Keesokan harinya, dalam rangka perayaan tahun baru dan lagi ini juga hari Minggu, daerah dekat pasar tempat Bapak Rendra berjualan dijadikan tempat semacam Pesta Rakyat. Jalan besar itu menjadi begitu ramai, penuh dengan orang. Bapak Rendra adalah seorang pegawai di toko kecil di dekat jalan besar di kota itu. Melihat kesempatan dimana tokonya bisa ramai pengunjung, Bapak tak mau ketinggalan. Pagi-pagi benar, ia mengajak Rendra ke toko untuk membantunya membuka dan menjaga toko itu.
"Rendra! Buka rolling door-nya!" seru Bapak menyuruh Rendra membuka pintu depan toko mereka. Membuka pintu itu bukan hal sulit sebenarnya, tapi yang membuat jengkel adalah pintu itu sudah tua, untuk membukanya agak sulit sering macet. Hal ini membuat Rendra atau kadang juga Gilang merasa kesal sendiri.
Rendra berjalan menuju ke pintu. Suasana di luar sudah ramai sekali. Ratusan bahkan ribuan orang sudah berlalu lalang di jalan besar itu. Anak-anak kecil dengan sepeda berkeliling bersama orang tua mereka. Sedang Rendra hanya bisa melihat dan berharap suatu hari dia akan punya sepeda yang sama.
Dari jauh, melihat putra sulungnya memandang penuh harap ke arah sepeda itu, Sang Bapak hanya bisa merenung. Penghasilannya dari toko ini hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Jangankan beli sepeda, beli sepatu baru untuk kedua anaknya saja sudah hal yang sangat jauh tampaknya.
Demi membuat anak lelakinya itu tak lagi bersedih, Bapak yang mungkin terlihat keras, kasar, dan pemarah itu, berusaha mencari cara untuk menghibur anak itu. Ia tahu benar kalau anak sulungnya itu sangat menyukai susu.
"Hei, Rendra! Sana ambil susu!" seru Bapak menunjuk ke kulkas.
"Beneran Pak?" tanya Rendra antusias. Raut sedih sudah tak lagi ada di wajahnya.
“Ya. Sana! Daripada ngelamun di situ. Ambil sana!” sahut Bapak sambil tersenyum tipis.
Rendra segera berlari, mengambil sekotak susu di kulkas dan meminumnya. Suasana hatinya sudah benar-benar berubah. Marahnya pada sikap Bapak semalam, sedihnya melihat anak-anak bersepeda, dan kesalnya harus membantu Bapak di toko. Semua itu lenyap, hanya dengan sekotak susu. Memang tak sulit untuk membuat senang anak kecil. Tapi satu memori buruk saja bisa terus ia bawa sampai mati.
Bapak hanya tersenyum melihat Rendra asyik meminum susunya. Hari ini, Gilang tak ikut ke toko bersama mereka. Ibu memintanya membantu untuk membuat kue di rumah. Jadi hanya Rendra yang ikut ke toko.
"Bapak! Susunya udah abis! Rendra disuruh ngapain lagi?!" seru Rendra dari depan toko. Anak itu menjadi begitu
bersemangat untuk membantu Bapaknya, setelah ia mendapat sogokan susu kotak itu.
"Duduk aja situ! Kalau ada pelanggan, layani dulu!" jawab Si Bapak.
Rendra duduk di dekat pintu dan diam menunggu saja. Matanya diam-diam memperhatikan sekitar. Mencari-cari kalau saja ada sepeda bagus yang lewat.
Saat pandangannya sedang menyapu jalanan besar itu, tiba-tiba bola mata Rendra terhenti di satu titik. Ada satu pemandangan yang membuatnya berhenti dan melebarkan matanya. Seorang anak perempuan sedang
berjalan sambil membawa gulali. Beberapa meter dari kiri, seorang pengendara motor tampak membawa kencang motornya dan tak mungkin sempat mengerem.
"Awassss!!!" teriak Rendra spontan sambil berlari ke arah anak perempuan yang sudah berada tepat di jalan pengendara sepeda motor itu.
Di waktu yang tepat, Rendra mendorong anak itu. Anak perempuan itu jatuh, ia hanya terluka gores kecil saja di tangannya. Tapi ia berhasil terhindar dari kecelakaan itu.
"Aawww!" seru anak itu melihat luka gores di tangannya.
"Raina?!" Ternyata anak itu adalah Raina, gadis kecil yang semalam bermain kembang api di halaman rumahnya.
Ayah, Bunda, dan Randy, kakaknya segera berlari mendekati gadis kecil itu. Mereka tampak panik dan khawatir. Tapi beruntung tidak ada keadaan yang perlu dikhawatirkan dari anak itu. Tapi tiba-tiba, terdengar teriakan lain.
"Aaaaaa!!!!" teriak Rendra.
"Rendra!" seru Bapak dari arah toko, terkejut melihat putranya yang sudah tergeletak di jalanan aspal itu.
Meski berhasil menyelamatkan anak perempuan itu, Rendra tak bisa menghindar untuk dirinya sendiri. Motor itu justru menabrak dirinya dan membuatnya terpental cukup jauh dari posisi awalnya.
"Rendra!!" seru Bapak terkejut melihat putranya jatuh tertabrak sepeda motor itu. Bapak berlari dan segera mengangkat tubuh Rendra.
Anak itu terluka cukup parah rupanya. Kepalanya terbentur aspal jalan dan berdarah. Tangannya juga terluka. Lututnya juga berdarah.
"Rendra, sabar. Rendra, tenang. Sabar." Bapak mencoba menenangkan putranya itu supaya tak panik.
"Bapak, perih Pak!" keluh Rendra meski tak menangis.
Bapak mencari kain dan mencoba menekan luka Rendra supaya darahnya berhenti. Beberapa orang mencarikan angkutan untuk membawa Rendra ke rumah sakit. Tapi Bapak menolak, karena ia tahu kalau ia tak ada uang untuk membayar biaya perawatan di rumah sakit.
"Pak, bawa ke rumah sakit aja Pak. Kasian itu," saran seorang pengguna jalan yang kebetulan lewat.
"Nggak usah Mas. Saya bawa pulang aja." Bapak bersikukuh menolak membawa Rendra ke rumah sakit. Rendra hanya diam saja, ia sudah kesakitan. Sudah tak peduli lagi dengan situasi sekitarnya. Anak laki-laki itu hanya meringis kesakitan.
Beberapa orang sempat memaksa Bapak membawa Rendra ke rumah sakit. Karena risih dan merasa terdesak, Bapak akhirnya menggendong Bara masuk ke dalam toko.
"Rendra, denger Bapak. Kamu nggak usah panik. Diem, tahan sedikit. Biar Bapak obati lukanya. Tahan ya," pinta
Bapak pada putra sulungnya itu.
Ketika Bapak sedang membersihkan luka di kepala Rendra, tepi kemudian beberapa orang datang ke tokonya.
"Permisi Pak, saya ayah dari anak perempuan yang tadi diselamatkan oleh anak Bapak. Saya ucapkan banyak terima kasih. Kalau Bapak tidak keberatan, biar saya bawa anak Bapak ke rumah sakit." Rupanya Raina sekeluarga yang datang dan menawarkan Rendra dibawa dan dirawat di rumah sakit.
"Maaf Pak, bukannya saya nggak mau, tapi..." Bapak menunduk. Bapak masih berpikir soal biaya. Akan sangat
sulit baginya untuk menutup biaya rumah sakit. Toh luka-luka Rendra sepertinya juga bisa diobatinya sendiri.
"Sudah Pak. Bapak nggak usah khawatir. Urusan biaya, biar saya yang tanggung. Sebagai bentuk ucapan terima kasih saya. Saya takut ada apa-apa sama anaknya," tambah ayah Raina, memotong ucapan Bapak.
"Tapi Pak," sahut Bapak masih ragu-ragu.
"Bapak!" seru Rendra kesakitan.
"Sudah Pak. Bapak tenang saja. Anak sulung saya akan saya tinggal di sini, dia boleh disuruh bantu-bantu juga. Biar anak Bapak saya bawa. Nanti kalau sudah selesai, saya kembalikan lagi ke sini." Ayah Raina bicara lebih tegas dan sigap, apalagi melihat Rendra mengeluh kesakitan seperti itu.
"Randy, kamu tunggu di sini dulu nggak apa-apa ya, Sayang? Nanti Ayah balik lagi. Kamu harus bantu Bapak ini ya," imbuh Ayah kepada Randy.
"Siap Ayah, hati-hati!" seru Randy. Anak itu memang sudah mandiri dan selalu bisa mengerti keadaan di sekitarnya.
Tanpa banyak berpikir, ia langsung menyanggupi permintaan ayahnya.
"Mari Pak, biar saya bawa dulu. Kami permisi." Ayah Raina menggendong Rendra dan segera membawanya pergi ke rumah sakit.
"Hati-hati Pak! Terima kasih banyak! Hati-hati Ndra!" seru Bapak pada Ayah Raina lalu pada putranya, Rendra.
Bapak terlihat sangat khawatir. Ia takut ada sesuatu yang buruk pada Rendra. Meski tampak cuek, keras, dan pemarah, sebagai Bapak, ia selalu berusaha yang terbaik untuk menjaga keluarganya. Melihat Rendra terluka, sedih juga hati Bapak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments