Sedang di toko Bapak masih penuh dengan rasa khawatir, di mobil Rendra mengeluh sakit. Raina hanya bisa melihat dan dengan ragu-ragu, ia memegang pundak anak laki-laki itu. Berbeda dengan Rendra yang sedikit sulit untuk akrab dengan orang baru, Raina bisa dengan mudah bersikap ramah pada siapapun bahkan yang belum ia kenal.
"Sakit ya? Kamu jangan nangis ya." Raina mencoba bersikap ramah dan membuat anak laki-laki yang ada di depannya itu menjadi lebih tenang. Rendra masih kesakitan, tapi mendengar perkataan Raina, ia menjadi lebih tenang.
"Sabar ya Nak. Sebentar lagi kita sampai kok. Sabar ya," ucap Ayah Raina sambil terus menginjak pedal gas mobilnya.
Hanya beberapa menit saja, akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Ayah Raina menggendong Rendra keluar dari mobil menuju ke ruang penanganan gawat darurat.
"Suster! Dokter! Tolong!" seru Ayah Raina, mencari pertolongan.
Suster dan dokter keluar lalu membawa Rendra masuk. Rendra masih meringis kesakitan, tapi ia tak lagi mengeluh. Ia juga tidak menangis. Ia hanya melihat ke arah Raina.
"Jangan nangis ya!" seru Raina melambaikan tangan dari gendongan bundanya.
Rendra dibawa masuk oleh para perawat dan tindakan segera dilakukan.
Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruang penanganan. Tak ada ekspresi yang mengkhawatirkan di wajah dokter itu, ia tersenyum santai saja. Tapi demi memuaskan rasa keingintahuannya, Ayah Raina bertanya pada dokter tentang kondisi Rendra.
"Bagaimana Dok, keadaannya? Apa ada sesuatu yang berbahaya?" tanya Ayah Raina khawatir.
"Tenang Pak, Bu. Anak itu baik-baik saja. Memang ada luka terbuka di kepala dan di kaki. Tapi kami sudah tangani
semuanya. Ada sekitar dua jahitan di kepala dan empat di kaki. Untuk tulang semua normal. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan." Dokter menjelaskan semuanya.
"Baik Dok. Kalau begitu, kami sudah boleh ketemu sama anaknya?" tanya Ayah Raina. Kali ini dengan nada dan suasana yang jauh lebih lega.
"Tentu Pak. Boleh, silahkan. Semua sudah bisa masuk. Oh ya, untuk administrasi bisa ikut perawat ya Pak." Dokter
menunjuk seorang perawat yang berdiri di belakangnya. Perawat itu mengajak Ayah Raina ke tempat pembayaran.
Raina dan bundanya masuk untuk melihat kondisi Rendra. Mereka tampak begitu senang melihat Rendra sudah pulih, meski mereka belum mengenal anak itu, bahkan nama pun mereka belum tahu.
"Halo. Gimana kamu, Nak? Udah nggak sakit kan?" tanya Bunda Raina, sambil duduk di samping tempat tidur Rendra dan tersenyum begitu menenangkan.
"Masih sakit tapi cuma sedikit kok Tante," jawab Rendra singkat sambil tersenyum tipis.
"Oke, nggak apa-apa. Nanti pasti cepet sembuh kok. Oh iya. Kamu namanya siapa? Kita sampai belum kenalan." Bunda Raina bicara dengan begitu lembut dan ramah.
"Rendra," jawabnya singkat.
"Oh namanya Rendra. Ayo Raina salaman. Kenalan sama Rendra." Bunda menyodorkan tangan Raina untuk berkenalan dengan Rendra.
"Halo Rendra. Aku Raina." Raina menjabat tangan Rendra dan tersenyum begitu ramah. Gadis kecil yang menggemaskan. Ia selalu antusias untuk berkenalan dan bertemu dengan orang-orang yang baru.
"Halo Raina," sahut Rendra singkat.
Rendra memang terkenal anak yang baik, ramah, dan ceria. Tapi faktanya adalah dia cenderung pemalu di depan orang-orang baru. Kalau bicara dengan orang yang baru dia kenal, ya seperti ini jadinya. Jawabannya selalu singkat, padat, dan jelas. Berbeda dengan ketika ia bicara dengan teman-temannya yang sudah lama saling mengenal.
"Kamu kok malu-malu sih?" tanya Bunda Raina bercanda. Tapi, Rendra hanya tersenyum kecil saja.
"Permisi Bu," sapa seorang perawat yang baru saja masuk ke ruang tempat Rendra dirawat.
"Iya Sus? Ada apa?" jawab Bunda.
"Bisa ikut saya sebentar untuk mengambil obat. Nanti saya tunjukkan cara mengaplikasikannya juga." Perawat itu
hendak menunjukkan beberapa obat dan cara memakainya.
Bunda mengikuti perawat itu. Sedangkan di dalam, hanya tersisa Raina dan Rendra saja.
"Makasih ya." Raina tiba-tiba menyodorkan tangannya hendak menjabat tangan Rendra. Rendra hanya tersenyum
tapi tampak bingung dengan Raina yang tiba-tiba mengucapkan terima kasih.
“Makasih buat apa?” tanya Rendra singkat.
“Kan kalo nggak ada kamu, aku yang ditabrak sama sepeda motor yang tadi.” Raina menjelaskan alasannya mengucapkan terima kasih. Rendra tersenyum dan mengatakan sama-sama.
Raina tersenyum, tapi kemudian ia seperti mengingat-ingat sesuatu. Ekspresi wajahnya yang sedang berpikir membuat Rendra ikut bingung melihatnya.
"Kamu yang kemarin malam berdiri di pagar rumahku kan?" tanya Raina tiba-tiba.
Mendengar itu, Rendra terkejut. Bagaimana Raina bisa tahu kalau itu dirinya? Bisa-bisa dia dikira pencuri, sama seperti kata Bapaknya. Rendra ketakutan.
"Emm, eng-enggak kok. Bukan aku," jawab Rendra mencoba berbohong karena takut dikira pencuri.
“Kamu bohong, aku inget banget muka kamu. Kamu takut ya? Kenapa takut? Padahal kemarin Kak Randy mau ajak kamu main kembang api juga. Kamu malah pergi." Raina menunduk sedih.
"A-aku... emmm... aku kira nanti ayahmu marah. Aku takut dimarahi, jadi aku pergi. Kata Bapakku, orang kaya seperti kalian nggak suka kalau ada anak kayak aku main di dekat kalian." Rendra akhirnya mengaku juga.
"Ah kamu. Aku sama Kak Randy kan mau ngajak kamu main. Orang kemarin juga nggak ada yang mau marah-marah kok." Raina tampak kesal.
Melihat Raina kesal, Rendra tak tahu harus bagaimana. Ia tak pernah bicara dengan anak-anak komplek seperti Raina. Apalagi anak perempuan. Ia bingung bagaimana harus bicara dengan anak perempuan itu.
"Oh ya! Kalau gitu, sekarang kan kamu udah tahu kalau Ayah nggak akan marahi kamu. Jadi sekarang, kamu harus mau main sama kita. Kamu nggak boleh lari ya!" seru Raina kini bersemangat. Raut kesal di wajahnya sudah hilang.
"Yang bener kamu? Nanti aku dimarahi." Rendra tak yakin dengan ucapan Raina.
"Nggak akan ada yang marahin kamu. Ayah itu baik banget, dia nggak mungkin marah sama kamu. Pokoknya sekarang kamu harus jadi temen aku. Kamu harus mau main sama aku, sama Kak Randy juga. Awas aja kalau kamu lari lagi." Raina memasang muka ngambek.
"Iya, jangan ngambek. Nanti aku dimarahi." Rendra menengok ke kanan dan kiri, melihat kalau saja ada orang yang melihat Raina ngambek.
"Oke! Kalau gitu, sini jari kelingking kamu mana?" Raina menyodorkan jari kelingkingnya. Rendra bingung tapi juga
menyodorkan jari kelingkingnya, meski ia tak tahu apa yang hendak anak perempuan itu lakukan.
"Kamu harus janji, kita harus temenan. Oke?" kata Raina, lalu melingkarkan jari kelingkingnya di jari kelingkin
Rendra.
Rendra agak sedikit ragu, tapi kemudian juga membalas Raina dengan melingkarkan kelingkingnya.
"Pinky swear!" seru Raina senang sekali.
Rendra hanya tertawa kecil. Baru kali ini ia melihat pertemanan dimulai dengan sebuah janji macam satu ini.
Derr
“Aaaa!” Raina berteriak sambil menutup telinganya.
Ternyata di luar sedang hujan. Suara keras yang membuat Raina terkejut sampai berteriak ketakutan itu adalah suara guntur. Raina memang sangat takut dengan suara Guntur. Rendra yang juga terkejut, menjadi lebih terkejut setelah mendengar teriakan Raina.
“Tenang, tenang, Raina. Jangan takut.” Rendra mencoba menenangkan Raina.
Mendengar Rendra, Raina mulai melepaskan tangannya dari telinga dan membuka matanya.
“Kamu takut sama petir ya?” tanya Rendra. Raina hanya mengangguk pelan.
Rendra mengambil sesuatu di saku celananya. Ternyata ia mengeluarkan gembok kecil yang sebenarnya itu adalah gembok celengannya. Celengan itu baru tadi ia buka bersama Gilang, untuk membeli mobil mainan. Ia belum sempat mengembalikan gembok itu ke celengannya. Sekarang, tak ada yang tahu apa yang hendak ia lakukan dengan gembok itu.
Tapi kemudian, Rendra menyodorkan gembok itu pada Raina. Gadis kecil itu bingung melihat Rendra menyodorkan gembok itu.
“Ini buat apa?” tanya anak perempuan itu heran.
“Kamu kan takut sama petir. Sekarang aku mau masukin takutnya kamu ke gembok ini. Terus aku kunci,” ucap Rendra sambil memutar kunci dan mengunci gembok itu agar tidak terbuka lagi. Raina masih tidak mengerti apa yang hendak Rendra lakukan.
“Sekarang takutnya udah dikunci di sini. Kuncinya kamu yang bawa. Gemboknya aku,” lanjut Rendra sambil memberikan kunci gembok itu pada Raina.
“Terus ini buat apa?” tanya Raina polos.
“Sekarang kamu nggak boleh takut lagi, soalnya takutnya udah digembok di sini. Aku yang bawa gemboknya biar takutnya ga bisa keluar lagi. Jadi kamu nggak takut lagi deh. Kuncinya kamu yang bawa biar gemboknya nggak bisa aku buka.” Rendra menjelaskan ide polosnya itu pada Raina.
Raina tersenyum dan menggenggam kunci itu di tangannya. Kedua bocah kecil itu tersenyum satu sama lain.
"Wah ada yang udah temenan nih," ucap ayah Raina yang tiba-tiba masuk bersama Bunda.
"Ayah?!" Raina melompat dan berlari ke pelukan ayahnya.
Mereka berjalan mendekat ke Rendra. Anak itu sudah jauh lebih baik dan bisa bangun. Rendra memposisikan dirinya duduk di tempat tidur itu.
"Halo! Kata Bunda, kamu namanya Rendra ya? Gimana, kamu udah baikan?" tanya ayah.
"Iya Om," jawab Rendra singkat.
"Kalau gitu, sekarang kita udah bisa bawa kamu pulang. Tapi ingat, di rumah kamu harus minum obatnya. Nanti Om yang bilang sama Bapak kamu ya." Ayah Raina memegang kaki Rendra.
Rendra hanya mengangguk saja. Mereka membantu Rendra turun dari tempat tidur dan membawanya pulang. Hanya perjalanan beberapa menit saja, mereka sudah kembali ke toko, tempat Bapaknya Rendra bekerja.
"Rendra?!" seru Bapak saat melihat Rendra turun dari mobil.
"Ayah! Bunda!" teriak Randy menyambut orang tuanya.
Mereka keluar dari toko dan menuju ke keluarga masing-masing. Randy memeluk Bundanya. Bapak membantu Rendra masuk dan duduk di toko.
"Bapak, Ibu, terima kasih banyak sudah mau membantu kami. Maaf merepotkan." Bapak menunduk, berterima kasih pada orang tua Raina.
"Pak, Rendra sudah menyelamatkan nyawa putri kami. Sudah seharusnya kami juga membantu mengobati Rendra. Harusnya kami yang berterima kasih." Ayah Raina tersenyum teduh.
"Oh iya Pak. Ini obatnya Rendra. Semua diminum sesudah makan. Ini juga ada salep untuk luka yang di kaki. Pemakaiannya sehari satu kali saja," tambah Ayah Raina dan memberikan sekantong obat pada Bapak.
"Baik Pak. Sekali lagi, terima kasih banyak." Bapak kembali mengucapkan terima kasih.
"Sama-sama Pak. Kalau begitu kami pamit pulang dulu. Rendra, Om pulang ya. Banyak istirahat. Cepat sembuh ya Nak," ucap ayah Raina mendekat ke Rendra.
"Makasih Om," sahut Rendra.
"Rendra! Kalau udah sembuh, kamu harus main ke rumahku ya! Jangan lupa!" seru Raina melambaikan tangan.
Rendra tersenyum dan mengangguk pelan. Sebenarnya ia tak berani karena ada Bapak yang mendengarnya. Ia takut Bapak memarahinya lagi karena ia bermain ke rumah Raina yang ada di dalam komplek.
Raina dan keluarganya berjalan menuju mobil. Raina yang sedang digendong oleh ayahnya, melihat ke belakang dan menatap teman barunya itu. Ia menunjukkan kunci yang Rendra berikan padanya lalu tersenyum dan melambaikan tangan.
Rendra juga tersenyum dan melambaikan tangannya pada Raina. Raina membalikkan badannya kembali dan ayah memasukkannya ke dalam mobil. Rendra hanya tersenyum melihat Raina dan gembok kecil yang ia pegang. Tak lama kemudian, mobil Raina melaju meninggalkan toko itu.
"Kamu tunggu di sini ya Ndra. Bapak tutup dulu tokonya, terus kita pulang," ucap Bapak lalu berjalan masuk ke dalam toko.
"Iya Pak," jawab Rendra.
Rendra kembali melihat gembok kecil itu dan tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments