“Daniel, Daniel, stop! Dia sepupu gue. Mending sekarang lo bantu gue bawa Jihan keluar dari sini,” teriak Amel.
Kini mereka menjadi tontonan karena Jihan yang tiba-tiba ambruk dan tak sadarkan diri. Bahkan, semua kegiatan di tempat hiburan itu berhenti seketika. Tak bisa dipungkiri, Amel begitu panik melihat kondisi Jihan yang sangat kacau. Berbeda dengan Amel, Gisel hanya berdiam diri melihat semua kejadian itu.
“Gue nggak bisa, bentar lagi gue harus perform lagi,” ujar Daniel yang tak merasa cemas sedikit pun dengan kondisi Jihan saat itu.
Alif yang mendengar hal itu langsung mendelik tajam ke arah Daniel. Dia tak menyangka bahwa laki-laki yang mengaku pacarnya Jihan, bisa-bisanya lebih mementingkan aktivitasnya daripada mengkhawatirkan keadaan sang kekasih.
Wajah Amel tak kalah terkejut mendengar ucapan Daniel. Diangkatnya kepalanya, mata bulat nan indah itu pun langsung melayangkan tatapan tajam ke arah Daniel.
“Bisa-bisanya lo ....”
Belum selesai Amel berbicara, tiba-tiba Alif mengangkat tubuh Jihan yang saat itu kepalanya berada di pangkuan Amel.
“Ayo, Mel, kita harus cepet bawa dia ke rumah sakit,” ucap Alif sambil membopong tubuh Jihan keluar dari tempat itu, dan diikuti Amel di belakangnya.
Daniel hendak menghalangi Alif, tetapi langkahnya terhenti saat Gisel menahan lengannya.
“Kamu perform aja. Urusan Jihan, biar aku yang handle,” ucap Gisel sambil mengelus lembut pipi Daniel.
“Tapi ...,” sanggahnya.
“Dengerin ucapanku. Jihan pasti baik-baik aja,” sahut Gisel dengan cepat. “Aku pergi dulu. Nanti aku akan telepon kamu.”
Gisel pergi meninggalkan Daniel yang tiba-tiba mematung, menyusul Amel dan Alif keluar dan berencana membawa Jihan ke rumahnya.
Di luar gedung, Alif mulai merasa lelah membopong tubuh Jihan yang bobotnya sekitar lima puluh kilogram. Namun, dia juga tak mungkin menggeletakkan tubuh Jihan begitu saja.
“Aduh, temen kamu masih lama, nggak sih, Mel? Berat ini,” keluh Alif yang mulai merasakan tegang dan kebas di lengannya, tepat di depan mobil Honda Jazz berwarna merah.
“Eh, pamali tahu, bilang berat saat lagi gendong cewek. Untung aja Jihan nggak sadar, coba kalau sadar, udah pasti dia bakal ngegaplok mulut lo!” jawab Amel dengan nada kesal.
“Mana, sih, Gisel? Lama bener,” gerutu Amel sembari melipat kedua tangannya di depan dada, karena embusan angin malam itu mulai menusuk kulit mulusnya.
“Guys, sorry lama. Barusan masih ke toilet. Yuk, langsung masuk aja. Lo ke sini tadi nge-Grab, kan?” tanya Gisel sembari berlari ke arah mobilnya, lalu membukakan pintu untuk Alif dan Jihan.
Amel mengangguk, lalu bergegas masuk ke mobil dan duduk di jok depan di samping jok sopir atas permintaan Gisel. Setelah itu, Gisel mengemudikan mobilnya keluar dari tempat hiburan malam itu.
“Kita bawa Jihan ke rumah gue dulu, ya. Setelah itu, baru gue antar kalian pulang,” ujar Gisel.
“Nggak usah, biar aku dan Amel naik taksi online aja,” sahut Alif dengan cepat dari jok belakang.
Alif yang berada di samping Jihan, merasa sangat risih, saat gadis itu mulai meracau, menyebut nama Daniel dan memeluk dirinya, bahkan menyandarkan kepalanya di pundak Alif. Berkali-kali Alif mencoba menjauhkan Jihan darinya, tetapi gadis itu, tetap saja melakukan hal itu lagi.
“Ya Tuhan ... tolong jauhkan aku dari wanita-wanita seperti ini,” gumam Alif seraya mendorong kepala dan tangan Jihan menjauh darinya.
“Yang sabar, ya, Lif. Jihan emang gitu kalau lagi mabuk. Tapi, ya, nikmati ajalah, kapan lagi, kan dipeluk cewek cantik,” ledek Gisel sambil tertawa.
“Astaghfirullah, kenapa kalian begitu bangga membuka aurat bahkan memeluk laki-laki lain yang bukan mahram kalian?” sahut Alif yang sudah mulai stres menghadapi sepupu dan kedua temannya itu.
“Eh, nggak usah ceramah, deh. Kalau mau ceramah tuh, di masjid, bukan di mobil,” ketus Amel.
Gisel hanya tersenyum melihat tingkah kedua sepupu itu sambil fokus menyetir. Namun, tiba-tiba dirinya merasa pusing dan perut yang yang diputar-putar. Gisel pun menghentikan laju mobilnya secara mendadak. Beruntung saat itu jalanan sangat sepi.
“Lo kenapa, Sel? Kenapa berhenti mendadak?” tanya Amel.
Tanpa menjawab dengan perkataan, Gisel memberi kode dengan mengangkat tangannya dan mengarahkan telapak tangan kirinya pada Amel, sedangkan tangan kanannya menutupi mulut manisnya yang sedang mual.
Dengan cepat gadis itu turun dari mobil dan berlari ke sebelah trotoar, memuntahkan semua isi perutnya di sana. Hingga saat Gisel merasa bahwa tubuhnya sudah membaik, dirinya langsung menuju tempat duduk Amel. Dirinya mengetuk jendela, dan meminta sahabatnya itu untuk keluar.
“Kenapa, Sel?” tanya Amel yang merasa kebingungan.
Pasalnya, Amel tahu betul jika sahabatnya itu sangat tahan dengan minum-minuman beralkohol, dan jenis Vodka adalah favoritnya.
“Perut gue mual banget. Tolong lo gantiin gue nyetir dulu, ya,” pinta Gisel dengan suara lesu.
Amel pun mengiakan permintaan itu, karena tak mungkin membiarkan Gisel tetap mengemudikan mobil dalam keadaan seperti itu, atau nyawa mereka semua berada dalam bahaya.
Selama perjalanan, hanya hening. Gisel yang tertidur, dan Alif yang masih sibuk menjauhkan tubuh Jihan darinya.
“Mel, kamu kalau cari temen yang bener, dong. Jangan yang suka minum-minum dan buka aurat seperti ini,” keluh Alif.
“Mereka berdua itu cewek baik-baik. Jangan asal judge orang deh lo!” protes Amel membela kedua temannya.
“Wanita baik-baik tidak akan pernah masuk ke tempat haram kaya gitu,” sahut Alif.
“Jadi, maksud lo, gue bukan cewek baik?” tanya Amel dengan kesal.
Alif merasa salah tingkah sendiri mendengar pertanyaan Amel. Lelaki lulusan pesantren di desa kecil daerah Bandung itu tak ada maksud sedikit pun menyindir sang sepupu, karena dia tahu betul bahwa Amel adalah gadis yang baik.
Tak lama, akhirnya mereka sampai di sebuah rumah berlantai dua milik keluarga Amel dengan pagar berwarna coklat kayu di depannya. Di samping pagar itu terdapat sebuah pos satpam.
Amel membunyikan klakson, dan dengan segera seorang satpam membukakan pintu gerbang. Dengan cepat Amel memasukkan, lalu memarkirkan mobil tepat di depan pintu garasi rumah yang terlihat mewah itu.
“Gisel, bangun ... kita sudah sampai,” ucap Amel perlahan sambil mengguncangkan pundak Gisel.
Gisel yang tak kunjung sadarkan diri membuat Amel begitu cemas, hingga akhirnya dirinya turun dari mobil dan memanggil Pak Usman—satpam di rumah Amel—, untuk membantunya membopong tubuh Amel ke kamarnya. Satpam itu pun dengan cepat melakukan permintaan Amel, membawa masuk sang anak majikan ke kamarnya.
Sedangkan Alif, masih berkutat dengan Jihan, yang masih enggan untuk digendong, dan dengan terpaksa lelaki itu harus memapahnya perlahan. Gadis itu terus meracau tak jelas, hingga akhirnya dia tiba-tiba berhenti lalu menguap dan mengeluarkan isi perutnya ke tubuh Alif.
Bau alkohol kembali menyengat setelah muntahan itu. Tentu, hal itu membuat Alif kembali merasa pusing dan sedikit jijik.
“Astaga ... kamu tuh, ya. Huft, punya dosa apa aku? Sampai-sampai harus bertemu dengan gadis-gadis seperti ini di hari keduaku berada di Jakarta,” gerutu Alif.
Amel keluar dari rumah itu setelah memastikan Gisel tertidur dengan nyaman di kasur empuknya. dengan niat memastikan keadaan Jihan. Dia merasa aneh karena kedua manusia berlainan jenis itu tak kunjung masuk.
Suara tertawa keras terdengar di telinga Alif, dia pun menoleh ke asal suara yang ternyata itu adalah sepupunya sendiri, Amel.
“Bantuin, dong, Mel. Malah ketawa,” protes Alif yang masih sibuk membersihkan bajunya sambil tetap memapah tubuh Jihan yang kini sudah tak sadarkan diri.
Amel yang melihat Pak Usman keluar, langsung meminta satpam itu untuk membantu Alif dan membawa Jihan ke kamar Gisel juga. Dengan sigap, pria paruh baya itu melaksanakan titah Amel.
“Ya udah, ayo ikut gue ke dalam. Bersihin baju lo dulu,” ajak Amel pada Alif.
Amel menunjukkan kamar mandi yang terletak di samping dapur pada Alif, agar sepupunya itu membersihkan diri. Kemudian, dirinya pergi ke sebuah kamar kecil di belakang dapur, mengetuk pintu dan memanggil si empunya kamar agar dia keluar.
“Mbak Amel, ada apa?” tanya Bi Minah, seorang Asisten Rumah Tangga yang bekerja di rumah Gisel.
“Bi, Jihan malam ini nginap di sini, terus Amelnya lagi mabuk. Tolong, ya, Bi urus mereka. Aku nggak bisa nginap di sini juga soalnya. Kalau ada apa-apa, tinggal telepon aku, ya,” ujar Amel dengan lembut.
“Baik, Mbak Amel,” sahut Bi Minah.
“Papa-Mamanya Gisel, kapan pulang?” tanya Amel.
“Kurang tahu juga, Mbak. Biasanya kan juga sebulan sekali. Tapi, ini sudah dua bulan mereka nggak pulang. Katanya lagi sibuk banget,” jawab Bi Minah.
Sungguh, jawaban yang menyayat hati Amel. Sebagai sahabat, dia tahu betul bagaimana rindunya Gisel pada kedua orang tuanya. Salah Gisel memang, karena saat orang tuanya mengajak pindah, gadis itu menolak, dengan alasan sudah lelah harus berpindah-pindah rumah, mengikuti kesibukan sang papa.
“Ya udah, Bi. Kalau gitu aku pulang dulu, aku titip Gisel dan Jihan, ya, Bi.”
Bi Minah mengangguk, dan hanya melihat punggung Amel yang makin lama makin menjauh.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
adhie poetra
Umm, author-san, sepertinya ada salah pengetikan atau penyebutan nama di beberapa scene.
untuk alurnya, mungkin dijelasin aja pas alif ngajakin amel ke rumah sakit, tapi malah jadi mau dibawa ke rumahnya jihan terus dipertengahan menjelang akhir malah dibawa ke rumah gisel. dibuat kayak dialog aja kayak "ngapain ke rumah sakit, emang melahirkan. bawa aja ke rumah dia," sanggah Amel atau pas Gisel lemes karena muntah2 si amel bilang lagi "gak jadi ke rumah jihan deh, ke rumah Gisel aja. biar Jihan nginep di sana."
2021-10-04
2
kelinci Mungil
q gak suka sama gisel. kyanya dia suka sama daniel.
2021-10-04
2