Setelah berhasil keluar dari ruangan, Hanna langsung berjalan cepat menuju pintu klinik. Suasana masih sepi, sehingga tak ada satu pun yang melihatnya pergi. Diliriknya jam pukul 03.00 dini hari. Bayinya menggeliat kedinginan dalam pelukannya.
Udara pagi terasa sejuk, menusuk hingga ke tulang. Membuat seluruh tubuhnya gemetar menahan angin yang berembus lembut. Tetapi, sakit di hati membuatnya tak menghiraukan itu semua. Kebahagiaan yang ia harapkan hanya tinggal impian. Tak ada pilihan lain, selain pergi sejauh mungkin dari kehidupan Ansell. Ia terus menyusuri jalanan sepi di depannya.
Dia tak sanggup, jika harus hidup di atas penderitaan wanita lain. Masih terbayang jelas, bagaimana papanya meninggalkan dia, adik serta ibunya demi wanita lain. Dan sang ibu seolah tak sanggup hidup, setelah ditinggalkan laki-laki yang sangat dicintainya.
Itulah salah satu alasan kenapa dia pergi meninggalkan Ansell. Meskipun segala kemewahan ia dapatkan, serta keluarga dari suaminya itu bersikap baik, terutama Kak Athifa. Dia sudah menganggapnya sebagai kakak sendiri yang selalu perhatian padanya. Tetapi, tetap saja, akan ada hati wanita lain yang terluka atas semua ini. Terlebih, mereka menikah sudah 5 tahun lamanya dan belum memiliki anak.
Setelah berjalan cukup jauh, wanita itu berhenti di pinggir jalan. Berharap ada ojek atau angkutan umum yang lewat. Keringat mengalir deras membasahi tubuh lemahnya. Sesekali ia meringis menahan sakit jahitan lukanya. Tak lama kemudian sebuah motor berhenti di depannya.
"Ojek, Mba." Laki-laki paruh baya mengenakan jaket hitam, menawarkan diri padanya.
"Oh iya, Pak. Tolong antarkan saya ke terminal, bisa?"
"Siap, bisa, Mba!”jawabnya, seraya menjalankan motornya.
Motor melaju dengan sangat pelan. Sepertinya si bapak tau, dia sedang menggendong bayi merah yang baru lahir.
"Mau ke mana, Mba? Subuh gini udah keluar rumah?” tanyanya, membuka percakapan setelah lama terdiam.
"Saya mau pulang ke rumah orang tua, Pak,” jawabnya. Terdengar nada kegetiran dari suaranya.
"Kenapa nggak nunggu agak siangan aja. Kasian bayinya pasti kedinginan itu cuma dipakein kain aja," ucapnya khawatir.
"Nggak papa, Pak!" jawab Hanna singkat.
Mereka kembali terdiam, Hanna melihat jalanan yang sudah mulai ramai orang berlalu lalang. Dengan tatapan kosong, ia merasakan bayinya menggeliat mencari kehangatan pada gendongannya.
Seandainya anak ini tidak ada, mungkin ia tak akan mengalami nasib seperti ini. Bisiknya dalam hati. Hanna berencana menunda kehamilannya. Dengan selalu menggunakan alat kontrasepsi, sebelum berhubungan badan dengan suaminya. di samping umurnya yang baru 19 tahun, dia juga ingin bekerja mengejar karirnya.
Namun, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Hingga suatu malam, Ansell pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Dia menggedor pintu rumah dengan keras. Hanna yang sedang tertidur, terlonjak kaget dan bergegas berlari membuka pintu. Tiba-tiba pria itu roboh tepat dipelukannya. Bau alkohol menyengat keluar dari mulutnya.
"Mas, kamu kenapa? Bangun Mas!" Hanna menepuk pundak suaminya.
Ansell membuka setengah matanya, berjalan sempoyongan merangkul pundak Hanna. Sesampainya di kamar dia membuka sepatu, kaos kaki dan melepaskan dasi suaminya itu. Ketika hendak membuka baju, tiba-tiba pria itu menariknya ke dalam pelukan dan mencium bibirnya dengan penuh gairah.
Sontak Hanna berontak melepaskan serangan mendadak. Tetapi, ia kalah kuat, laki-laki yang sedang mabuk itu seperti seekor harimau yang mencengkram mangsanya penuh nafsu. Akhirnya Hanna pasrah, kerinduan setelah seminggu ditinggalkan suaminya keluar kota mengalahkan segalanya. Sampai ia lupa belum memakai pengaman. Mereka larut dalam suasana malam yang syahdu di tengah rintik hujan.
Sebulan dari kejadian itu dia mual-mual dan saat periksa ke dokter, Hanna pun dinyatakan hamil. Antara bahagia dan sedih berbaur jadi satu. Ansell yang bahagia bukan kepalang, menggendongnya berputar di ruang tamu. Saat tespack bergaris dua itu ditunjukkannya.
Hanna hanya menangis bahagia. Dalam hati, ia harus mengubur dalam cita citanya untuk berkarir. Padahal, impiannya dari dulu adalah menjadi wanita karir.
"Udah sampe terminal, Mba!" Suara bapak tukang ojek, membuyarkan lamunannya.
"Oh, iya, Pak." Hanna turun dari motor dan membayar ongkos kepada bapak itu.
"Kalo ada kain lagi, ditutupin Mba bayinya. Kasian kena angin, umur segini masih rentan,” ucapnya menatap khawatir kepada bayi yang hanya ditutupin kain tipis.
"Iya, Pak. Terima kasih banyak, ya."
Bapak ojek itu mengangguk, sambil menjalankan kembali motornya, bercampur dengan kendaraan lainnya.
Hanna berhenti di depan loket bis. Matanya memandang sekeliling, semua masih tertutup rapat. Lalu, ia menghampiri seorang penjaga warung.
"Bu, loket buka jam berapa yah?" tanyanya.
"Sebentar lagi juga buka Mba, tunggu aja." jawabnya menatap bayi dalam gendongan Hanna. Kemudian wanita itu masuk ke dalam warungnya dan keluar membawa sehelai kain. "Mba, ini ditutupin kain lagi bayinya. Kasian kedinginan. Agak didekap, bibirnya membiru itu, Mba." ucapnya khawatir.
"Iya, makasih, Mba." jawab Hanna singkat. Entah kenapa, dia merasa tak peduli dengan anak itu.
Tak lama muncul bapak penjaga loket, semua calon penumpang mengikuti bapak itu mendekati loket. Tak terkecuali Hanna, yang ikut berdesakan mengantre karcis. Setelah mendapatkan selembar kertas, dia masuk ke dalam bis dan memilih tempat duduk di belakang supir. Tepat jam 7 pagi bis berangkat, melaju dengan pelan.
Hanna menatap langit, hatinya berbisik, "Selamat tinggal Ansell, aku memilih pergi, pergi membawa luka hati ini sejauh mungkin." Air matanya menetes, ia tak kuasa menahan sakit luar biasa ini sendiri. Entah, harus mulai dari mana untuk menjalani hidupnya kembali. Dia memilih pergi, daripada harus menjadi istri kedua.
Tepat Jam 5 sore bis sampai di terminal tujuan. Wanita itu segera turun. Kakinya melangkah keluar, ada rasa ragu, takut dan sedih menyelimuti hatinya. Tak bisa membayangkan, bagaimana wajah sang mama melihatnya menggendong bayi. Tapi, ini adalah satu satunya tujuan, tidak ada lagi tempat selain mamanya.
Wanita muda itu sempat termenung lama di agen bis. Tak kuasa menghadapi kenyataan pahit ini.
"Tok ... tok ... tok ....! Hanna mengetuk ragu sebuah pintu rumah sederhana. Dengan halaman luas dan pohon jambu menjulang tinggi membuat teduh rumah itu. Serta ayunan tali yang masih menggelayut rapuh di dahannya.
"Iya, sebentar!" Suara seorang wanita menyahut dari dalam.
Jantungnya berdegup kencang, hati rasanya tak karuan. Ingin ia berlari saat ini, tapi, kakinya terbujur kaku di depan pintu.
Saat pintu terbuka perlahan, "Hanna ....!" teriak sang mama, terlihat gelas di tangannya.
"Mamaaa ...." ucapnya lirih, bulir-bulir air mata mulai turun membasahi pipinya. Mata sang mama tertuju kepada bayi dalam gendongannya. "Ba ... bayi siapa ini, Nak?" tanyanya heran.
"Ini ... ini anakku Ma ...."
"Jleegeeeerrr....! Bak disambar petir mendengarnya. Seketika gelas di tangannya jatuh. Mulutnya ternganga tak percaya.
"Bagaimana mungkin kamu memiliki bayi, sedangkan kamu belum menikah, Hanna!" teriak sang mama dengan mata berkaca-kaca, pikirannya kacau menerka apa yang telah terjadi pada anak gadisnya ini.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments