Episode Tiga

...Episode Tiga : Terlahir Dari Keluarga Kaya?...

"Semakin lo marah, semakin memperjelas semuanya. Jadi ... tebakan gue bener?" ucap Cassia.

Evita hendak mendorong Cassia lagi. Namun tiba-tiba  saja sebuah tangan besar mencengkram pergelangan tangannya. "Abhimata?"

"Lo mau apain Cassia?" ucap Abhimata dengan tatapan tajamnya.

"Bukan urusan lo! Lepasin tangan gue!" sentak Evita.

Abhimata melepas cengkeramannya pada pergelangan tangan Evita. Tatapannya beralih pada Cassia yang terlihat kesal, dan seperdetik kemudian Cassia pergi. Maka tidak ada pilihan bagi Abhimata selain menyusul kekasih hatinya dan meninggalkan Evita sendirian.

"Cassia, tunggu!" seru Abhimata.

Tepat dibelokan lorong Abhimata berhasil menarik lengan Cassia. "Abhi, lepas!"

"Lo masih berpikir gue terlibat, Cas?"

Cassia mendongak menatap lelaki remaja satu tahun lebih tua darinya dengan kecewa. Jari telunjuk kanannya terangkat menunjuk dada bidang Abhimata. "Gimana gue bisa berpikir lo nggak terlibat, Abhi? Jelas-jelas lo sama kembaran lo itu brengseknya nggak jauh beda. Kalian sama!"

Abhimata menyentuh pergelangan tangan Cassia. Lorong ini sepi, bahkan ia siap untuk memeluk Cassia tanpa takut Hermawan Upasama melihatnya dan keluar dari kantor yayasan.

"Jangan peluk gue!"

Usai sudah niatnya. Abhimata menunduk sejenak dan berucap lembut menatap Cassia. "Tolong berhenti samain gue sama Abhimana, Cas. Gue bukan dia. Dan dia nggak akan pernah jadi gue."

"Gue tahu Abhi, keluarga gue sama Citaprasada dalam dunia bisnis nggak pernah akur sama Adiwangsa. Tapi tolong ... untuk hal-hal semacam ini. Apa lo nggak bisa berhenti berbuat buruk? Entah Abhimana, entah Kakak lo Rajendra bagi gue kalian sama!"

"Kalian sama jahatnya!" lanjut Cassia.

Abhimata menggeleng cepat, di raihnya tangan Cassia dan di genggamannya dengan erat. "Darah Adiwangsa emang ngalir di tubuh gue, Cas. Tapi apa lo pikir, pemikiran-pemikiran buruk bisa diwariskan? Nggak Cas, enggak. Dari kecil sampai sekarang, gue cukup bisa membedakan mana yang baik dan buruk."

"Pembohong."

Setelah mengucap itu Cassia berbalik, ia perlu ke toilet. Namun lagi-lagi lengannya di tahan oleh Abhimata. "Abhi, lepas!"

"Untuk pertama kalinya gue ngerasa nyesel. Terlahir dari keluarga kaya yang penuh harta, nggak sepenuhnya membahagiakan. Karena akhirnya pun lo tetep ngejahuin gue, Cas," ucap Abhimata lirih.

Dada Cassia terasa sesak, dengan cepat ia menyetak lengannya hingga terlepas genggaman tangan Abhimata di lengan. Sesegera mungkin ia pergi, berlari ke arah toilet. Sungguh Cassia begitu beruntung karena lorong-lorong yang ia lalui sepi, dan ia bisa sampai di toilet secepatnya.

"Anak-anak mohon segera berkumpul bagi yang telah menyelesaikan makan. Supaya tidak memperpanjang tugas polisi."

Suara speaker yang terdengar lirih di dalam toilet, Cassia abaikan. Ia menghidupkan keran wastafel dan menunduk membasuh mukanya dengan air beberapa kali. "Abhi, apa lo pikir semudah itu gue lupain lo?"

"Sebagian kecil hati gue berpikir lo nggak mungkin terlibat. Tapi sebagian besarnya, gue nggak bisa percaya sama lo. Gue nggak bisa percaya Abhimana, atau pun sekadar aja percaya sama keluarga lo. Gue nggak bisa, Abhi."

Cassia menghela napas panjang. Air matanya mengalir di sisi kiri dan kanan makin deras. "Keluarga Adiwangsa nggak pernah baik dalam pandangan orang-orang. Termasuk dalam pandangan gue."

Gawai Cassia bergetar di saku. Mungkin ada yang memanggil. Secepatnya ia melihat siapa gerangan yang menghubungi dirinya?

"Evita?" gumam Cassia dengan menekan tombol hijau dan meletakkan ponsel di telinga kanannya.

"Lo nggak ke lapangan?"

Cassia terdiam mendengar suara Evita dari seberang. "Habis ini."

"Gue peringatin, Ca. Upasama nggak akan pernah bersatu sama Adiwangsa. Jadi baiknya lo jauhin Abhimata, dia sama bajingannya sama Abhimana."

Tangan kiri Cassia menghapus sisa-sisa air matanya dan mematikan keran air. "Tanpa lo kasih tahu pun. Gue udah paham, Evita."

"Gue serius. Sekalipun lo ngeselin. Lo tetep keluarga gue, lo bagian dari Upasama. Jadi berhenti nuduh gue seakan-akan gue terlibat sama kasusnya Shanum."

"Nyatanya elo---"

"Kenapa lo nggak curiga sama Abhimata? Keluarga dia kan suka bikin masalah. Lo lupa dulu lo sempat mau di tid---"

"Stop, Evita!"

Setelah menyeru dengan sangat keras, Cassia memutuskan panggilan secara sepihak. Napasnya yang semula tenang menjadi tersengal-sengal karena lagi-lagi Evita mengingatkannya tentang kejadian buruk yang ingin dilupakannya.

"Penyesalan terbesar dalam hidup gue adalah kenal sama lo, Abhi!"

Cassia meletakkan gawai di samping wastafel. Kemudian merogoh saku dalam almamater sekolahnya, dan mengambil lipstick merah serta memakainya tipis-tipis. "Lumayan. Seenggaknya, gue nggak sepucat tadi."

"Gue harus cepat-cepat ke lapangan, sebelum Papa nelpon dan marah-marah nggak jelas," monolog Cassia.

...•••...

Di sisi lain anak-anak berkumpul di lapangan. Arista telah sampai di kediaman Citaprasada dengan Sambara dan juga Bimasena. Saat turun dari mobil Alphard hitam Sambara dan Bimasena disambut oleh salah satu pelayannya.

"Tuan muda Sambara," ucap salah satu pelayan dengan surai yang beruban digelung rapi---Bibi Lia.

"Ada apa, Bibi Lia?"

Bimasena sudah melenggang masuk. Sedangkan Arista mematung di tempat seolah-olah menunggu Sambara selesai bicara. Padahal sebenarnya ia hanya menunggu dipersilakan masuk.

"Tuan Jaiz telah sampai di rumah satu jam yang lalu. Dan beliau tidak istirahat, terus berdiri menunggu di depan pintu kamar Nona Shanum," jelas Lia.

Mendengar itu Sambara langsung masuk tanpa memperdulikan Arista yang tengah menunggu persetujuannya untuk di izinkan masuk.

"Silakan masuk, Ibu guru," ucap Lia.

Beliau tahu aku adalah guru? batin Arista. Dan segera melangkahkan kaki memasuki rumah dengan nuansa putih abu-abu pekat yang nampak sangat minimalis dan elegan.

"Anda tidak perlu duduk. Jika bersedia apa anda bisa langsung ikut saya ke kamar Shanum?" ucap Sambara saat hendak menaiki tangga dan meloloskan niat Arista untuk duduk.

"Tentu."

Tiga tangga terakhir, Arista mendengar suara lirih kedua laki-laki berbicara. Apakah itu Bima? Dan ... Papanya? Jaiz Citaprasada? Saat telah berhasil melewati anak tangga terakhir, Arista mengikuti di mana arah Sambara berjalan dan dalam jarak lima meter terlihat Bima sedang membujuk Jaiz, agar berhenti mengetuk pintu kamar Shanum.

"Papi cukup. Sambara akan membujuk Shanum," ucap Sambara dengan menuntun Jaiz untuk berdiri.

Sedangkan Bima memegang sisi kiri punggung Jaiz perlahan. "Beliau guru Bima, Pi. Bu Arista. Beliau yang akan membujuk Shanum untuk makan dan mau membuka pintu. Insya Allah bisa, Pi. Jadi Bima mohon Papi istirahat," lirih Bima.

Pria paruh baya itu menggeleng cepat, bahkan air mata telah luruh di ekor mata kiri dan kanannya. "Ini salah Papi, Nak. Papi nggak bisa jaga Shanum. Bahkan Papi nggak mau dengerin Shanum bicara tentang apapun. Papi selalu sibuk, Papi---"

"Cukup, Pi. Shanum akan segera pulih, percaya sama Sambara." Netra Sambara beralih tatap kepada Bima dan berucap, "Kamu bawa Papi ke kamar."

Bima memapah Jaiz dengan perlahan dan di bantu oleh pelayan laki-laki. Sesaat setelah Bima dan Jaiz tidak terlihat, Sambara menatap Arista dengan sendu.

"Anda tahu semenyedihkan apa kehidupan keluarga kami," lirih Sambara.

Arista menunduk menghindari tatapan netra Sambara. "Semua manusia memiliki kesedihannya masing-masing. Bahkan hal-hal semacam itu, tidak bisa manusia duga kapan datang dan perginya."

"Anda benar, Bu Arista. Maka jika saya bisa meminta, kurangilah sedikit saja kesedihan keluarga kami, dengan membuat Shanum makan dan berbicara," ucap Sambara dengan memberikan makanan yang terletak di samping meja dekat kamar Shanum. Kemudian Sambara lanjut berucap, "Saya pergi. Saya tidak mau mengganggu bagaimana cara sesama wanita membagi kesedihan. Anda cukup berusaha semampu anda, jika pada akhirnya Shanum tidak membuka pintu pun tidak apa-apa."

Arista hanya bisa mengangguk. Karena sampai kapan pun ia tidak akan pernah bisa memahami kesedihan tiga laki-laki yang merasa gagal menjaga satu putri di dalam keluarganya. Sungguh pasti sakit. Bahkan seakan-akan tiada lagi kesedihan yang lebih menyesakan saat melihat keadaan Shanum saat ini.

Arista mencoba mengetuk pintu perlahan. "Shanum, ini Ibu. Bu Arista."

"Kamu mau membuka pintu untuk Ibu?"

Arista meletakkan nampan berisi makanan di meja kembali. Kemudian mengetuk pintu lagi. "Ibu hanya mau kamu membuka pintu. Ibu nggak bakalan tanya apa-apa ke kamu. Ibu nggak bakalan bicara kalau kamu nggak ngizinin Ibu. Ibu akan---"

Ucapan Arista tertahan, saat pintu kamar Shanum terbuka sedikit, terlihat celah gambaran kamar Shanum berwarna biru dan putih. "Assalamualaikum, Ibu masuk, Shanum."

Setelah mengambil nampan berisi makanan, Arista melangkahkan kaki memasuki kamar Shanum dan disambut hawa sejuk dari AC, serta wangi lavender ruangan ini. Arista meletakkan nampan di atas meja abu-abu kamar Shanum, kemudian berbalik menutup pintu. Dan kembali menatap kepada Shanum yang duduk di tepi ranjang membelakanginya. Surai hitam pekat yang biasanya di ikat setengah kini tergerai lurus indah tanpa apa-apa.

Arista mendekat, hendak mengambil duduk di bawah ranjang. Namun lengannya ditahan oleh Shanum.

"Jangan duduk di bawah, Bu," lirih Shanum.

Arista mengerti. Maka ia mengambil duduk di samping Shanum dan setelah itu di raihnya tangan Shanum. "Kamu makan. Ibu suapi, ya?"

Shanum menatap lurus keluar jendela, tidak berniat sedikit pun membalas tatapan Arista. Bahkan di ekor matanya terlihat sisa-sisa air mata yang telah mengering, dan memar masih belum hilang di kedua pergelangan tangan Shanum.

"Gimana bisa aku nelan makanan, Bu? Saat aku sendiri pun nggak bisa memastikan jejak laki-laki itu sudah hilang atau belum."

Arista tidak bisa menjawab. Bibir Arista kaku untuk berucap, karena apa-apa yang ia katakan tidak akan pernah berbuah baik untuk Shanum.

"Ini salah aku, ya Bu?"

Shanum menghela napas dan lanjut berucap, "Sebagai seorang perempuan, aku nggak bisa jaga diri. Apa pakaian yang aku gunain terlalu mengundang, Bu? A-apa aku ini kelihatan kayak perempuan murahan? Cuma karena a-aku nggak punya Ibu?"

Nggak punya Ibu? Apa Ibunya pergi? batin Arista dengan menatap Shanum lekat-lekat. Sedikit pun ia tidak ingin berbicara, karena sungguh Shanum butuh untuk di dengarkan saja.

"Bahkan terlahir dari keluarga yang penuh harta pun nggak menjamin hidup manusia baik-baik aja. Buktinya uang nggak bisa buat aku bahagia, Bu. Bahkan dengan nama belakang keluarga ku pun, nggak bisa buat orang-orang berhenti berbuat keburukan kepada keluarga kami."

Shanum melepaskan genggaman tangan Arista. Ia menutup wajah dengan kedua tangannya dan terisak-isak "Rasanya aku mau mati aja, Bu."

"Astaghfirullah. Istighfar, Shanum. Apa yang kamu ucap, Nak? Semua ini memang nggak bisa kembali. Tapi semua ini bisa diperbaiki---"

"Apa yang bisa di perbaiki lagi, Bu?" sanggah Shanum.

"Semua ini nggak akan pernah bisa diperbaiki. Nama baikku dan segalanya yang ada dalam diriku nggak bisa kembali, Bu. Semua udah hancur!"

Arista meraih tangan yang menutupi wajah Shanum. Kemudian menarik Shanum dalam pelukannya. "Berhenti, Shanum. Jangan bicara apa-apa lagi."

"Aku mohon sama Ibu. Tolong berhenti tanya siapa laki-laki itu. Ka-karena aku se-ndiri pun nggak tahu siapa dia. Aku ... aku nggak mau inget-inget itu lagi, Bu. Aku takut, a-aku nggak mau nemuin Papi, Kak Sam sama Kak Bima karena aku takut, Bu. Aku malu, aku---"

Di tepuk-tepuknya punggung Shanum dengan lembut. "Berhenti, Shanum. Jangan bicara. Ibu mohon berhenti."

"Aku harus gimana, Bu?"

Note:

Kasta tertinggi dimenangkan oleh keluarga Adiwangsa. Tetapi keluarga ini punya begitu banyak catatan hitam. Jika dibutuhkan marga-marga dari keluarga lain akan dicantumkan, namun ketiga marga; Citaprasada, Upasama dan Adiwangsa yang akan sering bermunculan.

Saya harap kalian sudah memahami jalan ceritanya.

Terpopuler

Comments

Baihaqi Sabani

Baihaqi Sabani

msh rd binggung...tpi menarik bngt n penuh misteri kira2 yg berbuat siapa yaaa adiwangsa kah???? kasihan shanum thor

2023-10-13

0

Ika Reno

Ika Reno

Nama kya pewayangan apakah Author pencita wayang?

2022-06-08

3

gossep

gossep

lanjutt

2022-05-12

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!