..."Aku tidak ingin dilahirkan, jika akhirnya aku tidak diinginkan. Kalian membuang dan meninggalkanku, hingga membuatku mati dalam kesengsaraan."...
...________________...
Istanbul, 08.00am
Seorang wanita bergegas melangkahkan kakinya sebelum lampu penyebrangan jalan berganti. Terlihat pagi ini cukup ramai dengan pejalan kaki yang turut menyebrang bersama dengannya di jalur zebra cross.
Wanita itu menilik sekilas jam tangan yang menggantung di pergelangan tangan sebelum akhirnya, ia benar-benar berlari menyusuri jalan menuju kedai coffee tempat dimana ia bekerja.
"Sial!" umpat wanita itu saat jarum jam menunjukkan waktu keterlambatannya.
Ia tidak ingin lagi menerima teguran dari sang pemilik kedai sebab selalu mendapati dirinya telat masuk kerja.
Wanita itu bernama Aleta Quenby Elvina yang sekarang di kenal dengan nama Bora, sosok wanita pemberani dan mandiri. Ia bekerja di sebuah kedai coffee kecil di pusat kota dan ini bukan kali pertama Aleta terlambat dalam bekerja, ia sudah acap kali melakukan keteledorannya itu.
Tempat tinggal yang terbilang cukup jauh dan hanya menaiki kendaraan umum yang harus berdesak-desakkan dengan penumpang yang lain, membuat dirinya sulit untuk tiba tepat waktu.
Aleta membuka pelan pintu belakang kedai. Ia memantau untuk menghindari sang pemilik. Begitu dirasa aman, ia mengendap masuk kedalam. Langkahnya sangat hati-hati agar tidak menimbulkan efek suara sepatu, sebab pemilik kedai tersebut memiliki pendengaran yang cukup tajam.
"Ehemm"
Suara berdehem pria terdengar jelas di telinga Aleta, sehingga membuatnya bergeming. Menoleh kebelakang dan melihat sang pemilik kedai tengah berkacak pinggang sembari memasang raut wajah beringas.
Kali ini tamat riwayat Aleta, ia tidak bisa menghindar dari kemarahan bosnya itu. Ia juga sudah pasrah, bila mendapatkan hukuman darinya, lagi!
"Harus saya katakan berapa kali padamu! Saya sudah lelah memberikan hukuman untukmu. Kau bahkan tidak pernah takut dengan semua hukuman yang diberikan," tegurnya tegas.
"Saya sudah tidak tahan lagi, sebaiknya kau tidak lagi bekerja disini!" imbuhnya jenuh.
Aleta yang sejak tadi tertunduk mendengar kemarahannya, kini mengangkat wajahnya. Ucapan bosnya itu berhasil membuatnya terbelalak hebat, ia juga tak menyangka akan dipecat dari pekerjaannya, setelah berbulan-bulan lamanya bekerja disana.
"Pak, tolong jangan pecat saya! Saya janji tidak akan terlambat lagi!" Aleta memohon, meminta bosnya untuk mengurungkan niatnya.
"Saya sudah mendengar kalimat itu ratusan kali dari mulutmu," sanggahnya acuh.
"Pak, saya mohon Pak! Kali ini saja, beri saya kesempatan lagi," pinta Aleta memelas sembari mencoba menarik tangan bosnya, sebelum akhirnya ditepis kasar oleh sang empunya.
...•••...
Aleta mengedarkan pandangannya, menatap nyalang hamparan taman luas yang justru tampak sepi dan kosong, persis dengan suasana hati dan pikirannya saat ini.
Ia menghentakkan kakinya yang diikuti dengan suara gerutunya. Saking kesalnya, Aleta mengumpati sang pemilik kedai yang dinilainya tidak selektif.
"Dipikirnya aku senang bekerja di kedai itu. Cih! asal tahu saja, aku juga tak ingin bekerja di tempatnya. Aku juga tidak suka bekerja dengan bos yang tidak adil pada pekerjanya."
Aleta terduduk di rerumputan, setelah lelah menggerutu yang tak akan pernah ada habisnya. Ia menagkup wajah di atas lengannya yang sejak tadi bertengger di kedua lututnya.
Diam, itu yang dilakukannya saat ini. Namun pikirannya terus berputar, mengenai kehidupan yang akan dilaluinya setelah ini. Berpikir bagaimana ia bisa bertahan hidup di dunia ini, sementara pekerjaannya baru saja hilang dan tabungannya juga telah menipis karena membayar sewa tempat tinggalnya, bulan lalu.
Hanya berharap, jika suatu hari nanti akan ada keajaiban yang datang menghampirinya. Sebab ia tidak pernah mendapatkan semua itu, alasannya karena tidak pernah sedikit pun merasakannya.
Sejak kecil Aleta hanya tinggal di panti asuhan bersama anak-anak lainnya. Tidak sekalipun merasakan dekapan hangat kedua orangtuanya, bahkan sang pemilik panti asuhan dan penjaga panti tak pernah mengurusnya dengan baik. Ia benar-benar melakukan semuanya sendiri.
Sampai akhirnya Aleta bosan dan memilih kabur dari rumah panti, yang dianggapnya sebagai rumah neraka. Tidak tahu harus kemana ia melangkahkan kakinya, hanya membiarkan dirinya tinggal dipinggir jalan.
Kisah hidup semasa kecilnya yang cukup kelam, sudah tak ingin lagi diingatnya. Sangat sakit rasanya, jika harus mengulang kenangan yang sama sekali tak pernah diharapkannya.
Aleta juga tidak meminta dilahirkan jika hidupnya berakhir seperti ini, menyedihkan dan hancur.
...•••...
Aleta mempercepat langkahnya ketika hendak melewati gang kecil di kawasan padat penduduk. Lampu jalan yang minim penerangan membuat daerah tersebut rawan dari kejahatan.
Terlebih Aleta, seorang wanita yang berjalan sendirian di malam yang telah larut. Ia sendiri pun merasa was-was, jika mendapati sekelompok penjahat yang mencoba membahayakan dirinya.
Seperti saat ini, Aleta merasakan saat seseorang sedang menguntitnya sejak tadi, namun ia tak begitu menghawatirkannya, sebab selalu membawa senjata yang diyakininya ampuh.Bubuk cabe, itu menjadi senjata yang selalu berada di dalam saku jaketnya.
Merasa terganggu dengan penguntit itu, Aleta pun menghentikan langkah dan segera berbalik. Mengedarkan pandangan untuk mencari sang penguntit yang ternyata berhasil bersembunyi sebelum diketahui olehnya.
"Jangan bersembunyi! Keluar kalau kau berani. Cara itu sudah kuno, tidak ada gunanya bersembunyi!!"
Pekiknya yang terdengar jelas dari si penguntit. Bukannya keluar dari persembunyian, sang penguntit justru kabur dan segera pergi dari sana sebelum Aleta benar-benar akan menghabisi dirinya.
"Dasar pengecut!"
Cibirnya sebelum melangkahkan kembali kakinya, ia ingin segera sampai di rumah dan merebahkan tubuhnya di kasur. Seharian Aleta hanya berada di taman kota tanpa teman bicara, cukup sekaleng minuman dingin dan sebungkus kebab sapi yang menjadi teman bicaranya sore tadi.
Rasanya waktu berjalan begitu lambat, pikirnya. Jika saja ia bekerja hari ini, mungkin waktu tidak akan begitu lama berjalan.
Aleta merebahkan tubuhnya di kasur kecil miliknya, sederhana namun cukup membuatnya nyaman. Malam ini, ia tidak ingin lagi memikirkan hal apapun yang membuat kepalanya pening. Ia ingin mengistirahatkan otaknya dari perasaan sendu yang selalu mengganggu.
Aleta mematikan lampu kamar dan segera memejamkan mata, berharap masalahnya hari ini hanya sekedar batu kerikil yang sedang dilaluinya.
...♡♡♡...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
el_$@
😂😂😂
2022-06-09
0
Aris Pujiono
semangat aletta
2022-05-24
0
nera
next
2022-05-20
0