Alif menatap mata gadis yang beberapa saat lalu menabraknya. Mereka beradu pandang. Ada gejolak aneh dalam dadanya yang tak bisa dia jelaskan.
Berbeda dengan Alif, Jihan sangat terkejut atas perkataan lelaki itu. Yang awalnya kagum, seketika hatinya langsung syok. Dirinya tak merasa pernah bertemu apalagi mengobrol dengannya, tetapi kenapa lelaki itu bisa mengatakan bahwa dirinya bisa menyebabkan orang lain terkena sial?
Apa bener, gue ini bikin sial? Apa itu sebabnya, papa sering marah-marah sama gue? Karena, gue pembawa sial? batin Jihan.
“Lo tuh kenapa, sih, Lif? Sensi banget sama temen-temen gue!” protes Amel yang merasa tak terima atas semua perkataan Alif pada Jihan. “Lo nggak pa-pa, kan Ji?” Amel membantu Jihan berdiri.
“Lo kenal?” tanya Jihan dengan nada lesu. Hatinya saat ini sedang tidak baik-baik saja, harinya kembali kacau karena perkataan Alif.
“Dia ini Alif, sepupu gue, yang tadi gue dan Gisel ceritain. Kebayang, kan gimana keselnya jadi gue punya sepupu macem gini?” ucap Amel sambil menunjuk pada Alif.
“Lebih baik, kamu cari teman yang lebih baik. Bukan yang menjerumuskan kamu ke tempat-tempat nggak bener seperti itu,” ucap Alif yang kemudian pergi begitu saja dari hadapan kedua gadis itu.
Tanpa terasa air mata Jihan mengalir begitu saja, tubuhnya melemas, dan jantungnya langsung berdetak dengan cepat.
“Jihan, lo kenapa?” tanya Amel, sambil menopang tubuh Jihan yang terasa lebih berat.
Didudukkannya sang sahabat ke sebuah bangku yang berada di dekat salah satu ruang kelas. Amel langsung menolehkan wajah Jihan agar menghadap padanya. Sungguh, dirinya tak mengerti kenapa sang sahabat tiba-tiba menangis. Padahal, biasanya Jihan akan melawan siapa pun yang mengatakan hal tak menyenangkan kepada dirinya.
Amel mengelap air yang membasahi pipi Jihan. “Ji, maafin sepupu gue, ya, kalau dia udah nyakitin perasaan lo karena kata-katanya tadi.”
“Nggak ... bukan salah dia. Dia bener, gue pembawa sial, makanya bokap gue suka marah-marah sama gue, dan sekarang dia malah ngusir gue dari rumah.”
Hati Jihan teramat pilu, mengingat semua yang terjadi antara dirinya dengan sang papa, hingga akhirnya beberapa hari lalu dirinya diusir, dan semua fasilitas mereka ambil. Beruntung Jihan tak pernah menghabiskan uang sakunya, sisanya pun dia tabung, sehingga untuk membiayai hidupnya sendiri untuk beberapa waktu ke depan, uang tabungan tersebut masih cukup.
“Sssttt ... lo jangan bilang gitu. Bokap lo cuma nggak sadar aja, kalau dia punya anak istimewa kaya lo,” ucap Amel berusaha menenangkan Jihan.
Dalam hati kecilnya, Amel sungguh tak enak hati. Jika saja sepupunya itu tak mengatakan hal itu, Jihan tak ‘kan pernah mengingat tentang masalah keluarganya. Dia merutuki sikap Alif, yang dianggapnya sudah sangat keterlaluan.
“Percuma aja alim, tapi kelakuan ke cewek minus.” Tanpa sadar, Amel meluapkan kekesalannya pada Alif dengan nada rendah. “Awas aja lo, Lif.”
“Lo ngomong apa, Mel?” tanya Jihan yang mendengar gerutuan Amel.
“Ah, nggak, nggak ... nggak ngomong apa-apa.” Tentu saja Amel berbohong. Dia tak ingin mengingatkan Jihan tentang Alif lagi.
“Ya ampun, Mel ...,” ucap Jihan dengan nada keras dengan mata terbuka lebar.
“Kenapa, Ji? Ada apa?” tanya Amel.
“Mel, kita telat. Yang lain pasti udah pada kumpul,” ujar Jihan yang tiba-tiba teringat tentang kegiatan ospek mereka.
Amel pun tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Dia juga lupa tentang ospek.
“Ya ampun, dihukum lagi, dong gue? Ah elah, baru hari pertama juga, masa iya dua kali dihukum?” keluh Amel sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok. “Nggak usah balik, deh.”
Jihan tersenyum. “Ya udah, bolos, yuk. Kita ke ruang kesehatan aja, nemenin Gisel. Mau nggak?” ajak Jihan.
Belum sempat mendapat jawaban dari Amel, tiba-tiba ponselnya berdering. Dan, nama Daniel yang tertera di layar ponselnya.
“Eh, bentar, bentar. Daniel telepon.” Jihan menjauh dari Amel. Dia tak ingin siapa pun mengetahui percakapan dengan sang kekasih, yang sering membahas hal-hal vulgar.
“Ya, Sayang? Ada apa?” tanya Jihan setelah memencet tombol terima panggilan.
“Kamu ada di mana? Aku udah selesai kuliah, dan lagi di tempat ospek. Tapi, nggak ada kamu di mana pun,” protes Daniel dari seberang telepon.
“Oh, aku lagi di depan salah satu kelas fakultas kedokteran. Cie, udah kangen, nih sama aku?” ledek Jihan.
Daniel tertawa. “Ya iyalah, aku kangen. Ya, kali aku nggak kangen sama pacar sendiri? By the way, kamu bolos?”
“Iya, nih. Tadi mau balik, eh tahunya telat. Maksa balik juga pasti kena hukum, kan? Sama-sama dihukum, ya udah balik besok aja sekalian.”
Lagi-lagi Daniel tertawa di seberang telepon. “Ya udah, aku tunggu di parkiran, ya? Aku kangen,” ucap Daniel dengan nada manja, lalu menutup panggilannya pada Jihan begitu saja.
“Eh, Mel. Gue titip tas, ya. Nanti gue ambil ke rumah lo.” Tanpa menunggu jawaban dari sang sahabat, Jihan pergi dengan riang begitu saja.
“Nah, kan ... nah, kan. Kumat. Tadi aja mewek, gue yang nenangin. Giliran cowoknya telepon, gue dicuekin. Emang nggak ada akhlak tuh anak,” sungut Amel sambil berdiri, dan memutuskan untuk menemui Gisel.
Di tempat lain, rupanya Alif pun tak kembali ke tempat ospek. Dirinya begitu memikirkan sikapnya pada Jihan.
“Aku kenapa, sih bisa sekasar itu ngomong ke cewek itu? Bukannya kata Pak Ustaz juga kehidupan di kota memang begitu, tapi kenapa aku nggak bisa kontrol ucapanku? Ah, bodoh, bodoh.”
Hati kecil lelaki itu menginginkannya meminta maaf pada Jihan. Akan tetapi, egonya tak menyetujui. Dalam pemikirannya yang lain, Jihan memang pantas mendapat hal itu. Karena, di matanya, gadis itu bukanlah gadis baik-baik.
Alif mengusap wajahnya kasar. “Ya Tuhan, maafkan aku jika telah menyakiti hati gadis itu.”
Dia memutuskan untuk pulang. Sulit baginya untuk fokus mengikuti semua kegiatan ospek hari itu. Beruntung, tasnya selalu bertengger di pundaknya ke mana pun dia pergi. Jadi, setidaknya tidak akan ada yang menyadari jika dirinya bolos.
Langkah demi langkah Alif lalui, hingga sampailah lelaki itu di parkiran sepeda motor fakultas ekonomi. Di sana, dirinya melihat sepasang muda-mudi sedang bermesraan di atas sebuah motor gede.
“Astaghfirullah ... apa mereka nggak malu, bermesraan seperti itu di tempat umum? Dengan bangganya mereka mempertontonkan maksiat. Urat malunya bener-bener udah putus.”
Lelaki itu berjalan perlahan, tetapi dengan cepat dia menghentikan langkah dan memalingkan wajah, tatkala antar wajah sepasang sejoli itu terlihat seolah makin dekat.
“Astaghfirullah. Di sini tempat umum. Apa kalian tidak malu, menjadi tontonan di hadapan banyak orang?” tegur Alif yang sukses mengejutkan Daniel dan Gisel.
Mereka berdua langsung menoleh pada Alif yang berada di belakangnya. “Lo lagi? Berani-beraninya lo ganggui kesenangan gue dengan Jihan. Gue kasih juga, lo.”
Daniel mendekati Alif, lalu menarik kerah bajunya. Telapak tangan Daniel mengepal kuat dan siap kapan saja melayangkan bogem mentah pada Alif, jika saja Jihan tak menghalanginya saat itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments