Bukan Kisah Sebentar

Bukan Kisah Sebentar

Prolog

Surabaya, Sabtu, 31 Desember 2000. Jam 23:30 Waktu Indonesia Barat.

"Kak Randy! Ayo nyalain kembang apinya! Itu yang disana udah pada main juga Kak! Ayo buruan!" seru seorang anak perempuan di teras rumahnya.

"Iya tunggu Rain! Sabar dong! Bentar lagi Kakak ke situ!" jawab Sang Kakak.

Kedua anak itu adalah dua bersaudara yang bisa dibilang sangat rukun. Sang kakak berusia 12 tahun, namanya Randy. Dan adik perempuannya yang masih 9 tahun, namanya Raina. Kedua kakak-beradik itu sedang bermain kembang api, menunggu detik-detik pergantian tahun.

Di luar, di dekat pagar rumah mereka, seorang anak laki-laki sedang bersembunyi di balik dinding dan semak-semak, lalu mencuri-curi pandang dan diam-diam melihat apa yang dilakukan oleh dua bersaudara itu. Usia anak itu seperti tak jauh berbeda dengan Raina dan kakaknya. Tak ada yang menyadari kehadiran anak itu. Ia pandai sekali menyembunyikan dirinya. Sampai ketika Randy menyalakan kembang api dan benda itu meledak di langit di atas mereka, bocah laki-laki itu terkejut dan spontan berteriak.

"Aaa!!" teriak bocah itu kaget dan melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

Mendengar teriakan bocah laki-laki di tengah sorakan seru Randy dan Raina, semua orang di rumah itu langsung melihat ke sumber suara. Dan mereka melihat bocah itu.

"Hei Nak! Kenapa berdiri di situ?! Ayo masuk! Masuk aja!" seru ayah Raina dan Randy, memanggil anak laki-laki untuk melihat lebih dekat, kembang api yang mereka mainkan.

Tapi bukannya mendekat, anak laki-laki itu malah lari ketakutan. Ia bertingkah seolah ia telah melakukan kejahatan. Dan seakan-akan ia akan dihukum karena bersembunyi di balik dinding pagar rumah itu.

"Hei! Ayo main sama kita!" seru Randy mengejar bocah itu sampai beberapa meter dari pagar rumahnya.

Tapi bocah itu pergi begitu saja. Meski ada sedikit rasa sedih karena tak sempat mengajak 'teman' mereka itu bermain, Randy dan Raina kembali bermain kembang api. Mungkin kalau bukan hari ini, besok mereka akan bertemu lagi dengan anak itu.

Di tempat lain, bocah laki-laki itu berlari menuju rumah kecilnya di sebuah gang kecil, tak jauh dari rumah dua bersaudara itu. Jalanan sempit itu sudah sepi. Tak seorang pun di sana yang punya keinginan untuk merayakan pergantian tahun malam itu. Bagi mereka, semua hari sama. Hidup mereka akan tetap sulit sepanjang tahun.

Tapi bocah itu tak seperti kebanyak orang di kampungnya. Ia merasa kalau di luar sana ada yang bisa dia lakukan yang mungkin tidak bisa ia lakukan di rumahnya. Bocah itu pergi ke komplek rumah Raina dan tak sengaja melihat anak perempuan itu dan kakaknya, sedang bermain kembang api.

Setelah berlari cukup jauh, bocah itu akhirnya berhenti dan duduk terengah-engah di depan rumahnya. Rumah kontrakan kecil yang hanya memiliki satu dapur kecil, kamar mandi yang cukup hanya untuk satu orang, dan dua kamar tidur dengan lorong sempit penghubung semuanya.

"Rendra! Dari mana kamu?!” teriak seorang pria yang sudah berdiri menunggu di depan pintu rumah itu. Bocah laki-laki itu ternyata bernama Rendra.

“Anu Pak. Ehmm.. Anu, Rendra dari…” ucap bocah itu ketakutan. Pria itu ternyata adalah ayah dari bocah itu, yang ia panggil Bapak.

“Dasar ndableg! Kamu kira Bapak nggak tahu kamu dari komplek. Udah dibilang jangan ke sana, masih nggak nurut kamu ya?! Kalau omongan Bapak aja nggak kamu dengerin, omongan siapa lagi yang mau kamu dengerin?! Hah!"  Bapak keluar dari rumah dan menarik telinga bocah itu.

"Bapak! Ampun, Bapak! Lepasin Pak! Sakit Pak! Bapak!" seru Rendra kesakitan.

"Kamu makin lama, makin nggak bisa diatur ya! Ayo sini, tak kasih pelajaran kamu ya. Biar kapok kamu!" seru Bapak marah.

Bapak membawa Rendra ke kamar mandi rumahnya yang sempit dan menyiram anak itu dengan air dari dalam bak mandi. Semalam itu, di siram air dingin. Tentu saja anak itu kedinginan setengah mati.

"Bapak! Dingin, Pak!" seru Rendra gemetar karena kaget dan kedinginan.

"Biar kapok kamu! Udah Bapak bilang, jangan ke komplek. Masih bandel aja kamu. Masih bagus kamu nggak diusir dari sana. Kalau Bapak ngomong itu di dengerin! Jangan masuk kuping kanan keluar kuping kiri! Ngerti kamu?! Nih, dingin, dingin kamu!" Bapak terus menyiram Rendra dengan air. Sedang Rendra, ia terus berontak gemetar karena kedinginan.

"Bapak, udah to Pak! Udah kedinginan itu anaknya!" seru Ibu Rendra yang datang saat mendengar keributan itu.

Tapi Bapak tidak mau mendengarkan siapapun, ia masih terus menyiram badan Rendra dengan air.

"Bapak! Udah!" teriak Ibu lebih kencang lalu memaksa masuk dan membawa Rendra keluar. Seorang anak laki-laki

lainnya datang dan membawakan handuk. Diberikannya handuk itu pada Ibu dan Rendra memakainya.

"Kamu bela aja terus anak kamu! Lihat! Gara-gara kamu bela terus, makin lama makin nggak bisa dibilangi!" seru Bapak jengkel lalu meninggalkan tempat itu.

Rendra hanya diam menunduk. Sebenarnya ia sangat marah. Memang apa salahnya dia datang ke komplek orang-orang kaya itu? Toh ia juga merasa tak mengganggu. Tapi Bapaknya selalu bersikap seolah pergi ke tempat itu adalah sebuah dosa. Dan kata-kata Bapaknya juga yang membuatnya lari ketakutan saat ketahuan bersembunyi di rumah Raina tadi.

"Sudah, Ndra. Jangan dipikirin omongan Bapak. Kamu kan tahu to Bapakmu gimana orangnya." Ibu membelai rambut Rendra dan berusaha memberi ketenangan untuk putra sulungnya itu. Rendra hanya mengangguk pelan. Kepalan tangannya yang tadi begitu keras, kini sudah lepas. Anak itu jarang sekali menangis, apalagi kalau urusan seperti ini. Ia marah, tapi ia paham betul kalau yang Bapaknya lakukan adalah demi dirinya sendiri.

"Udah malem. Nanti kamu masuk angin. Sana masuk ke kamar, ganti baju." Ibu menyuruh anak itu masuk ke kamarnya. Rendra mengangguk dan berjalan ke kamarnya. Di belakang, adik laki-lakinya yang hanya beda satu tahun dengannya, mengikuti Rendra dari belakang.

"Mas Rendra, kamu dari mana to tadi? Sampe Bapak marah-marah gitu," tanya Gilang, adik laki-laki Rendra.

"Kamu tahu rumah pagar hijau yang ada mobilnya? Yang dekat gerbang komplek. Tahu nggak?" jawab Rendra balik

bertanya.

"Haa iya. Tahu. Kamu ke situ, Mas?" lanjut Gilang.

"Iya, aku tadi ke situ. Mereka main kembang api. Tapi tadi aku ketahuan ngintip mereka main. Aku lari cepet-cepet pulang. Eh di rumah, Bapak udah nunggu di depan. Wes habis. Kena marah aku," Rendra bicara dengan kesal. Mendengar Bapaknya sudah kembali, mereka segera memasang posisi tidur.

Rendra dan Gilang mulai bersiap untuk tidur. Karena rumah mereka yang kecil, sangat tak mungkin mereka punya kamar sendiri-sendiri. Jadi mereka tidur bersama di satu kamar.

***

Halo teman-teman,

Alea Lee balik lagi sama cerita baru untuk teman-teman. DI cerita Author yang ini, bakal ada beberapa bagian yang pakai Bahasa Jawa ya, jadi kalau ada teman-teman yang nggak paham bisa cari di internet atau tanya teman ya artinya apa, hehe.

Semoga teman-teman suka ya. Jangan lupa baca sampai tamat ya. Like sama comment juga. Dan kalau teman-teman juga mau baca cerita Author yang lain, boleh banget loh ya. Selamat membaca teman-teman. Have a nice day... :)

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!