Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, pertemanan dan persahabatan anak-anak itu semakin akrab. Rendra yang setiap hari juga bertemu dengan Randy dan Raina juga semakin dekat dan terbuka dengan mereka. Sikap dingin dan pendiamnya lama-lama mulai hilang di depan kedua sahabat barunya itu.
Anak-anak itu tak akan memulai permainan mereka kalau ada salah satu dari mereka yang belum datang. Setiap hari, mereka menunggu semua lengkap, baru mereka akan mulai bermain. Sampai suatu hari, ketidaklengkapan itu membuat mereka khawatir.
"Duh, Raina karo Kak Randy kok rung teko ya?" tanya Rendra gelisah. Sudah hampir setengah jam mereka menunggu, tapi tak ada tanda-tanda kedatangan kedua anak itu.
"Iya! Kemana ya mereka? Kok jam segini belum dateng?" kata Tyas menanggapi.
"Wes, kita main dulu aja lah. Sapa ngerti mereka di ajak Bunda pergi," kata Febri santai. Karena sudah sering
bertemu dan bermain di rumah dua bersaudara itu, anak-anak ini juga memanggil bundanya Raina dengan panggilan Bunda.
"Hmm, ya wes lah." Akhirnya Rendra dan Tyas ikut bermain bersama teman-teman mereka yang lain, tanpa menunggu Raina dan Randy.
Meski ikut bermain bersama teman-teman, tapi Rendra merasa ada sesuatu yang tidak benar dengan kedua bersaudara itu. Teman-temannya yang lain mungkin tak merasakannya, tapi Rendra menjadi begitu gelisah sore itu. Sebelum gelap, demi menghilangkan kegelisahannya, Rendra nekat pergi ke rumah Raina untuk mencari tahu apa yang terjadi.
"Mas Feb! Aku pergi dulu! Tadi lali disuruh Ibu beli minyak!" seru Rendra berbohong. Ia tak ingin teman-teman yang lain mengikutinya ke rumah Raina.
"Ya wes kono!" sahut Febri.
Gilang yang merasa Ibunya tadi tak menyuruh apa-apa menjadi bingung. Tapi ia tahu kalau kakaknya sedang ingin pergi sendiri. Jadi ia membiarkan kakaknya iu pergi sendiri, entah kemana. GIlang malah meminta teman-temannya untuk melanjutkan permainan tanpa kakaknya.
Setelah berpamitan dengan yang lainnya, Rendra berlari menuju rumah Raina. Meski melelahkan, Rendra tak peduli dan terus berlari memasuki komplek itu. Tapi satpam komplek menghentikannya.
"Dek! Mau kemana?!" tanya satpam.
"Mau ke rumahnya Raina Pak. Sebentar aja, mau ambil barang ketinggalan," ucap Rendra sambil terengah-engah.
"Oh ya udah." Beruntung satpam mengijinkannya masuk.
Rendra kembali berlari menuju rumah Raina. Dan akhirnya ia sampai di rumah itu.
Sesampainya di sana, betapa Rendra dibuat bingung. Sebuah mobil angkut membawa banyak sekali barang-barang dari rumah itu. Lemari, meja, kursi, barang-barang itu dibawa pergi dengan mobil itu. Beberapa orang juga terlihat sibuk sekali, keluar masuk dari dalam rumah membawa barang-barang.
Dengan wajah bingung, Rendra memberanikan diri untuk mendekat. Sampai di pagar rumah, ia hanya berhenti dan melihat orang-orang itu membawa barang-barang dari rumah itu pergi entah kemana.
"Rendra?!" sapa seorang pria bingung. Ternyata itu adalah ayah Raina.
"Om, ini mau dibawa kemana?" tanya Rendra bingung.
"Rendra, iya. Om lupa suruh Raina kasih tahu kalian. Om harus pindah tugas ke kota lain, kami harus pindah dari sini, Nak." Pria itu berlutut dan memberi tahu Rendra semuanya.
Mendengar itu, Rendra menjadi sangat terkejut. Ternyata kegelisahannya ini karena dua sahabatnya akan pergi. Ayah Raina berdiri dan melanjutkan pekerjaannya. Raina yang hendak keluar dari rumah, melihat Rendra, dan langsung berlari ke arahnya.
"Rendra!" serunya.
"Raina? Kamu mau pindah?" tanya Rendra.
"Iya, Ndra. Aku harus pergi. Aku sedih nggak bisa pamit sama teman-teman yang lain. Ayah juga baru kasih tahu aku tadi pagi. Aku nggak mau pindah Ndra. Aku mau di sini aja, sama kamu, sama temen-temen." Raina menunduk sedih.
"Rain, nggak apa-apa. Kamu harus ikut sama Ayah kamu, sama Bunda. Nanti aku yang bilang ke yang lain. Kamu nggak usah sedih." Rendra tersenyum hangat.
"Nggak mau, Ndra. Nanti kalau di rumah baru aku nggak ada temen yang kayak kamu, gimana? Aku nggak mau. Aku maunya di sini. Sama kamu, sama Tyas." Raina mulai menangis.
"Eh, kok nangis. Nggak boleh nangis ah. Raina cengeng," ledek Rendra.
"Nggak! Aku nggak cengeng!" teriak Raina tak terima dan langsung cepat-cepat menghapus air matanya.
"Ya udah, nggak boleh nangis. Kamu nggak boleh takut sama tempat yang baru. Kamu pasti punya banyak teman baru juga di sana." Rendra tersenyum hangat.
"Kalau aku mau ngomong sama kamu gimana? Kalau rumahku ternyata jauh gimana?" tanya Raina gelisah.
"Kamu bisa tulis surat kan? Kamu minta ayah kamu kirim suratnya buat aku. Oke?" ucap Rendra menenangkan
sahabatnya itu.
Raina mengangguk. Rendra hanya menanggapinya dengan senyum. Tak lama kemudian, Bunda memanggil Raina.
"Raina! Ini tasnya nggak dibawa?!" seru Bunda dari dalam rumah.
"Iya!" teriak Raina.
"Ndra, tunggu dulu disini. Aku mau ambil tas," kata Raina menyuruh Rendra tetap di sana.
Rendra mengangguk. Raina masuk ke dalam. Saat itu, Randy keluar dan menemui Rendra. Mereka akan segera pergi, jadi Randy memeluk sahabatnya itu.
"Aku pergi ya Ndra. Titip salam buat yang lain. Bilang sama Febri, aku tunggu dia jadi polisi nanti," ucap Randy setelah memeluk Rendra. Ia ingat akan cita-cita sahabatnya, Febri.
"Iya Kak. Hati-hati. Jangan lupa sama kita," sahut Rendra.
Randy mengangguk, tersenyum lalu masuk ke mobil. Semua barang sudah dibawa. Ayah juga sudah di dalam mobil, siap berangkat. Tinggal Bunda dan Raina yang belum masuk.
Tak lama kemudian, Raina keluar dari dalam rumah. Ia menggenggam sesuatu di tangannya, dan berlari ke arah Rendra.
"Rendra, ini kunci kamu. Aku kembaliin aja," katanya mengembalikan kunci gembok itu pada Rendra. Tapi Rendra bingung dan akhirnya memutuskan untuk menolak kunci itu kembali padanya.
“Nggak Rain. Kamu inget kan, gembok ini isinya ketakutan kamu. Sekarang, gembok ini juga jadi barang biar aku bisa inget kamu. Aku bawa gemboknya, kamu bawa kuncinya. Nanti kalau kita udah besar, terus muka kamu berubah. Terus kita ketemu lagi, kunci itu bisa bikin aku tahu kalau ini kamu.” Rendra menolak untuk menerima kunci gembok itu.
Raina menggenggam kunci gembok itu erat-erat.
“Aku bakal bawa kunci ini kemana-mana. Kamu juga harus simpan gemboknya. Jangan sampai hilang,” kata Raina sambil tersenyum.
"Kamu nggak boleh lupa ya sama aku." Rendra menunduk sedih.
Raina mengangguk pelan. Ia masih tak ingin berpisah dengan sahabat terbaiknya itu. Dipeluknya Rendra erat-erat, sebelum mereka berpisah. Rendra juga memeluk Raina erat seakan tak ingin membiarkannya pergi.
"Raina, ayo." Bunda mengajak Rain dengan lembut.
Raina dan Rendra melepaskan pelukan mereka. Bunda membawa Raina ke mobil.
"Dah Rendra!" seru Randy dari dalam mobil sambil membuka kaca mobilnya.
"Dah Kak! Dah Rain! Hati-hati Om, Bunda!" seru Rendra melambaikan tangan.
Mereka semua melambaikan tangan, mobil perlahan-lahan mulai meninggalkan pekarangan rumah itu. Rendra yang rasanya masih tak rela ditinggal pergi dua sahabatnya, berlari di belakang mobil itu.
"Raina!" serunya sambil berlari.
"Hati-hati! Jangan lupa!" Rendra mengangkat gembok kecilnya.
Raina mengangkat dan menunjukkan kuncinya lalu melambaikan tangan pada Rendra. Laju mobil semakin cepat, tapi Rendra terus berlari mengejarnya. Raina dan Randy menengok ke belakang, melambaikan tangan
pada Rendra. Sampai akhirnya, Rendra sudah benar-benar lelah dan tak lagi bisa mengejar mobil itu. Dan itulah pertemuan terakhir mereka.
Rendra menatap kepergian mobil itu sampai tak lagi terlihat. Dengan raut wajah yang sedih, ia pulang ke rumahnya. Hari sudah semakin gelap. Rendra hanya duduk diam di kamarnya sambil terus memandangi gembok kecil itu. Gilang juga duduk di sebelahnya. Meski kedekatannya dengan Raina dan Randy tak sedekat Rendra, tapi ia juga sedih mendengar kedua temannya itu pergi.
Sejak kepergian Raina dan Randy, permainan di lapangan itu terasa kurang lengkap. Makin lama, anak-anak itu makin besar, makin jarang mereka bermain bersama. Semua sibuk dengan urusan pendidikannya masing-masing. Cita-cita mereka yang tinggi, tapi kondisi ekonomi keluarganya tak begitu baik. Itu membuat mereka harus bekerja lebih keras untuk mencapai cita-cita tersebut.
Begitu juga dengan Rendra dan Gilang. Dua bersaudara ini kini belajar lebih giat demi mewujudkan cita-cita mereka. Apalagi Rendra, keinginannya untuk menjadi seorang pengusaha yang sukses, membuatnya terus belajar dengan rajin. Tapi selain itu, ia juga ingin keluar dari daerah kumuh itu untuk mencari Raina.
Persahabatannya dengan Raina masih terjaga sampai sekarang. Gembok itu masih terus ia bawa. Tapi surat-surat Raina sudah lama tak datang. Surat-surat yang ia kirimkan juga tak lagi mendapat jawaban. Sekarang, harapannya hanyalah gembok itu. Berharap suatu hari, ia akan menemukan kunci yang tepat untuk gembok itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments