Beberapa hari berlalu, kini masa perkuliahan pun tiba. Jihan, Amel, dan Gisel bertemu untuk pertama kalinya setelah kejadian di klub malam beberapa waktu lalu. Ketiganya terlihat begitu senang, ditandai dengan gelak tawa yang tak pernah usai dari mereka.
“Eh, Mel, sepupu lo kuliah di sini juga, kan?” tanya Gisel.
Raut wajah Amel seketika berubah. Kekesalannya pagi ini pada Alif kembali berputar dalam ingatannya.
“Eh, iya, gue belum ketemu sama sepupu lo, Mel. Kenalin, dong. Kata Gisel, dia cakep,” sahut Jihan penuh antusias.
Amel merasa makin kesal saat teringat bagaimana dirinya mendapat hukuman karena terlambat di hari pertama ospek, dan itu semua gara-gara Alif. Dengan kasar gadis itu mendudukkan tubuhnya sambil memasang wajah yang cemberut.
Jihan dan Gisel pun mengikuti Amel, dan duduk di sampingnya. Mereka penasaran, apa yang membuat sang sahabat terlihat sekesal itu saat mereka membahas tentang sepupunya?
“Lo kenapa cemberut gitu, sih, Mel? Bukannya seneng, punya sepupu tampan juga,” ujar Jihan.
“Gue belum bilang, ya sama lo?” tanya Gisel pada Jihan.
Jihan menggelengkan kepala.
“Sepupunya si Amel tuh, alim banget. Lo bayangin, deh, diajak salaman sama gue aja, dia ogah. Lo doang tuh yang beruntung, bisa meluk dia,” ledek Gisel yang diikuti tertawa keras dari bibir mungilnya.
Jihan mengernyitkan dahi dan menyipitkan matanya. Gadis itu benar-benar tak mengerti maksud dirinya telah memeluk sepupu Amel.
“Gue meluk sepupu Amel? Kapan? Di mana?” tanya Jihan yang sangat terlihat kebingungan dari raut wajahnya.
Gisel mengangguk cepat. “Lo ingat terakhir kali kita ke klub? Nah, itu kan lo mabuk parah sampai nggak sadarkan diri. Yang bantuin lo itu ya, si Alif, sepupunya Amel.”
Jihan membuka matanya lebar, bibir mungil gadis itu juga menganga dengan sendirinya, hingga membentuk huruf O. Dirinya sungguh tak menyangka jika hal itu memang benar terjadi. Kini, dia hanya bisa merutuki kebodohannya sendiri, bisa-bisanya dia mabuk berat hingga bertingkah demikian.
Akan tetapi, tunggu dulu ... Jihan teringat seseorang. Ya, dia mengingat Daniel, sang kekasih. Gadis berambut panjang separuh badan itu tiba-tiba berpikir, bagaimana bisa dirinya ditolong oleh laki-laki lain? Ke mana pujaan hatinya saat itu? Kenapa bukan laki-laki itu yang menolongnya?
“Udah, deh ... jangan bahas si Alif lagi. Males banget gue denger namanya,” keluh Amel. “Bayangin, ya ... udah tahu, kan dia kalau hari ini tuh hari pertama ospek? Eh, dia malah masih sempet-sempetnya, dong solat pagi-pagi, padahal subuh udah lewat. Kan jadinya gue tadi telat, terus dihukum, deh kita bersihin toilet.”
“Ya, kan itu udah risiko lo, sih, Mel ... punya sepupu alim,” ledek Gisel yang kemudian diikuti tawa darinya.
Suara ejekan dari sang sahabat terdengar makin menyebalkan. “Dahlah ... males gue.”
Amel beranjak dan pergi begitu saja menuju kantin. Meninggalkan Gisel dan Jihan yang masih melamun memikirkan sang kekasih.
“Jihan, ayo, tuh si Amel ngambek.” Ucapan Gisel sukses menyadarkan Jihan.
Keduanya berlari mengejar langkah Amel yang begitu cepat. Hingga, saat mereka bertiga berada di dekat kantin kampus, aroma beberapa makanan membuat Gisel kembali merasakan mual.
Tak ingin banyak orang curiga tentang kondisinya, dia berusaha keras menahan mualnya. Namun, makin lama, perasaan ingin muntah itu makin kuat, hingga tanpa bisa ditahan lagi, Gisel menguap di hadapan kedua sahabatnya.
Gadis yang kini tengah berbadan dua itu langsung berlari, mencari sebuah toilet yang paling dekat dengan kantin. Setelah menemukannya, Gisel langsung mengeluarkan seluruh isi perutnya, tubuhnya terasa dingin, dan wajah oval itu terlihat pucat di cermin yang berada di atas wastafel.
Gisel mengelap sisa-sisa muntahan dan seluruh keringat yang membanjiri wajahnya. Sambil terengah-engah dengan jantung yang berdebar makin kencang, mata bulat itu memperhatikan lekat-lekat wajahnya di pantulan cermin tersebut.
“Gue harus telepon dia. Dia harus tahu kalau gue lagi hamil anaknya. Ya, dia harus tahu. Dia juga bilang kalau nggak akan ninggalin gue, karena dia cinta sama gue. Ya, gue akan telepon dia sekarang juga.”
Gisel langsung merogoh kantung rok span berwarna hitam yang dia kenakan, di mana ponsel miliknya berada di sana. Dengan cepat, gadis itu melakukan panggilan pada sebuah nomor yang dia beri nama “Love".
Beberapa kali Gisel mencoba menelepon orang tersebut, tetapi tak satu pun panggilan itu mendapat respons. Hati gadis cantik berbulu mata lentik itu mulai kesal, jika saja saat ini dirinya bisa berteriak dan tak menimbulkan kegaduhan, dia sudah pasti akan melakukan hal itu.
Derai air mata kembali membanjiri pipi tembam Gisel. Tak dipungkiri, hati gadis itu sangat kalut, kekhawatiran dan ketakutan akan ditinggalkan, begitu saja muncul dalam hatinya.
“Nggak, nggak ... dia Cuma sibuk. Dia nggak mungkin ninggalin gue.” Gisel menyeringai, tetapi tetap tak bisa menghentikan air yang sudah terlanjur mengalir di pipinya.
[Malam ini, tolong temui aku, ya. Ada hal penting yang harus kita bicarakan.] Gisel mengirim sebuah pesan singkat pada orang itu.
“Gisel, lo nggak pa-pa? Kita ke rumah sakit, ya?” ajak Jihan sambil menggedor pintu toilet dengan keras.
“Emang dia mabuk-mabukan lagi?” tanya Amel.
“Mabuk? Nggak, kok. Cuma emang kayanya dia lagi masuk angin. Sering mual-mual juga, sih,” jawab Jihan dengan polosnya.
“Masuk angin?” tanya Amel memastikan, dan Jihan menjawabnya dengan anggukan.
“Udah dikerokin, sih sama Bi Minah. Tapi, kayanya masuk anginnya parah, deh. Makanya nggak sembuh-sembuh. Kita paksa dia aja ke dokter, gimana?”
Tiba-tiba pintu toilet itu terbuka, dan seorang gadis dengan wajah pucat keluar dari sana.
“Nggak usah, gue baik-baik aja. Gue cuma butuh istirahat aja. Kayanya, gue bakal ke ruang kesehatan aja. Kalian nggak perlu ikut. Bentar lagi, jam istirahat udah habis,” putus Gisel yang kemudian berlalu begitu saja dari hadapan kedua sahabatnya.
Jihan melipat satu tangannya di depan dada, sedang tangan lainnya ditempelkannya pada dagu. Otaknya berpikir keras tentang sang sahabat.
Nggak mungkin cuma masuk angin. Apa iya, masuk angin bisa selama itu? Lagi pula, tubuh Gisel nggak panas, batin Jihan.
“Jangan-jangan ...,” ucap Jihan dan Amel bersamaan.
“Lo mikirin apa yang gue pikirin?” tanya Jihan, melirik ke arah Amel.
“Sepertinya begitu. Tapi, kalau memang iya, sama siapa? Kan dia nggak punya pacar!” ucap Amel yang masih sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada sang sahabat.
Mendengar pertanyaan itu, entah kenapa hati Jihan kembali merasa tak tenang. Dia merasa seolah akan terjadi sesuatu yang bisa menyakiti hatinya lagi.
Tak lama, bel penanda harus berkumpul untuk seluruh peserta ospek pun terdengar. Jihan dan Amel berlari sekencang yang mereka bisa, karena tak ingin terlambat, atau kalau tidak, mereka akan mendapat hukuman.
Gedebuk!
“Aw ... aduh, sakit ... punya mata ngga ....”
Tanpa sengaja Jihan bertabrakan dengan seorang laki-laki yang belum dikenalnya. Detik itu juga gadis itu terpanah akan ketampanan lelaki yang ada di hadapannya.
Tuhan, cakep banget, batin Jihan.
“Kamu lagi, kamu lagi. Ketemu kamu, tuh bikin aku sial, tahu nggak?” ketus laki-laki itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
kelinci Mungil
jihan sama alif aja deh. jangan daniel.
2021-10-04
1