Episode Dua

...Episode Dua : Siapa Dalangnya? Dan Siapa Yang Terlibat?...

"Jadi anda yang menemukan adik saya pertama kali?"

Arista mengangguk. "Iya."

"Bagaimana keadaannya saat anda menemukan adik saya?"

Bimasena yang semula diam dan menunduk, kini menengok menatap Sambara. "Kak Sam, kan aku udah bilang keadaan Shanum saat itu. Jadi Kakak nggak perlu---"

"Perlu, Bima. Kakak perlu tahu secara langsung dari guru ini. Jadi, kalau kamu nggak bisa diam, tunggu di luar," ucap Sambara sekenanya.

Spontan Bima berdiri. Ia terlihat sangat kesal dan sedikit menunduk berpamitan kepada Hermawan serta Arista, kepada Sambara tidak.

"Apa saya perlu mengulangi pertanyaan?"

Arista menggeleng. "Tidak perlu."

"Jadi, saya harus menjawab dengan detail segala pertanyaan anda? Dari waktu saya menemukan Shanum dan bagaimana saya memanggil guru-guru untuk membawanya ke rumah sakit?" lanjut Arista.

Tatapan mata Sambara terlihat mengintimidasi. "Itu yang saya butuhkan."

Arista menyentuh lehernya yang terbalut kerudung hitam sejenak. Kemudian netranya mengedar menatap Hermawan dan beralih pada Sambara. Ia sedikit gelisah saat mengingat-ingat kejadian itu lagi.

"Saya ke ruang seni lagi. Untuk mengambil beberapa barang yang tertinggal dan saat saya ingin pergi, tiba-tiba dari kursi pojok terlihat sebuah tangan. Lalu setelah saya mencoba memastikan, ternyata itu adalah Elshanum," jelas Arista.

"Dia pingsan. Dan keadaannya tidak baik, tiga kancing bajunya terbuka, ada beberapa memar di wajah dan pergelangan tangannya dan---"

"Cukup," sanggah Sambara.

Sambara terdiam, ia merasa sesak mengingat-ingat keadaan adik perempuannya. Bagaimana bisa ada seseorang yang tega melakukan hal biadab kepada keluarganya? Bahkan Shanum tidak mau menjawab segala pertanyaan yang di ajukan padanya, adiknya itu selalu diam dan ingin sendiri.

"Itu yang saya ketahui, Pak."

Sambara tersadar. Kemudian Ia berdiri setelah mendengar penjelasan itu. "Terima kasih atas penjelasan anda."

Hermawan mendekat. "Pihak sekolah akan mencari tahu siapa dalang dari semua ini Sambara."

"Itu yang saya mau, Pak Hermawan. Saya permisi."

Saat Sambara hendak sampai di ambang pintu, tiba-tiba ia berbalik menatap Arista dengan sendu. "Ibu Arista, saya mengundang anda ke rumah untuk menemui Shanum. Karena dari yang Bima katakan, anda dekat dengan adik saya. Mohon kesediaannya untuk datang."

Arista tidak memiliki jawaban selain mengangguk.

"Terima kasih. Sabtu Bima akan menjemput anda atas izin saya," ucap Sambara.

"Tidak perlu sabtu, Sambara. Ibu Arista mendapat izin dari pihak yayasan untuk menyelesaikan dan ikut andil dalam kasus ini. Kalau dengan datangnya Bu Arista bisa membantu Shanum berbicara, kenapa tidak sesegera mungkin?"

Sambara setuju. Lebih cepat, maka lebih baik. "Sekarang? Anda bisa?"

"Se-karang?"

Sambara tersenyum hampa "Jika anda tidak bisa---"

"Saya bisa."

...•••...

Bagi siswa-siswi XII A cara mengajar Djoko tidak semenyenangkan Arista. Bapak guru ini agak galak, sedikit tersenyum, sedangkan Arista sepanjang mengajar selalu melukis senyum dalam raut wajahnya.

Bahkan rasa-rasanya suasana kelas saat ini sangat canggung. Aji ketua kelas yang selalu semangat mengikuti mapel seni tiba-tiba saja merasa bosan, menunggu jam istirahat mengapa lama sekali?

"Pak Jo!" seru Bagas dengan mengangkat tangan kanannya.

"Ada apa, Bagas?"

Bagas berdiri di tempat. "Izin ke toilet, Pak."

"Haruskah ke toilet jam pelajaran seperti ini? Dan sepagi ini juga Bagas?"

Bagas tersenyum miring. Gurunya ini---Djoko selalu saja melarang muridnya ke toilet. Apa untuk membuang air kecil dan besar bisa di diatur dan dikondisikan? Padahal hal-hal semacam ini datang tiba-tiba. "Harus, Pak. Karena saya perlu," jawab Bagas.

"Tujuh menit. Kamu harus sampai di kelas secepatnya," ucap Djoko.

Bagas mengangguk. "Iya, Pak. Permisi."

Setelah Bagas keluar. Natasha mengangkat tangan.

"Ada apa, Natasha? Kamu mau ke toilet juga?"

Natasha menggeleng. "Enggak, Pak. Saya izin ke UKS karena merasa kurang sehat."

"Kalau kurang sehat. Kenapa harus masuk? Kamu ini merepotkan."

Alis kiri Natasha terangkat. Dirinya yang sakit kenapa harus Djoko yang kerepotan? Padahal jelas-jelas ia hanya meminta izin. "Saya meminta izin ke UKS bukan meminta Bapak mengantar saya ke rumah sakit. Jadi letak saya merepotkan Bapak itu di mana?"

"Kamu---"

Ucapan Djoko tertahan saat jam istirahat berbunyi lebih cepat dari biasanya. Seperdetik kemudian speaker masing-masing kelas aktif terdengar salah seorang guru perempuan berucap, "Mohon untuk siswa-siswi dari kelas sepuluh sampai dua belas segera berkumpul di lapangan. Ingat. Tanpa terkecuali. Semua akan di absen sesuai kelas."

"Tunda ke UKS. Segera berkumpul di lapangan," ucap Djoko dan pergi meninggalkan kelas.

"Akhirnya pergi juga guru datar itu. Mana kalau ngajar suka ngelarang-ngelarang! Gue berpikir Pak Djoko itu kayaknya nggak pernah senyum, pembawaannya dia serem banget, gaes. Aura-aura nggak bersahabat sama orang, tapi beda kalau sama Bu Arista bawaannya senyum-senyum aneh gitu," ujar Silvi.

Cassia memukul pelan tangan Silvi. "Udah! Gitu-gitu guru lo, Sil. Tanpa mereka kita nggak bisa jadi apa-apa."

"Gue ralat, Cassia. Tanpa orang tua gue, gue nggak bakalan jadi apa-apa. Toh, sekolah gue bayarkan?" Silvi tersenyum remeh, dan melirik Cassia sekilas. "Lo mana tahu, kan keluarga lo yang punya yayasan sekolah ini."

"Tetep aja bayar anjir! Lo pikir duit nggak di pakai muter ini itu?" sahut Aji.

Lagi-lagi Silvi tertawa. "Upasama terlalu kaya untuk muterin duit buat ini itu. Kalau mau apa-apa tinggal gesek, nggak perlu nunggu cuan dari sekolah perbulan. Iya kan, Ca?"

Cassia sudah terbiasa mendengar Silvi berucap dan seperti biasa pula ia hanya mengangguk. Kemudian pandangan Silvi beralih ke belakang pojok tempat Evita duduk. "Lo setuju juga kan, Evita?"

"Hm."

Mega berdiri dari kursinya menghampiri Natasha yang duduk dengan kepala yang ditidurkan di atas meja. "Lo baik-baik aja, Sha?" tanya Mega.

"I'm fine. Cuma sedikit pusing aja," jawab Natasha dengan menyentuh kepala kiri dan kanannya.

"Itu tandanya lo nggak baik-baik aja, bego. Sok-sok an bilang fine fine. Udah ayo ke UKS!" sahut Bagas yang tiba-tiba datang duduk berjongkok di samping Natasha.

"Apasih lo Bagas! Orang gue lagi sakit di bego-begoin! Lembut dikit nggak bisa lo? Gue aduin ke Kak Mahen tahu ra---"

Bagas berdiri tersenyum jahil dan mengacak-acak rambut Natasha. "Mahendra? Kakak lo itu temen gue, dan gue pastian dia lebih percaya sama temennya di bandingkan elo, adik yang manjanya kebangetan. Mana sok-sok an kuat lagi!"

"Bagas!" seru Evita tiba-tiba.

Bagas menengok ke bangku belakang tempat Evita duduk dan mengerut. "Apa?"

"Bucin lo kelihatan banget. Sok-sok an nistain Natasha nyatanya lo suka, kan?"

Raut wajah Bagas berubah kesal saat tahu ada orang yang bisa membaca bahasa tubuhnya. "Apasih lo, Vit!"

"Gengsi lo emang gede banget," sahut Cassia.

Aji tiba-tiba mendekat. Dan melihat keadaan Natasha. "Gaes, ayo ke lapangan cepat! Biar Natasha bisa cepat-cepat istirahat, kasian kan, Gas? Gebetan lo?"

"Apaan sih lo pada nggak jelas!" elak Bagas.

Cassia berbalik menatap Evita. "Lo nggak berdiri? Sebelum ke lapangan lo ke yayasan dulu, di panggil sama Pap---maksud gue Pak Hermawan."

Setelah mengatakan itu Cassia pergi terlebih dahulu. Dan setengah jalan di depan toilet Evita menarik lengannya pelan. "Gue nggak buat masalah, Ca. Lo ngadu apa lagi ke Bokap lo itu?"

"Om, Evita. Panggil Om. Jangan sebut Papa gue pakai kata Bokap lo Bokap lo, nggak sopan," ralat Cassia.

Cassia melipat tangannya di dada dan berucap, "Lagian Vit, gue nggak ngadu apa-apa. Lo suka banget berprasangka buruk ke gue. Lo lupa kita saudara? Lo lupa kita sama-sama keturunan Upasama? Nggak baik lo nethink terus ke gue, jatuhnya entar dosa," jelas Cassia.

Evita tertawa remeh, tangan kirinya mengibas surai cokelat pekatnya ke belakang. "Kebanyakan omong lo! Mentang-mentang Bokap lo yang memimpin di yayasan sekolah ini, lo pikir bisa seenaknya?"

"Seenaknya gimana, Evita? Lo lupa peraturan bagi setiap keturunan Upasama?" tanya Cassia.

Netra Evita terlihat memerah menahan amarah serta air mata. Ia selalu merasa kalah dihadapan Cassia.

"Kuasa orang tua nggak berarti apa-apa bagi keturunan Upasama. Salah tetap salah dan yang benar tetap benar," lanjut Cassia.

Evita mendorong Cassia, dan memilih sesegera mungkin pergi sebelum amarahnya semakin meledak-ledak dan ia akan mencakar serta menarik rambut sepupunya itu.

"Tunggu," ucap Cassia saat berhasil menangkap lengan Evita. Cassia sedikit menunduk, tangannya menyelipkan rambut di belakang telinga Evita. Kemudian Cassia mendekatkan bibirnya kepada daun telinga Evita dan berbisik lirih, "Dari yang gue denger. Lo suka nyari ribut sama Shanum. Tebakan gue, lo terlibat 'kan?"

Netra Evita melebar. "Lo!"

"Semakin lo marah, semakin memperjelas semuanya. Jadi ... tebakan gue bener?" ucap Cassia.

Note:

Marga keluarga yang akan di cantumkan sampai episode selanjutnya:

Upasama

Citaprasada

Keduanya sejajar dalam kekayaan.

Terpopuler

Comments

Mommy Gyo

Mommy Gyo

2 like hadir thor,,

maaf Cinta dan air mata tahap penghapusan thor gak usah like 🙏🙏🙏

2021-10-02

0

Xianlun Ghifa

Xianlun Ghifa

lanjut

2021-10-02

2

ANAA K

ANAA K

Kok evita bikin gedeg ya😌

2021-10-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!