Seiring berjalannya waktu, Shelia berusaha menerima janin dalam rahimnya. Dia tidak ingin menghabisi bayi yang tidak berdosa ini, meski dia mendapatkannya dari kemalangan.
Anna yang hendak mengantar pesanan, berhenti ketika melihat Shelia kesakitan.
"Kamu kenapa Shelia?"
"Pe--perutku Anna, perutku sakit." Keluh Shelia sembari meringis menahan sakit di perutnya.
"Sa--sakit?! Apa sudah akan melahirkan?" Anna membulatkan matanya dengan wajah khawatir.
"Entahlah, seharusnya bulan depan kalau menurut perkiraan dokter." Ucap Shelia pelan, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
"Ayo kita ke rumah sakit sekarang!" Anna memapah tubuh Shelia yang membungkuk menahan sakit.
Se-sampainya di sana, Shelia lekas di bawa ke-unit gawat darurat. Anna hanya bisa berdiri sambil mondar-mandir di depan ruangan tersebut.
"Daren! Ya, aku harus menghubungi dia." Anna menyalakan layar ponselnya dan menghubungi Daren, yang tengah berada di luar kota mengurusi cabang Cafe miliknya, karena di sana sedang di renovasi.
Tuuut...Tuuut...!! Suara nada telpon tersambung!
"Halo Anna! Ada apa?" Tanya Daren dari sebrang telpon.
"Tuan Daren, Shelia sepertinya akan melahirkan." Ucap Anna langsung pada intinya.
"Hah? Bagaimana bisa, bukankah perkiraan dokter masih satu bulan lagi?" Pekik Daren setengah berteriak.
"Aku tidak tahu, Tuan. Tadi perut Shelia mengalami kontraksi dan aku lekas membawanya ke rumah sakit." Ucap Anna jujur.
"Hem... Kerja bagus Anna, kamu melakukan hal yang benar! Nanti saya akan kasih kamu bonus." Anna hanya diam, bukan itu yang ia inginkan. Seandainya, dia bisa mendapatkan perhatian Daren seperti Shelia, alangkah bahagianya dia. Tapi, itu semua tidak lah mungkin.
"Terus kabari saya, oke. Saya akan pulang sekarang juga, jaga Shelia dengan baik." Anna hanya mengiakan dan Daren pun memutus sambungan telponnya.
Huft...!!
Anna menghela nafas berat, dia lantas kembali mengintip keadaan Shelia dari balik kaca pintu ruang unit gawat darurat.
Ceklek...!! pintu pun terbuka, seorang dokter wanita paruh baya keluar, lantas berkata.
"Keluarga pasien, atas nama Shelia Shen?!"
"Saya! Dokter, saya Anna temannya Shelia. Su--suaminya sedang di luar kota." Ucap Anna dengan berat hati.
"Oh begitu! Begini, Nona Shelia mengalami kontraksi dini, sebenarnya ini belum waktunya dia melahirkan, namun kondisinya sangat menghawatirkan. Kami terpaksa, harus melakukan tindakan oprasi sesar padanya. Kemungkinan, bayinya juga akan lahir Prematur, dan--," Dokter wanita itu menjeda ucapannya. Ia menghela nafas berat.
"Dokter, tolong lakukan yang terbaik! Saya ingin Ibu beserta bayi nya lahir dengan selamat." Anna berucap penuh penekanan.
"Kami akan berusaha semampu kami, Nona!" Dokter itu pun berlalu.
'Kamu harus baik-baik saja Shelia.' Anna menopang dahi dengan tangannya.
Siang perlahan berganti malam, namun lampu ruang operasi masih terlihat menyala. Daren pun belum nampak batang hidungnya, membuat Anna semakin dilanda kecemasan yang luar biasa. Rasa lapar dan dahaga tak ia hiraukan, saat ini dalam benaknya hanya ada Shelia dan Bayinya.
Ditengah ketegangan dan pergolakan batinnya, seseorang hadir bak air di padang pasir.
"Anna bagaimana keadaan Shelia?!" Tanya Daren dengan wajah panik, nafasnya berhembus tak beraturan. Sepertinya dia lari untuk segera sampai ke ruangan ini dari tempat parkir yang lumayan jauh.
"Shelia masih di ruang operasi." Ucap Anna dengan wajah datar.
Daren terlihat khawatir, tampak beberapa kali dia berusaha mengintip dari lubang kunci, namun tentu saja semua itu hanya hal yang sia-sia. Pintunya tertutup rapat dan terkunci dari dalam. Dia seperti seorang Ayah yang menanti kelahiran buah hatinya sendiri. Dia duduk dan bangkit kembali, lantas mondar-mandir tak karuan.
Anna menatapnya dengan tatapan sendu, seandainya yang di khawatirkan Daren adalah dia betapa bahagianya, tapi kembali lagi ke kenyataan itu hanya seandainya saja. Shelia lebih dulu mengenal Daren, dan Daren pun nampak menaruh hati padanya.
'Sadarlah Anna, kau hanya orang luar di antara mereka! Meski Shelia berkata, kalau dia dan Daren hanya sebatas teman biasa, namun Daren menganggapnya berbeda. Buang perasaanmu jauh-jauh itu akan lebih baik.' Batin Anna bergumam.
Beberapa saat kemudian, lampu ruang operasi pun mati, menandakan operasi telah selesai. Daren lekas berdiri menunggu di depan pintu dengan wajah tak sabar.
Ceklek...!! Pintu pun terbuka, menampakan wajah Dokter tadi tersenyum ramah.
"Selamat, Ibu dan Anak lahir dengan selamat dan sehat!"
***
Lima tahun kemudian!!
"Nici! Jangan terus bermain komputer Nak, mari makan!" Ucap Shelia dengan nada lembut.
"Sebentar Mami, nanggung!" Jawabnya dari balik kursi putar.
"Anak ini, selalu saja begitu. Sebenarnya apa yang selalu dia lakukan akhir-akhir ini?" Gumam Shelia, lantas datang menghampiri Nici yang tengah duduk menghadap komputer.
"Nici, kamu main game apa?" Tanya Shelia sembari mencondongkan tubuh menilik layar komputer.
"Ini hanya game biasa Mami." Jawabnya canggung, sembari lekas mematikan komputer tersebut. Berusaha menyembunyikan sesuatu yang tengah ia cari-cari di internet.
Shelia menatap jagoan kecilnya yang lucu dengan tatapan curiga.
"Kamu gak boong sama Mami, kan?" Nici menggeleng pelan.
"Nicholas Jenner, awas saja kamu kalau ketahuan boong, Mami akan menggelitik kamu sampe ngompol di celana, seperti Bayi." Shelia menyeringai jahil. Sembari mengarahkan kedua tangannya ke perut kecil Nici.
Ya, Anak kecil yang berusia hampir menginjak lima tahun itu, bernama Nicholas Jenner, Shelia biasa memanggilnya Nici. Anak kecil yang lucu dan tampan, memiliki warna mata seperti Shelia dan wajah tampan yang entah mirip dengan siapa.
Nici, menggelengkan kepalanya pelan, "Ancaman Mami tidak bermutu." Dia memberikan jempol terbalik pada Ibunya sembari berlalu.
"Hey, dasar Anak nakal!" Shelia berkecak pinggang, namun tidak di hiraukan olen bocah kecil itu sama sekali.
Shelia, menyusul Nici ke-ruang makan. Dia sudah nampak duduk di kursi faporit nya, sembari menunggu Shelia menghidangkan makan malam untuknya.
"Mami, kapan Papi ke sini?" Bibir mungilnya berucap, sembari mengunyah makanan.
"Nici, sudah mami bilang jangan panggil Papi, panggil dia Om Daren!" Shelia sampai bosan mengingatkan pada Nici agar memanggil Daren, Om, bukannya Papi.
"Papi bilang tidak masalah." Nici berucap tak peduli, dengan suara cadelnya yang khas.
Shelia menghela nafas berat, "ya terserah kamu sajalah. Mami memang tidak pernah menang jika berdebat denganmu."
Ting...Tong...!!
Bell pun berbunyi, Shelia hendak berdiri dan membuka pintu, namun Nici melarangnya, "Biar aku saja Mami!" Ucapnya sembari melompat dari kursi.
Shelia mengurungkan niatnya dan kembali duduk, membiarkan bocah kecil yang akan menginjak usia lima tahun itu membukanya.
"Mami, lihat Papi datang!" Celotehnya, sembari bergelayut manja di leher Daren.
"Nici, apa yang kau katakan, panggil Om Daren, bukan Papi!" Shelia menaikan nada bicaranya.
"Shelia sudahlah, dia hanya Anak kecil. Kamu jangan bersikap keras padanya, memangnya kenapa jika Nic ingin memanggil aku dengan sebutan Papi. Aku memang Papanya, ya kan Nic?"
"Yaps! Papi yang terbaik!" Ucapnya dengan senang sembari mengecup pipi Daren. Shelia hanya menggelengkan kepalanya pelan.
Selepas makan malam, Nici pun berlalu ke kamar hendak tidur. Tapi, apa benar dia tidur? Tentu saja tidak, dia berdiri di balik dinding sembari mengintip dua orang dewasa yang tengah duduk bersama di ruang tamu. Yaitu, Mami nya Shelia dan Daren, yang dia panggil sebagai Papi itu.
'Hehe, Papi aku beri kamu kesempatan untuk medekati Mami! Semoga kamu berhasil!' Gumam Nici dalam hati. Sambil memasang senyum liciknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
Wirda Lubis
si nici anak siapa siapa ayah nya
2023-06-10
0
Okta
bagus thorr
cerita nya gk bertele²👍
2022-09-20
0
Elazmi Puji
mungkin malah shelia hamil bukan hamil anak bp tua,
2021-10-15
4