Setelah berhasil melakukan penyatuan dan mendapatkan puncaknya, Cristian segera melepaskan diri dari Rahimah. Karena kelelahan ia pun tertidur ditambah lagi pengaruh minuman yang ia minum membuat ia lekas ke alam mimpi.
Berbeda dengan Rahimah, ia malah tak bisa tidur dan menangis segukkan. Menahan sakit yang ia rasakan di sekujur tubuhnya terutama di bagian area sensitifnya.
Perlahan ia turun dari ranjang, di carinya baju miliknya yang ternyata sudah sobek tergeletak di atas lantai. Dengan terus menagis ia meraih bawahan bajunya yang tidak jauh berbeda dengan bajunya.
Ia pun memakai jas yang ada di lantai serta celana lelaki yang tertidur nyenyak, bahkan tidak terganggu sama sekali dengan tangisnya. Di ambil dan dikenakannya hijab yang ia temukan di dekat pintu, tas pun ia pungut memasukkan asal barang yang keluar dari dalam tasnya karena masih merasakan ketakutan dan tak henti menangis.
Membuka pintu berjalan pelan dengan tertatih tak tau tujuan seperti kehilangan arah, ia bahkan seperti sudah kehilangan akal tidak tau dimana kamar tempatnya tinggal. Lumayan jauh sudah ia berlalu dari tempat kamar itu, menangis dan menangis sambil terus berjalan. Tiba-tiba ada yang menghampirinya.
"Mbak kenapa?" Pertanyaan seseorang seperti orang yang dikenal di pendengarannya.
Membalikkan badan menghadap orang tersebut seketika membuat orang itu dan temannya tersentak kaget.
"Rahimah." Pekikan serempak dari Nurul dan Dinda segera memeluknya dengan tangisan yang tiba-tiba menyerang walau belum tau jelas apa yang terjadi, tapi melihat keadaan Rahimah yang berantakan dengan baju sorang lelaki membuat mereka peka apa yang terjadi.
"Rahimah ... hiks ... kenapa jadi begini ... heiks ... heiks ..." Ujar Nurul meluknya erat. Rahimah tidak dapat menjawab apapun, pendengarannya seperti tuli, lidahnya terasa kelu, mulutnya seakan terkunci, akalnya bagai hilang entah kemana, hanya tangis yang terdengar dari mulutnya begitu juga dengan Nurul dan dinda.
"Sebaiknya sekarang kita kembali ke kamar." Ajak Dinda membujuk dengan memapah Rahimah dari sebelah kiri dan Nurul di sebelah kanan.
Tiba di dalam kamar mereka, Rahimah segera berlari ke kamar mandi, ia kembali menangis histeris seperti orang g*la. Ia mengambil gayung mengisinya dengan air, lalu menyiramkannya ke kepala dengan cepat dan kembali melakukan hal yang sama berulang-ulang tak henti-hentinya sembari menangis.
Begitu juga Nurul dan Dinda mereka turut menangis di depan pintu kamar mandi sambil berpelukan. Melihat Rahimah yang kini berjongkok diam menangis dengan memeluk kedua lututnya, Nurul dan Dinda pun mendekat dan mengangkat tubuhnya agar mengganti pakaiannya ke kamar.
Awalnya Rahimah hendak mengamuk waktu di sentuh, tapi setelah ia melihat orang di depannya adalah temannya ... kembali tangis histeris yang terdengar dari mulut Rahimah.
"Haaeiks ... haaaeiks ... Ibu ... Bapak ... haaeiks ... haaaaeiks ...." Begitu memilukan.
"Bagaimana ini Dinda? Apa yang kita katakan sama Bapaknya Rahimah?" panik Nurul saat baru ingat dengan Pak Ramlan.
"Entah, Aku juga gak tau. Bagaimana ini?" Dinda juga ikut panik.
"Sebaiknya kita pulang malam ini juga?" Ujar Nurul enggan melamakan masalah.
"Iya, sebaiknya begitu! Bentar Aku cari Trevel dulu," ujar Dinda setuju segera mengotak atik Hp nya, sementara Nurul membantu Rahimah mengganti baju karena ia sudah menggigil kedingin.
"Ada ..." Ucap Dinda saat menemukan Trevel, mereka pun bersiap check out dari hotel. Dinda yang membawa tas Rahimah dan Nurul yang memeluk erat Rahimah agar tidak mengamuk, mungkin karena kelelahan Rahimah sudah tidak menangis lagi dan jadi lebih pendiam dengan tatapan kosong.
Saat mereka melakukan check out, Trevel sudah datang menunggu jadi mereka tidak perlu waktu lama. Jam sudah menunjukkan pukul 01:43 menit dini hari.
Setibanya di teras Rumah Rahimah, suara orang mengaji dari Masjid dan Moshola sudah terdengar menggema. Jam pun sudah pukul 04:15 menit. Biasanya Pak Ramlan sudah bangun, mereka pun lekas keluar dari mobil tadi di jalan mereka sudah melakukan pembayaran.
"Assalamualaikum ... tok ... tok ... Pak?" Panggil Nurul pelan.
"Wa'alaikumussalam, ada apa ini?" terkejut saat melihat Rahimah terkulai lemah dalam pelukan Nurul dari tadi Rahimah tidak tidur tapi ia seperti kehilangan akal dan tatapan kosong.
Rahimah yang mendengar suara Bapaknya segera mengangkat kepala, dan seketika memeluk juga menangis dalam dekapan sang Ayah.
"Haaaaeiks haeiks ... Bapak ...." Rintihnya Nurul dan Dinda segera mengajang Pak Ramlan masuk, mereka takut para tetangga mendengarnya.
"Ada apa sebenarnya ini?" Sangat terlihat kekhawatiran di wajah Pak Ramlan.
Dengan ragu-ragu Nurul dan Dinda bercerita.
...----------------...
Flashback on
"Kenapa sih kok ketawa-ketawa gitu?" Tanya Rahimah yang melihat Nurul cekikikan.
"Mau tau, apa mau tau banget?" pancing Nurul semakin membuat mereka penasaran.
"Buruan kasih tau," kesal Dinda melirik Nurul yang hendak bercanda.
"Liat Maya sama gengnya gak?" malah bertanya kembali, yang langsung dapat gelengan kepala dari Rahimah dan Dinda.
"Tau gak? Tadi itu ... minuman mereka, Aku kasih obat sakit perut." ucap Nurul bangga.
"Astagfirullahhalazim." Pekik Rahimah.
"Wah gila ya Kamu?" pekik Dinda kesal.
"Eh.. biarin mereka tadi yang ganggu kita." Ucapnya cuek.
"Trus gimana sama mereka?" tanya Rahimah ingin tahu.
"Tadi Aku ikutin ... kayanya mereka balik ke hotel tempat kita nginap, pasti sekarang mereka lagi bolak balik ke kamar mandi." Jelas Nurul sambil tertawa.
"Yah ... kasian tuh mereka, kamar mandinyakan di kamar cuman satu." Dinda menggelengkan kepala membayangkan mereka yang berebut kamar mandi.
"Mereka menyewa dua kamar, yang mules empat orang. Berarti musti ada yang ngalah tuh pakai Toilet umum." Tutur Rahimah juga membayangkan mereka berebut dan Nurul kembali tertawa.
"Udah malam nih mending kita balik ke kamar yuk," ajak Rahimah pada mereka.
"Yah ... bentar lagi dong? Itu liat deh, teman-teman seangkatan kita juga baru pada dateng." Nurul memelas meminta waktu lagi, karena ternyata semakin malam semakin ramai oleh teman seangkatan mereka.
"Eh liat deh, liat deh ... itu Indra sama Andri ... ya gak sih?" tunjuk Dinda kepada tiga lelaki yang baru datang.
"Mana-mana," celingak celinguk, Nurul memanjangkan kepalanya guna dapat melihat orang yang di maksud Dinda.
"Itu ..." tunjuknya lagi yang bisa di lihat Nurul.
"Eh iya bener, itu si kembar barengan sama Hafiz juga," Ujarnya semangat.
"Jadi kalian gak mau balik nih?" tanya Rahimah memastikan.
"Udah jam 10:22 menit ini. Kalau gitu Aku balik dulu yah."
"Kenapa sih balik sekarang? Nanti aja kenapa, kitakan belum ngobrol sama si kembar," Protes Nurul dan di angguki Dinda.
"Gak papa deh kalau kalian masih mau disini, Aku aja yang balik duluan."
"Yakin gak papa?" ujar Dinda.
"Orang hotelnya dekat inih. Ya sudah Aku pamit sama Soraya dulu," kata Rahimah berjalan mendekati Soraya izin pamit.
"Ok deh hati-hati," ucap Dinda sebelum Rahimah berlalu.
Rahimah pun kembali ke hotel tempatnya menginap hanya seorang diri, sementara Nurul dan Dinda menghampiri si kembar sekedar basa-basi karena sebenarnya mereka masih satu kampus di Jakarta hanya saja beda Valkulas jadi mereka jarang sekali ketemu.
Flashback off
...----------------...
"Waktu kami hendak ke kamar, kami menemukan Rahimah di lorong dan sudah dalam keadaan menagis," kata Dinda menjelaskan dengan tetesan air mata melihat Pak Ramlan yang menangis memeluk anaknya.
"Ya Allah, kenapa nasibmu jadi seperti ini Nak?" ucap Pak Ramlan dengan tubuh bergetar sambil menangis.
"Hisk ... hisk ... haaaaeisk ...."Rahimah semakin terisak mendengar Bapaknya yang menangisi nasib hidupnya.
"Kami minta maaf Pak ... karena kami tidak bisa menjaga Rahimah dengan baik." Sesal Dinda.
"Kami sama sekali tidak bermaksud mencelakakan Rahimah Pak, mohon di maafkan," ucap Nurul dengan bibir bergetar.
"Iya ... Bapak tidak menyalahkan kalian, mungkin ini sudah suratan takdir Rahimah." Kata Pak Ramlan lirih.
Cukup lama mereka menangis, di rasa sudah bisa mengontrol emosinya Pak Ramlan pun beranjak membawa Rahimah ke kamarnya.
Rahimah tetap menangis tak henti-hentinya dan itu membuat pak Ramlan tambah sedih dan sakit hati melihat keadaan putri satu-satunya.
Ramlan menuntun Rahimah agar merebahkan diri, perlahan pak Ramlan menyanyikan Sholawat sembari mengusap kepalanya lembut persis seperti waktu ia kecil dulu, pelan dengan bibir begetar menahan air mata yang menggenang sungai.
Shallallah ala muhammad
Shallallah alaihi wasallam
Shallallah ala muhammad
Shallallah alaihi wasallam
Asyraqal albadru alayna.
Fakhtafat badrut tamami
Mitslahus nikma roayna .
qottuya wajha sururi
Shallallah ala muhammad
Shallallah alaihi wasallam
Shallallah ala muhammad
Waala alaihi wasallam
Rabbi faj'al mujtama'na
Ghoyatuhusnul khitami
Wa'thina maqod sa alna
Min atho ya kaljisani
Tholaal badru alayna
Mintsani yatilwada
Wajaba syukru alaina
Madaa lillahida
Ayyuhal mabu tsufina
Jitabil amril mutho
Jitasyaroftal madinah
Marhaban ya khoirodai
Tidak perlu waktu lama, mungkin karena kelelahan Rahimah pun tertidur dalam buayan lembut Ayahnya hanya dalam waktuk 5 menit sambil bersenandung Sholawat yang mengantarnya ke alam mimpi.
"Sebaiknya kalian Sholat subuh dulu." Yang ternyata Azan Subuh sudah berkumandang dan sekarang berganti Iqomah.
"Iya Pak makasih," mereka pun berlalu ke kamar tamu yang bisa mereka tempati jikalau sedang menginap.
Pak Ramlan pun juga melaksanakan Sholat di dalam kamar Rahimah sambil menjaganya, masih terasa mimpi di kenang pak Ramlan. Selesai Salam Ramlan memanjatkan Do'a memohon ampun atas segala yang terjadi hari ini.
"Ya Allah Sang pemilik kehidupan, Engkau-lah yang menguasai bumi dan langit beserta isinya. Engkau-lah yang bisa membolak balikkan hati manusia, Engkau-lah yang Maha Agung dan Maha Tinggi, Engkau-lah yang Maha Pemurah dan Maha Pemaaf. Ampunilah dosa-dosa hamba atas perbuatan yang selama ini hamba lakukan baik yang terlihat dan yang tidak terlihat, janganlah Engkau memberi hamba ujian yang berat atas segala dosa-dosa hamba Ya Allah ... Ampunilah putri hamba Ya Allah ... hamba Ikhlas jika ini sudah takdir dari putri hamba, Tidak seorang pun dari kami yang bisa merubah Takdir-mu Ya Allah. Berikanlah kekuatan untuk kami melaluinya Ya Allah." Melirik Putrinya yang sedang tertidur pulas, dengan wajah yang pucat dan mata sembam serta bengkak karena tak henti menangis. Kembali Ramlan menagis memandangnya.
"Ya Allah ...." Ucapnya lirih membenamkan wajah di kedua telapak tangannya sambil menagis.
"Kuatkanlah kami Ya Allah ...." Beranjak dari duduknya di atas hamparan Sajadah menghampiri putrinya, duduk di pinggir ranjang, mengusap pucuk kepala putrinya yang tak memakai kerudung. Melihat tanda-tanda merah di sekitar lehernya, lagi-lagi pak Ramlan menagis pelan takut Rahimah terbangun dari tidur nyenyaknya.
Tidak sanggup menangis di depan sang putri, pak Ramlan pun pergi keluar dan kembali ke dalam kamarnya, menangis seorang diri. Duduk di pinggir ranjang menatap kosong ke depan menerawang kembali ke masa lalu, ia yang membesarkan Rahimah sejak kecil seorang diri dan sekarang ada yang menyakitinya lahir dan batin, ia pun turut merasakan sakit yang teramat dalam. Ingin rasanya ia menghajar orang yang melakukan ini pada putrinya, tapi itu percuma teman putrinya bahkan tidak tahu siapa.
Merasa sudah mulai tenang Pak Ramlan pun keluar, di lihatnya teman putrinya sudah duduk di sofa menunggu kedatangannya.
"Pak ...." Panggil Dinda, Pak Ramlan hanya melihatnya tanpa berucap.
"Kami pulang dulu, nanti sehabis Dzuhur kami kembali lagi ke sini." Dinda meminta izin untuk pulang dulu, yang hanya di angguki Pak Ramlan. Mereka pun mincium punggung tangan Pak Ramlan dan berlalu pergi sesudah mengucapkan salam.
Mempuka pintu kamar putrinya dengan pelan, masuk kembali dan duduk di kursi. Tidak ada yang di lakukan Pak Ramlan ia hanya duduk termenung dan diam memandang sang putri, berjam-jam Rahimah tidur berjam-jam pula Pak Ramlan tetap dalam duduknya. Ia bahkan tak menghiraukan perutnya yang kosong, ia bahkan saat ini merasa tak lapar sama sekali. Di dalam hati terus teruntai Do'a-do'a penanang hati, berharap dengan begitu bisa sedikit memberi ketenangan.
Sampai Nurul dan Dinda datang kembali Rahimah masih belum terbangun, ia masih damai dalam mimpi indahnya.
"Pak, sebaiknya Bapak makan dulu." Ucap Nurul menawarkan makanan, ia sengaja membawa lauk dan nasi dari rumah. Karena sudah bisa menduga, tidak akan ada yang memasak jadi ia berinisiatif untuk membawanya dan sekarang Pak Ramlan bahkan sudah melewatkan sarapan dan makan siang padahal jam sudah pukul 2 siang, ia tidak ada niatan untuk makan apapun ... bahkan minum pun tidak.
"Pak?" Panggil Nurul lagi karena Pak Ramlan tidak menjawabnya, dia hanya diam.
"Apa Bapak tidak kasihan dengan Rahimah?" Pertanyaan dari Nurul tentu menarik perhatian Pak Ramlan, ia menoleh tapi masih diam.
"Kalau Bapak tidak makan dan minum, nanti Bapak bisa sakit. Lalu siapa yang bisa menjaga Rahimah kalau Bapak sakit? Apa Bapak tidak kasihan dengan Rahimah jika Bapak sakit?" Jelas Nurul memberi nasehat. Pak Ramlan pun mengangguk mengerti, ia pun menerima piring yang di tawarkan oleh Nurul.
Pak Ramlan makan dengan diam, nasi yang ia makan bahkan terasa sulit untuk di telan, air yang ia minum bahkan terasa membakar di tenggorokan. Ia makan hanya agar tidak sakit dan bisa menjaga Rahimah juga menemaninya.
Saat sedang makan tiba-tiba ada keributan di depan rumahnya Pak Ramlan, sambil berteriak menyebut-nyebut nama Pak Ramlan dan Rahimah.
"Eh ... Pak Ramlan? Sebaiknya kalian pergi saja dari sini."
"Iya ... kalian lekas pergi dari sini ...."
"Kami tidak ingin kampung kita terkena azab gara-gara kalian."
"Ya ... sebaiknya kalian di usir saja dari sini ...."
Satu persatu berteriak agar pak Ramlan dan Rahimah pergi dari kampung itu, teriakan mereka jelas mengagetkan Pak Ramlan, Nurul, dan Dinda. Mereka pun segera keluar, melihat apa yang terjadi.
"Ada apa ini ribut-ribut di sini?" puluhan orang sedang berjejer di depan terasnya, tentu itu membuat yang punya rumah jadi bingung
"Sebaiknya kalian lekas pergi dari kampung ini." Teriak salah satu warga angkat bicara menjawab pertanyaan Ramlan.
"Ya betul ... betul ...."
"Ya lekas pergi ...."
"Iya ...." Sahut warga lain serempak membuat suasana menjadi riuh.
"Kenapa kami harus pergi? Ini rumah Saya, kenapa kami harus pergi meninggalkan rumah kami?" Tanya Ramlan bingung mengerutkan kenging menatap satu persatu warga kampungnya.
"Karna kalian tidak pantas tinggal di kampung ini."
"Ya ... kami tidak ingin terkena azab gara-gara kalian" Jawab mereka bergantian.
Pak Ramalan, Nurul, dan Dinda semakin bingung atas pengusiran warga terhadap Pak Ramlan dan Rahimah. Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa sampai membawa nama Azab segala? Kenapa juga mereka harus pergi?
BERSAMBUNG....
Terimakasih karena sudah berkenan membaca karya saya ini, semoga tidak membosankan dan bisa membuat semua terhibur.๐
Tinggalkan jejak, komen, like, gift atau vote dan jangan lupa jadikan favorite. ๐โ
Noormy Aliansyah
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
bungaAaAaA
dihotel ada gayung juga thor?
2022-10-05
1
Keysa_Bom
aku nangis sumpah sakit banget kalau kita di posisi seperti itu solanya ada saudara ku mengalaminya ๐ญ๐ญ๐ญ Jadi ikutan kebayang bagaimana perjuangannya sampai sekarang dan Alhamdulillah ia menemukan suaminya yang baik terima keluarga ku apa adanya ๐ญ๐ญ Rahimah strong kamu wanita kuat ๐ญ๐ญ
pasti si Maya nih yang ubar fitnah Dajjal nya ๐คฌ๐คฌ
2022-07-14
0
Follow ig : tinatina3627
aku suka ada sholawatnya jadi adem...
2022-03-02
0