yudi.
Yudi berdiri dan menawarkan telapak tangannya pada Rania. Rania terdiam menatap tangan nya. Yudi sadar terlalu aneh jika dia bersikap seperti ini. Dia pun memasukkan tangannya ke saku celana.
"Ayo, katanya nasi goreng di depan, enak!" ucap Yudi mengalihkan perhatian.
Rania tersenyum, hatinya kembali mengubah perasaan yang tadinya sudah sangat berharap, yang berpikir bahwa Yudi memang pada dasarnya baik bukan karena perasaannya sudah terbalas. Dia tersenyum lalu berdiri.
"Oh ya, baguslah. Setidaknya rasanya jangan sampai sama kayak makanan di rumah sakit" canda Rania.
Rania berjalan di depan sedangkan Yudi di belakang. Yudi menatap langkah Rania yang ceroboh, kadang tangga pendek pun dia tak melihatnya. Setiap kali Rania terlihat akan jatuh, Yudi terkaget dan hendak menangkapnya. Namun dia memang begitu ceroboh.
Tingkahnya sesuai umurnya yang masih 19 tahun. Ceroboh, riang dan bersemangat. Namun hal yang sangat Yudi kagumi dari Rania adalah kedewasaannya dalam menghadapi masalah hidup. Dia mampu menyimpan air matanya hanya untuk membuat orang yang ada dihadapannya tak merasa khawatir.
Mereka berdua pun makan, setelah itu kembali ke kamar inap ibunya. Yudi mengantar hingga depan pintu ruangan.
"Makasih ya chef, udah mau nemenin makan" ucap Rania.
Yudi sedikit terkejut mendengar ucapan terimakasih Rania.
"Oh...iya...sama sama!" jawab Yudi tergagap.
"Chef harus lihat temannya, mungkin kebangun tadi pas kita makan!" saran Rania.
Yudi terlupa, dia kebingungan dengan ucapan Rania.
"Haah? Teman?" jawab Yudi.
"Iya...bukannya tadi lagi gantiin keluarga temennya Chef?" jelas Rania.
"Ouh...oh iya. Aku kesana dulu. Bye!" ucap Yudi sambil gelagapan
Rania tersenyum dan masuk lalu memeriksa keadaan ibunnya. Yudi pergi, dia langsung pulang sembari tersenyum-senyum sendiri. Dia merasa senang sudah dapat menemani Rania meskipun Rania menganggapnya hanya kebetulan.
Rania menatap ibunya yang masih tertidur. Dia pun menyandarkan kepalanya di kedua tangannya yang dia lipat di sisi ranjang. Mengingat saat dia makan bersama Yudi, orang yang dia sukai. Tersenyum sendiri saat Yudi berusaha mengikuti prasangkanya tentang teman yang sedang dia jenguk. Rania terlelap dalam rasa senang telah menghabiskan waktu bersama orang yang disukainya. Perasaan yang membuat bebannya sedikit terasa ringan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 160 Episodes
Comments
Senajudifa
salken dr kutukan cinta dn mr. playboy mampirlh jika berkenan
2022-07-20
1
Yuna
suka , g terlalu berat juga g bosenin jadi pengen lanjut
2022-07-08
1
Ani Yuliati
aku mampir thor ... semngat y thor jgn kecil hati
2022-05-22
5