"Mama ... kenapa beli kado ulangtahun Papa harus ke Swiss? Di Indonesia aja kan bisa?" tanya anak laki-laki kelas 6 SD itu. Anak laki-laki itu menyusuri kota yang kini dipijaki nya.
Bu Tama mengacak rambut Ragel gemas. Tangan mungil itu ... tidak mau melepaskan tangannya dari tangan lembut sang Mama, barang sedikitpun.
"Kemarin, waktu Papa sama Mama ke Swiss. Papa terus-terusan liat sepatu hitam yang bagus nya kelewat banget. Bahkan Papa sampai berhenti, terus ninggalin Mama berbicara sendiri seperti orang gila," ujar Bu Tama diakhiri kekehan yang merdu.
Ragel kecil ikut terkekeh. "Terus sekarang kita mau kemana?" tanya Ragel penasaran.
"Kita ke bank dulu. Mama mau ngambil uang cash. Soalnya Mama lupa bawa black card," ucap Bu Tama.
Ragel kecil hanya mengangguk menuruti saja apa yang dibilang Mama.
...
DOR!
Suara pistol itu ... mengenai salah seorang antrian di Bank tersebut. Dan yang menembak nya adalah ... Ragel kecil.
***
Ragel terbangun dari tidurnya. Keringat bercucuran di sekitar wajahnya. Dada Ragel naik turun. Mimpi buruk itu lagi.
Ragel harap, itu benar-benar mimpi buruk. Tapi nyatanya, itu adalah kenyataan yang benar-benar terjadi padanya. 5 tahun silam.
***
"Pagi!" sapa sang Papa ramah.
Ragel berdecak pelan saat melihat Papa nya yang memakai celemek berwarna pink tersebut. Celemek milik almarhum Mama nya. Celemek kesayangan sang Mama.
"Kalau pegawai, guru, dan murid Papa ngeliat Papa memakai celemek pink. Mereka pasti ragu, kalau Papa adalah orang yang tegas, berwibawa, dan selalu dihormati," ucap Ragel lebih tepatnya mengejek.
Pak Tama terkekeh kecil. Pria paruh baya itu meletakkan roti telur diatas piring, lalu menata nya diatas meja.
"Sarapan dulu," ucap Pak Tama duduk di kursi tunggal meja makan, tanpa melepas celemek nya.
Ragel duduk di tempat biasa dia duduk. Di sisi meja makan sebelah kanan.
"Tumben nggak gosong Pa," ucap Ragel mengambil roti telur tersebut. Mengigit roti telur nya. "Nggak asin juga," lanjut Ragel mengunyah roti telur tersebut.
"Yeu, Papa berusaha untuk bisa jago masak," ucap Pak Tama menggigit roti telur nya lagi.
"Udah 5 tahun Pah. Masih juga keasinan sama kegosongan. Mending Ragel aja yang buat," cibir Ragel. Cowok itu santai sekali saat mengatakannya. Tanpa ada beban aja gitu:)
"Kamu sama aja sama Papa. Sama-sama nggak pinter masak," ucap Pak Tama. Mereka berdua kompak tertawa.
Mengingat mereka memang tidak pinter masak. Yang keasinan lah, yang kegosongan lah. Hambar lah.
Pak Tama memang tak pernah lagi mempekerjakan ART. Apalagi dirumah yang seluas ini. Rumah keluarga Tama memang begitu luas.
Sangat-sangat luas.
Tapi Pak Tama tak lagi memperkerjakan ART semenjak 'hari itu'. Pak Tama memilih untuk membagi tugas saja bersama dengan putra tunggalnya ini.
Seperti saat ini, hari ini adalah tugas Pak Tama untuk beres-beres rumah. Seperti menyapu dan mengepel. Dan besok adalah tugas Ragel. Cowok itu juga hanya manut saja.
"Guru yang kemarin nyaris kamu tikam. Sudah mengakui kesalahan dan siap untuk diperkarakan ke kantor polisi," ucap Pak Tama mengambil tisu lalu mengelap nya di sekitar mulut nya.
"Hm," Ragel mengangguk kecil. "Ragel tau. Dia patut mendapatkan balasan yang setimpal dengan ulah bajingan nya itu," ujar Ragel. Membuat Pak Tama tertawa lagi.
"Kamu ya Gel. Kalau kamu tau siapa orangnya, tinggal kasih tau Papa. Jadi kamu nggak usah repot-repot buat nge-ringkus orang itu," ujar Pak Tama.
"Kesal aja Pa," ucap Ragel mengepalkan tangannya kuat. "Dia itu patut mendapatkan apa yang di perbuat. Ragel muak ngeliat muka munafik nya itu!"
"Iya iya. Papa tau." Pak Tama mengacak kepala anaknya pelan. " Tapi cara kamu nge-ringkus nya itu salah. Untung Papa yang menemukan kamu terlebih dahulu. Gimana kalau orang lain? Kamu sudah dianggap menikam orang," ujar Pak Tama.
Rahel hanya menatap Papa nya dalam diam.
***
"Eh-eh, denger-denger guru yang suka bergaya modis dan sok ganteng itu di tangkap karena sudah melecehkan siswi sini."
"Serius lo? Siswi yang waktu itu yang sengaja membiarkan diri nya ditabrak mobil di depan sekolah?"
"Iya iya, yang itu. Sayang banget,dia malah ngakhirin hidupnya dengan bunuh diri."
"Tapi nih yah, gue nggak nyangka kalau guru itu berbuat hal se-keji itu. Padahal gue mengidolakan dia karena guru nya enjoy banget."
"Yeu elo, orang kayak dia mah. Nggak usah dikagumi. Gue aja udah berhenti mengagumi guru itu."
"Kalian tau nggak, siapa yang meringkus guru tersebut?"
"Siapa emang?"
"Ragel! Keren banget sih dia."
"Wih, Ragel mah emang debest!"
Sepenjang lorong yang di lalui Olivia. Semua orang terus membahas topik yang lagi booming di permukaan. Topik yang baru saja terjadi tadi malam.
Dan ujung-ujungnya mereka akan memuji Ragel. Karena cowok itu yang menangkap guru yang sudah melecehkan siswi nya.
Tapi yang Olivia dengar. Cara Ragel menangkap guru tersebut salah. Walaupun mereka tau Ragel nyaris menikam guru tersebut. Mereka tetap memuji dan mengagumi Ragel.
Olivia mempercepat langkahnya. Pagi-pagi begini, apa perlu mereka membahas topik yang terdengar mengerikan di telinga Olivia?
Gadis itu hanya tau nama Ragel dari orang-orang yang terus membicarakan cowok itu. Bagaimana sikap Ragel dan bagaimana rupa cowok itu. Olivia bahkan tidak tau.
"Oliv!" Syera, satu-satunya orang yang mau berteman dengan Olivia dan mau duduk sebangku dengan nya itu. Melambaikan tangan kearahnya, berdiri tepat di depan pintu kelas.
Olivia semakin mempercepat langkahnya. Gadis itu membalas lambaian tangan Syera, lalu mengulas senyum.
Senyum manis yang membuat orang-orang pangling pada nya. Gadis cantik itu benar-benar begitu terkenal. Selain karena cantik dan cerdas. Gadis itu juga terkenal karena selalu membanggakan sekolah atas segudang prestasi yang dia raih.
Tapi sayang, kekurangan Olivia memang tak bisa di sembunyikan lagi. Semua orang juga tau. Gadis itu sempurna secara fisik dan otak.
Tapi Olivia, tidak sempurna ... secara materi.
"Met pagi!" sapa Syera mengangkat tangannya sebatas kepala.
Olivia hanya membalas dengan seulas senyum saja.
"Lo gedek nggak sih, denger gosip pagi-pagi?" tanya Syera memulai obrolan. Mereka memasuki kelas XII IPA 1. Olivia mengangguk dua kali sebagai respon. "Gue gedek banget tau nggak lo? Nggak ada gosip lain apa, selain gosip tentang Ragel dan hal gila nya itu? Iya sih, dia menangkap guru mesum itu. Tapi nggak gitu juga nangkap nya," celoteh Syera hingga mereka duduk di bangku masing-masing.
Olivia tertawa kecil mendengar celoteh Syera itu. "Biarin ajalah. Lagian juga hak mereka mau gosipin siapa," ucap Olivia meletakkan tas nya di sandaran kursi. "Tapi itu bukan gosip Sye, itu berita namanya. Kalau gosip itu belum tentu benar adanya. Tapi kalau berita, sudah pasti benar adanya," lanjut Olivia tertawa kecil lagi.
"Iya deh iya." Syera memanyunkan bibirnya ke depan. "Eh iya, selamat ya Liv! Lo dapat juara satu lagi dalam olimpiade kimia. Gue turut bahagia!" ucap Syera mengulurkan tangannya kepada Olivia.
Olivia menjabat tangan Syera. "Makasih Sye."
"Syera!"
Syera menoleh, mengulas senyum pada temannya itu. "Kenapa Han?" tanya Syera pada Hani.
"Temenin gue ke kantin dong," pinta Hani.
"Yaudah hayuk!"
Syera bangkit dari duduknya. Melambaikan tangan pada Olivia. "Entar lagi lanjut ngobrol nya!"
Olivia mengangguk, menatap kepergian Syera bersama dengan Hani yang mulai menjauh. Gadis itu menghela napas pendek.
Syera memang satu-satunya orang yang mau berteman dan duduk bersama dengannya. Tapi sayangnya, setiap mereka mengobrol, ada saja orang yang memutuskan obrolan mereka yang lagi seru-serunya.
"Heh, Oliv!" panggil Laura. Cewek dengan bedak tebal dan warna bibir yang terlalu kontras itu duduk diatas meja Olivia.
"Lo ... menang olimpiade lagi?" tanya teman Laura -- Sinta namanya.
Olivia mengangguk singkat. Gadis itu memilih untuk mendengarkan saja.
"Seriusan? Lho, tapi kenapa nggak diumumkan?" tanya Resa.
"Gimana mau diumumkan, orang nggak penting juga. Eh, tapi biasanya diumumkan sih. Mungkin nanti-nanti kali," ucap Sinta. Resa mengangguk menyetujui ucapan Sinta.
"Berapa emang uang tunai juara satu?" tanya Resa kepo.
"10 juga kalau nggak salah gue," Laura menjawab pertanyaan dari temannya itu.
"Widih, kalau uang sebanyak itu pasti besar banget buat lo kan Liv? Lo bisa beli ini-itu. Terus juga lo bisa beli tas sama sepatu yang lebih bagus dari tas sama sepatu lo yang usang," ujar Resa lebih tepatnya mengejek. Cewek itu sengaja menginjak sepatu Olivia yang ada dibawah meja.
Olivia mendesis pelan. Menarik kaki nya dari pijakan Resa.
"Ups, maaf. Nggak sengaja Liv!" ucap Resa menutup mulutnya pura-pura merasa bersalah.
Olivia hanya menatap Resa lamat. Gadis itu tidak ingin cari masalah.
"Eh, tapi nggak juga. Terus nanti akhir tahun kan sekolah kita ngadain camping tuh. Pasti Oliv butuh duit banyak dong? Iya kan?" tanya Sinta pada Olivia.
Lagi dan lagi, Olivia hanya diam tak menjawab cemoohan tiga orang ini.
"Iya juga yah. Yaudah deh, gimana kalau kita bertiga kasih lo tambahan duit buat nabung untuk camping akhir tahun kelas 12. Kan sayang, lo nya nggak ikut," ujar Laura membuat mereka tertawa. Padahal tak ada bagian yang lucu dari pembicaraan mereka.
"Iya deh iya. Kasihan juga kan, si cantik kelas kita nggak ikut. Nanti orang-orang pada tau lagi kalau Oliv miskin -- UPS! CANDA MISKIN!" Sinta tertawa diikuti kedua teman-temannya. Cewek bibir tebal itu sengaja menaikkan suaranya di tiga kata terakhir.
Membuat satu kelas menoleh. Dan memberikan bisikan-bisikan aneh, ada yang ikut tertawa, ada juga yang memasang wajah kasihan pada Oliv karena di bully oleh Laura and the geng.
"Jadi gimana? 100 ribu satu soal fisika. Kalau 10 soal fisika, berarti 1 juta. Kan lumayan untuk di tabung?"
Betapa Olivia benci mendapat beasiswa di sekolah orang kaya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
✧༺i'm jealous༻✧
aku nyicil ya kak bacanya... ;)
2022-03-05
2
melisa_anna5
Jangan mau liv, cabe gk usah dibantu
2021-12-14
2
ೀ ː 𝐧𝐚𝐲𝐲 ♡🌷 ໋֢ 𖥻
ribut yok lau emosi saya, gapapa liv yok bisa yok
2021-12-11
2