Hamil

Pagi menjelang, matahari telah menampakkan sinarnya melalui celah tirai, ia menyusup dan cahaya yang menyilaukan itu sukses membuat Jihan mengerjap-ngerjapkan matanya. Perlahan, mata indah itu terbuka, sembari menyesuaikan netranya dengan cahaya yang menyusup dari balik tirai.

Jihan mendudukkan tubuhnya, lalu melihat sekeliling ruangan bercat putih, tatanan semua barangnya begitu rapi, di beberapa sisi dinding ruangan itu terpampang jelas foto salah satu sang sahabat, Gisel, dengan berbagai pose. Di salah satu sudut juga terdapat koper miliknya Jihan yang bersanding dengan sebuah lemari milik Gisel. Aroma oceanic air yang sangat menyegarkan, juga berhasil membuat tubuh dan pikiran Jihan terasa lebih relax.

Jihan menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan sambil sedikit menguap.

“Jadi, gue ada di rumah Gisel?” gumamnya sambil menutup mulutnya yang tengah menguap lagi.

Gadis itu perlahan turun dari kasur yang telah membuatnya tidur nyenyak semalaman, sedikit melupakan semua permasalahan yang terjadi pada dirinya. Jihan lalu membereskan tempat tidur itu, kemudian membuka tirai dan jendela kamar, dan terakhir mematikan lampu dan AC.

“Gisel ke mana, ya?” tanyanya pada diri sendiri sambil melangkah keluar kamar menuju dapur.

Tak ada tanda-tanda keberadaan Gisel di mana pun, bahkan di dapur hanya ada Bi Minah yang sedang memasak. Jihan menghampiri wanita yang sudah bekerja di rumah sang sahabat sejak kecil itu, dan menawarkan diri untuk membantunya memasak.

“Jangan, Mbak Jihan, nanti kalau Mbak Gisel tahu, Bibi yang kena marah,” sela Bi Minah saat Jihan hendak mengupas bawang. “Mending Mbak Jihan mandi dulu saja, terus nanti sarapan beres, tinggal makan, deh.”

Seketika Jihan langsung mengendus ketiak dan baju yang dia kenakan sejak kemarin sore. Benar saja, tercium bau asam dan alkohol yang begitu mengganggu indra penciuman gadis itu.

Jihan tertawa setelah mencium aroma tubuhnya. “Bibi jadi kebauan, ya? Maaf, ya, Bi. Ya udah deh, Jihan mandi dulu. Kalau nanti Bibi masaknya belum kelar, aku bantu, deh.”

Jihan bergegas kembali ke kamar Gisel, lalu mandi dan bersiap untuk sarapan. Gadis itu berencana akan segera mencari indekos di dekat kampus barunya, untuk menghemat pengeluarannya nanti.

Usai mandi dan berdandan, Jihan kembali ke dapur, berniat membantu asisten rumah tangga sahabatnya itu memasak lagi. Namun, dirinya harus kecewa, karena Bi Minah rupanya telah selesai memasak pun menatanya di atas meja makan.

“Yah, kok udah selesai, sih, Bi? Aku kan mau bantuin,” ucapnya dengan nada kecewa yang hanya mendapat respons sebuah senyuman dari wanita paruh baya tersebut. “Oh ya, Bi. Gisel ke mana, ya? Kok dari tadi aku nggak lihat dia?” Jihan menoleh ke beberapa ruangan depan, memastikan bahwa sahabatnya itu memang benar-benar tidak berada di rumah.

“Oh, Mbak Gisel tadi pagi udah keluar, Mbak. Katanya mau lari pagi,” jawab Bi Minah.

Jihan mengangguk, kemudian duduk di kursi dan menyiapkan piring untuk makan. Ya, baik Jihan, Gisel, maupun Amel tak pernah sungkan saat berada di rumah satu sama lain. Mereka bertiga sudah menganggap rumah sahabatnya, seperti rumah mereka sendiri, pun dengan orang tua masing-masing, mereka juga sudah sangat akrab.

“Bi Minah temenin aku makan, ya. Nggak enak tahu, makan sendirian,” pinta Jihan saat Bi Minah hendak pergi dari meja makan itu.

“Tapi, Mbak Jihan ....”

“Nggak ada tapi-tapian. Ayo duduk di sini.” Dengan segera Jihan motong ucapan Bi Minah, lalu berdiri dan mempersilakan wanita itu untuk duduk di sampingnya.

Tak lupa, Jihan juga mengambilkan sepiring nasi, lengkap dengan lauknya untuk Bi Minah. Setelah itu, dirinya mengambil makanan untuk dirinya dan kembali duduk.

“Nah, kalau gini, kan enak. Makan ada yang nemenin, walaupun bukan pacar,” ucap gadis yang mengenakan Tank Top berwarna putih dibalut dengan Cardigan berwarna dongker, sambil tersenyum lalu melahap makanannya.

Di tengah sarapan pagi Jihan dan Bi Minah. Wajahnya begitu pucat dengan perut yang terasa seperti diaduk-aduk. Aroma makanan itu makin membuat Gisel ingin mengeluarkan isi perutnya.

“Gisel, ayo sini, makan bareng kita,” ajak Jihan.

Bukannya menjawab dengan kata-kata, Gisel langsung pergi dan masuk ke kamar mandi yang berada di dekat dapur, sambil menenteng sebuah plastik yang entah apa isinya. Gisel menguap dengan sangat keras, hingga sahabat dan asisten rumah tangganya yang sedang makan, mendengar suara itu.

Jihan menoleh kepada Bi Minah, seolah menanyakan apa yang sedang terjadi.

“Kita lihat Gisel yuk, Bi. Takut dia kenapa-kenapa,” ajak Jihan yang langsung diiakan oleh Bi Minah.

Mereka berdua menyusul Gisel ke kamar mandi itu, tetapi pintunya dikunci dari dalam.

“Gisel, lo kenapa? Lo sakit?” tanya Jihan sambil mengetuk pintu.

Gisel terus saja menguap tanpa menghiraukan panggilan dan gedoran pintu yang dilakukan Jihan dan Bi Minah. Sebaliknya, dia justru mengeluarkan sesuatu dari plastik yang dibawanya.

“Gue harus memastikan,” ucapnya sembari menatap sebuah alat tes kehamilan yang baru saja dia keluarkan.

Setelah beberapa menit menunggu tanpa memedulikan Jihan dan Bi Minah yang masih saja menggedor pintu, akhirnya hasil itu pun dapat terlihat jelas. Muncul dua garis merah di alat panjang nan pipih itu, yang menandakan bahwa hasil tes kehamilan yang dilakukan Gisel adalah positif.

Mata gadis itu membulat sempurna. Dia betul-betul tak menyangka bahwa pergaulannya yang terlalu bebas, justru siap menghancurkan hidupnya.

Gisel menggeleng kepala perlahan. Matanya berkaca-kaca. Lututnya lemas, hingga menopang tubuh sendiri begitu sulit. Gadis itu terduduk, hatinya masih syok. Air mata mulai mengalir, dia merasa hidupnya kini telah hancur.

Gue nggak akan pernah ninggalin lo, gue cinta sama lo.

Gisel teringat ucapan laki-laki itu saat mereka sedang melakukan hubungan terlarang itu. Dirinya kemudian bangkit sambil menghapus air mata, dan memasukkan alat tes kehamilan itu ke dalam saku celana training miliknya.

“Mbak Gisel, Pak Usman dobrak, ya, pintunya,” ucap satpam rumahnya.

Akan tetapi, saat tubuh Pak Usman hendak menyentuh pintu itu, tiba-tiba saja Gisel membukanya dan membuat lelaki tua itu hampir terjatuh.

“Astaga, Mbak Gisel, bilang dong kalau mau buka pintu. Gimana coba, kalau Pak Usman malah nyusruk, gimana coba!” protes Pak Usman yang langsung ditertawai oleh Jihan dan Bi Minah.

“Ya, lagian Pak Usman ngapain di situ?” tanya Gisel dengan nada lemas.

“Sorry, tadi gue sengaja panggil Pak Usman untuk dobrak pintunya. Karena, lo dipanggil nggak nyahut-nyahut, sih. Ya, gue pikir lo pingsan,” sahut Jihan dengan cepat, sebelum Gisel memarahi para satpam dan asisten rumah tangganya itu.

“Mbak Gisel nggak kenapa-napa? Yuk, sini duduk dulu,” ajak Bi Minah yang langsung menghampiri Gisel, lalu merangkulnya untuk duduk di meja makan.

“Lo sakit, Sel?” tanya Jihan sambil menyentuh kening dan leher sang sahabat. “Eh, tapi nggak panas. Tapi, kenapa wajah lo pucet banget?”

Jihan benar-benar bingung, apa yang sedang terjadi pada Gisel. Tak biasanya gadis itu dalam kondisi seperti itu.

“Kita ke dokter aja gimana?” usul Jihan.

“Nggak, nggak perlu. Gue baik-baik aja. Iya, gu-gue baik-baik aja.” Gisel dengan cepat menolak ajakan itu.

Gadis itu benar-benar takut jika orang lain mengetahui kehamilan dirinya. Apalagi, jika orang itu adalah Jihan, dan apa yang akan terjadi jika sahabatnya itu mengetahui siapa laki-laki yang telah menghamilinya. Sungguh, dia tak bisa membayangkan tentang hal itu.

“Lo yakin?” tanya Jihan memastikan.

Akan tetapi, perut Gisel lagi-lagi seperti diaduk-aduk tatkala bau makanan yang ada di meja itu masuk ke hidungnya. Dengan cepat gadis itu berlari ke kamar mandi, dan lagi-lagi memuntahkan isi perut yang sebetulnya kosong.

Gisel kenapa, ya? Kok aneh gitu? batin Jihan sambil menunggu sahabatnya itu keluar.

Tak lama, Gisel pun keluar dengan wajah yang makin pucat dan terlihat lemah.

“Bi, anterin aku ke kamar, yuk. Kayanya aku masuk angin. Nanti sekalian dikerokin, ya,” pinta Gisel yang langsung dituruti oleh Bi Minah.

“Kalau gitu, Pak Usman balik ke pos dulu, ya, Mbak. Takut ada tamu,” pamit satpam yang dijawabi anggukan oleh Gisel.

Seperginya Pak Usman, Gisel pun masuk ke kamar dengan ditemani Jihan dan Bi Minah. Namun, entah mengapa saat itu, hati Jihan merasa tak tenang, tetapi dirinya masih enggan untuk mengatakan apa pun, mengingat keadaan Jihan yang seperti itu.

“Sel, nanti lo, gue tinggal sendiri nggak pa-pa? Soalnya gue mau cari kos-kosan deket kampus,” ucap Jihan.

“Lo nggak mau tinggal di sini aja sama gue? Gue di sini sendirian. Bokap-nyokap gue juga jarang pulang,” bujuk Gisel yang sudah duduk berselonjor di kasur empuknya.

“Gue nggak mau ngerepotin lo,” ucap Jihan dengan tulus.

“Gue lagi sakit, seenggaknya, lo di sini dulu beberapa hari, temenin gue,” pinta Jihan.

Gue harus mastiin kelanjutan hubungan Jihan dan Daniel. Gue nggak akan biarin Jihan lepas dari pengawasan gue dulu, batin Gisel.

Jihan terlihat berpikir sejenak. Dalam hatinya, dia betul-betul tak ingin merepotkan Gisel, tetapi kondisi sahabatnya itu juga tak memungkinkan untuk ditinggalkan sendiri.

“Mmm, baiklah. Gue akan tinggal di sini dulu sampai kondisi lo baik-baik aja.”

Terpopuler

Comments

Rahmawaty❣️

Rahmawaty❣️

Wah yg ngamilin si daniel ya .. Parah sii

2023-09-05

0

Rahmawaty❣️

Rahmawaty❣️

Ko menguap si thor ??

2023-09-05

0

unyuu_@

unyuu_@

wahhhh kayanya seruu nihh udh baca sejauh inii. gaya bahasanya enkk juga dibacanya bkinn nyaman ples dpett feellnyaa..
org indoo bangttt 😆😉😉

2021-11-26

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!