Episode Empat

"Aku harus gimana, Bu?"

Air mata Arista tidak dapat tertahan lagi, sudah jatuh membasahi kedua pipinya. "Kamu cukup makan."

"Dan temui Ayah serta Kakak-kakakmu, Nak," lanjut Arista.

Shanum melepaskan pelukan, dengan menunduk dalam ia menggeleng. "Aku nggak mau, Bu. Aku malu. Aku malu ketemu sama Papi, aku malu ketemu Kak Sam sama Kak Bima."

"Mereka keluargamu. Kamu nggak perlu malu, Shanum," tutur Arista.

Tangan Shanum tiba-tiba bergetar dan saat Arista menyentuhnya tangan Shanum telah basah.

"Shanum ..."

"Ta-pi mereka laki-laki, Bu. Aku nggak mau ketemu sama siapa pun orang kalau mereka laki-laki," jelas Shanum.

Arista mengeratkannya genggamannya. Citaprasada hanya memiliki begitu banyak keluarga laki-laki, Arsita rasa yang berada di rumah ini pun perempuannya hanya pelayan-pelayan. "Jadi kamu mau menemui siapa di rumah ini selain Ayah dan Kakakmu?"

"Bibi Lia, aja. Lainnya aku nggak mau," jawab Shanum.

Arista menggeleng. "Kamu bohong, Shanum. Buktinya kamu nggak mau ketemu sama Bibi Lia. Kemarin sampai sekarang pun kamu nggak nyentuh makanan buatan Bibi Lia."

Shanum mengangguk seolah mengakui semuanya. "Aku nunggu Bu Arista ke sini. Karena ... karena aku tahu orang yang nemuin aku pertama kali adalah Ibu."

Mulut Arista telah terbuka siap untuk berbicara. Namun tertahan saat mendengar suara ketukan pintu dari luar, pandangannya dan Shanum fokus ke pada pintu kayu putih.

"Itu pasti polisi," lirih Shanum.

Arista beranjak dari duduknya hendak ke ambang pintu.

"Bu Arista buka pintu. Aku tusuk garpu ini ke tangan," ancam Shanum.

Dan sekejap saja Arista bergeming, melihat Shanum sudah berdiri di samping meja dengan garpu yang ditempelkan pada pergelangan tangan kanan.

Kenapa orang-orang kaya harus makan dengan garpu? Benda itu termasuk tajam. Kenapa para pembantu di sini ceroboh?! batin Arista, dengan perlahan mendekati Shanum untuk mengambil garpu.

"Ibu nggak perlu maju. Cukup duduk di ranjang lagi, aku bakalan taruh garpu ini."

Arista mengikuti arahan Shanum dan memilih duduk di tepi ranjang lagi. Lalu setelahnya garpu Shanum letakkan kembali di samping piring dan kembali duduk di ranjang.

"Anggap aku gila, Bu. Aku emang udah nggak waras, Ibu tahu sendiri rasanya aku mau mati! Sekalipun semua benda tajam udah di ambil sama Bibi Lia. Aku tetep bisa ngelakuin apa aja---"

"Berhenti, Shanum. Ibu tahu kamu putus asa. Tapi Ibu mohon jangan seperti ini. Jangan Shanum," bujuk Arista.

Shanum tersenyum getir diiring air mata yang mulai mengalir lagi di ujung matanya. "Ini hidupku, Bu. Jadi terserah aku."

"Ibu berdiri dan keluar. Bilang ke Kak Sam kalau aku mau berhenti dari sekolah itu dan aku nggak mau di tanya-tanyai apapun sama polisi."

Setelah mengucap itu Shanum menatap Arista dengan netra memerah. "Aku janji nggak bakalan ngapa-ngapain, kalau Bu Arista bisa yakinin Kak Sambara."

Kenapa Shanum jadi seperti ini? batin Arista seolah tak percaya dengan keadaan Shanum. Berubah. Shanum berubah 180° seperti separuh siswi yang tidak lagi dikenalinya.

"Ibu akan memenuhi permintaan kamu. Asal kamu juga memenuhi permintaan Ibu, Shanum."

Shanum berdiri mengambil nampan berisi makanan dan air mineral. Kemudian ia duduk di tepi ranjang memakan semuanya lahap dengan air mata yang kian berderai kembali. Dua menit telah usai. Makanan tertelan, dan air mineral telah diteguk. Shanum mendongak menatap Arista yang berdiri di hadapannya.

"Ibu suruh aku makan, 'kan? Udah habis. Silakan Ibu keluar, dan penuhi permintaanku."

Tidak ada pilihan selain memenuhi permintaan Shanum. Arista keluar, lantas Shanum secepatnya mengunci kamar kembali. Setelah berbalik di sambutnya ia oleh beberapa orang; Sambara, Bima, dan Dion---selaku polisi yang menangani kasus Shanum ikut berdiri di sana.

"Dia makan?" tanya Sambara.

"Iya."

Dion mendekati Arista dan berucap, "Saya butuh berbicara dengannya. Apa kamu tidak bisa membujuk?"

"Dia menolak. Dan saya harap anda tidak memaksa." Setelah mengucapkan itu pandangan Arista beralih kepada Sambara, ia sedikit mendongak untuk menatap netra Sambara dan lanjut berujar, "Shanum mau berhenti sekolah dan ..."

"Dan apa? Jangan memutus pembicaraan di tengah jalan. Saya sangat tidak suka," ucap Sambara.

"Dia tidak mau interogasi. Dia tidak mau ditanya-tanyai tentang apapun."

Dion menyahut, "Lalu bagaimana saya menemukan pelakunya jika dia saja tidak---"

"Silent please, Dion! Jika itu permintaan Shanum, tidak bisakah kamu sebagai polisi memahami bahwa dia adalah korban yang membutuhkan waktu untuk pulih?" ucap Sambara dengan menatap tajam Dion. Dan seketika Dion terdiam, bahkan memutuskan untuk pamit. Sedangkan Bima entah apa yang dirasakannya tiba-tiba saja ia turun juga menyusul Dion.

"Ada kursi di sana. Saya ingin berbicara panjang dengan anda. Apa anda bersedia duduk dan berbincang?"

Arsita menatap kedua kursi besi yang di cat hitam berada pada balkon yang mengarah langsung ke pemandangan lapangan golf. "Boleh," jawab Arista.

"Silakan duduk."

Sambara duduk di sisi kiri dan Arista di sisi kanan. Keduanya menatap lurus lapangan golf yang penuh dengan rumput hijau begitu rapi.

"Saya rasa bahasa yang saya gunakan terlalu formal," ujar Sambara.

Arista mengangguk setuju. "Saya kamu lebih baik. Karena jika Pak Sambara mengunakan gue lo? Itu akan terasa sangat aneh. Karena kita bukanlah teman dan saya pun juga tidak terbiasa dengan panggilan itu."

"Baik. Saya kamu."

Arista menengok ke kiri. "Jadi, apa yang mau Pak Sambara bicarakan?"

"Sam. Cukup panggil saya Sam." Sambara berucap dengan membalas tatapan netra cokelat Arista. Kemudian ia sedikit memiringkan tubuh menghadap Arista dan berucap, "Apa saja yang Shanum bicarakan dengan kamu?"

"Dia tidak mau menemui siapa pun, kalau orang itu adalah laki-laki. Bahkan and---maksud saya kamu. Bahkan kamu, Pak Jaiz dan Bima pun tidak mau Shanum temui."

"Alasannya karena kami laki-laki?" tanya Sambara.

Arista mengangguk. "Iya."

"Shanum harus ke psikiater, untuk memulihkan mentalnya," lanjut Arista.

"Kalau dia mau. Saya sudah membawanya ke sana, Arista. Tapi kamu melihatnya sendiri, kan? Dia bahkan tidak mau bertemu dengan saya atau pun Papi. Sedangkan wanita di rumah ini hanyalah pelayan."

Sambara sedikit menunduk memijat dahinya pelan dan mendongak lagi menatap Arista. "Apakah kamu pikir saya bisa mempercayai mereka?"

"Tentu bisa, Sam. Saya adalah orang luar yang baru beberapa jam menginjak kediaman Citaprasada, sedangkan para pelayan yang bekerja untuk keluargamu sudah bertahun-tahun di sini. Jadi kenapa kamu tidak percaya kepada mereka? Sedangkan, kamu mempercayai saya yang jelas-jelas orang asing untuk memasuki kamar adikmu," jawab Arista.

Sambara menggeleng. "Kamu adalah guru Shanum dan Bima. Di mana letak asingmu bagi adik-adik saya? Mungkin bagi saya dan Papi kamu adalah asing, tapi bagi kedua adik saya kamu adalah guru---orang terdekat mereka."

Arista terdiam tidak berniat menjawab.

"Saya akan mengantar kamu pulang, Arista. Dan jika saya bisa meminta lagi, setidaknya seringlah berkunjung kemari. Tentu untuk ... membujuk adik saya."

Tatapan netra Sambara kian sendu. "Dan saya memohon maaf, karena telah mengganggu pekerjaanmu sebagai seorang guru."

...•••...

Di sekolah. Tepatnya di lapangan semua siswa-siswi tengah berkumpul berbaris rapi sesuai kelas. Sedangkan di tengah-tengah lapangan ada sebuah tiang bendera, dan di sampingnya lagi seorang pemimpin yayasan----Hermawan Upasama telah berdiri tegak mengedarkan pandangannya menatapi murid.

"Bapak harap kalian bisa mengerti, bahwa salah satu murid sekolah kita baru-baru ini tertimpa musibah. Dan sebagai pemimpin yayasan saya meminta kepada kalian untuk bersedia menjalankan interogasi, yang akan di mulai dari kelas dua belas A terlebih dahulu. Sedangkan interogasi yang lainnya akan dilaksanakan bertahap, dari kelas dua belas, sebelas, dan sepuluh. Terima kasih," jelas Hermawan dan pergi meninggalkan lapangan.

Seorang guru wanita---Miss Sisca dengan rok span hitam serta baju batik corak hitam putih mengambil alih dan berucap, "Selain kelas dua belas yang lainnya boleh bubar."

Semua telah bubar. Dan hanya tinggal kelas XII A, B, C yang tetap berada di lapangan. Silvi adalah orang tidak terlalu suka berdiri lama-lama di lapangan, dan jelas itu menjadi kesialannya karena memiliki nama berhuruf S yang akan membuatnya berdiri cukup lama.

"Kaki lo nggak bisa diem, Sil? Gerak-gerak mulu nggak jelas," ucap Aji yang merasa risih.

Silvi menengok ke kanan tempat di mana sang ketua kelas berdiri dengan topi dan seragam yang begitu rapi. Silvi mendengus kelas dan berujar, "Kalau lo merasa nggak nyaman, nggak usah dilihatin, Aji! Hadapan depan sana lo! Ketua kelas itu kudu tertib, jangan kebanyakan bacot."

"Language, Silvi. Kita lagi di lapangan banyak guru banyak polisi. Tolong mulut di kondisikan," tutur Natasha yang berbaris di samping kirinya.

"Sorry. Kebiasaan Sha!"

Mega yang berbaris di belakang Natasha tidak henti-hentinya terus menatapi Natasha seakan-akan khawatir gadis cantik dengan surai panjang keriting gantung ini pingsan.

"Mega lo lihatin Natasha mulu dah! Kenapa heh? Elo ... normal kan, Ga?" tanya Bagas.

Jika saja jaraknya dengan Bagas tidak terhalang oleh dua orang sudah pasti Mega akan menarik rambut Bagas atau pun memukul kepala dia. "Lo lupa Natasha itu lagi nggak sehat?! Atau lo emang lagi amenesia tiba-tiba?"

"Ya gue tahu. Tapi lo kayaknya lihatin Natasha gitu banget. Kan gue jadi merasakan hawa-hawa aneh."

Mega menggeleng tak percaya. "Gila lo emang!"

Natasha yang dari tadi berusaha diam tak ikut campur kini berbalik. "Kalian berdua bisa diam nggak, sih? Jangan ribut dong. Kepala gue makin pusing!"

Tiba-tiba saja Bagas mengangkat tangan kanannya dan itu langsung di lihat oleh Sisca.

"Ada apa, Bagas?"

Bagas sedikit mendekati Sisca. "Miss Sisca, Natasha kurang sehat. Apa nggak bisa interogasinya di UKS saja?"

Kening Sisca mengerut saat mendengar ucapan Bagas. Lantas pandangannya beralih pada Natasha yang memang terlihat pucat. "Sha, are you okay?"

"Kepala saya pusing, Miss," jawab Natasha.

Sisca membawa Natasha ke ruang kesehatan. Maka barisan Natasha di isi oleh Mega, dan Cassia yang dibelakang maju satu barisan disusul dengan yang lainnya.

Silvi menengok ke arah Mega dan berucap, "Abhimana and the geng kok nggak kelihatan ya, Ga?"

"Vincent, Aldo ada. Si kembar Adiwangsa Lingga sama Linggar juga ada. Abhimana sama Abhimata yang nggak ada," jelas Mega.

Kening Silvi mengerut. "Perasaan tadi gue lihat Abhimata, Ga. Kalau Abhimana, jangan ditanya lagi kebanyakan absen dia. Nggak niat sekolah kayaknya."

Mega tertawa kecil, sedikit menunduk ia lanjut berucap, "Sil menurut gue, Adiwangsa yang citranya baik nggak aneh-aneh emang cuma si kembar Lingga sama Linggar. Dan si kembar Adiwangsa anak Om Gautama citranya pada jelek. Apalagi sih anu."

Silvi mengangguk paham dengan menahan tawa. "Rajendra, ya? Wah gila itu mah nggak ada baik-baiknya, begituan aja di video mana ke sebar, tapi untungnya mereka banyak cuan jadi---"

"Silvi, Mega!" Seruan itu membuat Silvi dan Mega terdiam dan menengok ke belakang.

"Cassia?"

Dengan wajah datar dan tatapan tajam ia berkata, "Lo berdua bisa berhenti nggak? Kuping gue panas. Serius. Tolong kondisikan tempat kalau lo mau ngomongin orang!"

Silvi dan Mega hanya terdiam dan kembali menghadap ke depan. Tiba-tiba saja seorang polisi---Dion berucap dengan cukup keras. "Abhimana ada?"

Siswa-siswi kelas XII B menjawab, "Absen kayaknya, Pak."

"Abhimata?"

Seorang gadis dengan surai hitam yang di kepang samping menjawab, "Tadi masuk, Pak. Sekarang nggak tahu ke ma--- itu dia, Pak."

Abhimata terlihat baru datang dengan seragam yang sedikit tidak rapi. Rambut hitam depannya terlihat basah bahkan air sampai menetes di jakunnya.

"Saya Abhimata, Pak."

Dion menatapi sejenak Abhimata dan berucap, "Abhimata Adiwangsa?"

"Iya, Pak."

Dion mengangguk dan berujar, "Saya butuh mengintrogasi kamu dan kembaranmu Abhimana secara langsung. Tolong hubungi dia secepatnya."

Terpopuler

Comments

Ika Reno

Ika Reno

Si kembar keturunan india kah

2022-06-08

1

Atha Mie

Atha Mie

mampir kak

2021-11-11

0

Santai Dyah

Santai Dyah

di tunggu lanjutan up nya

2021-10-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!