Pembalasan Dendam Hanna
Klinik Bersalin Mutiara Bunda
Tangisan bayi memecah kesunyian malam, tepat jam 00.30 bayi perempuan lahir dengan persalinan normal. Seorang ibu muda berusia 19 tahun, tergolek lemah tak berdaya, seraya memeluk bayi yang baru saja dilahirkannya. Tak terlihat siapapun menungguinya, hanya ia seorang diri dan bayi mungil di sampingnya.
"Selamat ya, Bu. Bayinya cantik mirip Ibunya," ucap seorang bidan tersenyum, seraya mengelus pipi sang bayi.
"Iya, Bu. Terima kasih banyak ya," Jawabnya dengan lemah. Genangan air terlihat di kedua matanya.
"Suaminya di mana? Mau saya bantu hubungi?" Tanyanya.
"Tidak usah, Bu. Mungkin masih sibuk bekerja," Jawabnya. Senyuman getir tersungging dari bibirnya.
"Tadi sore kalo nggak salah liat, diantar seorang wanita? Di mana dia sekarang?"
"Iya, beliau kaka ipar saya. Sedang pulang dulu kerumah, Bu."
"Oh gitu, ya sudah. Sekarang Ibunya istirahat dulu. Kalo ada apa-apa panggil saya, atau suster jaga lainnya. Mereka ada di depan sana," Ucapnya. Seraya menunjuk ruangan depan.
"Iya Bu, sekali lagi terima kasih banyak."
Wanita setengah baya itu tersenyum hangat, dan berlalu meninggalkannya.
Dalam diam ibu muda itu menangis, seraya mengecup kening sang bayi yang tertidur pulas. Ia baru saja mempertaruhkan nyawanya sendirian, untuk melahirkan seorang bayi tanpa siapa pun di sampingnya.
Setelah sang kaka ipar pergi karena ada urusan, sehingga terpaksa meninggalkannya sendiri di klinik bersalin ini. Dan suaminya belum juga datang, padahal tadi sore sudah diberi tahu bahwa ia akan segera melahirkan.
Dalam kesunyian malam, terbayang raut wajah sang mama. Dadanya terasa sesak, sakit dan pilu.
Membayangkan jika sang mama tahu, bahwa dirinya telah melahirkan seorang bayi. Air mata perlahan meluncur dari pipi mulusnya. Terasa panas mengaliri seluruh urat nadinya. Tubuhnya terguncang menahan sesaknya nafas yang tertahan.
"Ma, Maafkan Hanna. Hari ini telah kurasakan perjuangan seorang Ibu," bisiknya dalam hati.
Teringat jelas bagaimana dengan keras penolakan sang mama, saat ia akan menikah dengan lelaki pilihannya. Dia berfikir, alasannya sangat tidak logis. "Bagaimana mama tahu karakter pria itu, hanya dari gestur tubuhnya?" Tanyanya. Saat baru pertama bertemu dengan calon menantunya di tempat kost gadis itu.
Dengan tubuh yang sangat lelah dan buliran bening terus mengalir tak tertahan, ia pejamkan mata. Mencoba melupakan sejenak. Lalu, tak lama kemudian, wanita itu tertidur menahan sesak dan sakitnya hati.
****
Sinar mentari perlahan mulai muncul dari peraduannya, menyusup dari balik tirai menerpa wajah seorang wanita, yang baru saja memperjuangkan kehidupan untuk seorang bayi. Dia terkesiap saat mendengar tangisan. Segera diraihnya bayi perempuan mungil disamping dan menyusuinya.
Seorang suster datang menghampiri.
"Mba Hanna, mari saya bantu mandikan Adek bayinya." Sembari tersenyum ramah, mengulurkan tangannya.
"Iya Sus, sebentar saya kasih ASI dulu yah." Jawabnya.
Kini badan lelahnya sudah berangsur membaik, meskipun masih terasa sakit untuk berjalan.
Sementara di luar, sebuah mobil kijang berhenti tepat di depan klinik. Seorang pria berhidung mancung, serta memakai kacamata keluar dari mobilnya. Dengan setengah berlari masuk menuju ruang pendaftaran.
"Suster, ada Ibu yg melahirkan atas nama Hanna di sini?" Tanyanya, dengan nafas tersengal.
"Sebentar saya cek dulu ya, Pak." Jawabnya. Seraya melihat buku di depannya.
"Ada Pak, maaf dengan Bapak siapa ya?" Tanyanya kemudian.
"Saya Ansell, suaminya!"
"Oke Pak, silahkan, itu ruangannya." Suster menunjuk sebuah ruangan di depannya.
Ansell langsung masuk dengan tergesa-gesa, tanpa mengucap salam.
"Hanna ..." Panggilnya dengan lembut. Tenggorokannya tercekat, sekilas terlihat genangan air di matanya.
Wanita yang dimaksud mendongakkan wajah melihat ke arah suara. Seketika air mata langsung menetes tak tertahan. Rasa sesak di dadanya seolah bersambut, lelaki yang sangat dicintainya, baru menampakan diri dan telah membiarkannya berjuang sendirian melawan maut.
Suster yang hendak memandikan bayi langsung berbalik arah, merasa salah tingkah melihat adegan di depannya ini.
"Ansell ..." gumamnya pelan.
"Maafkan aku sayang, semalam ..."
"Iya aku tau, kamu pasti sibuk dengan pekerjaanmu kan? Sehingga tak ada waktu untuk mengantarku, tak ada waktu untuk menemani melahirkan anakmu, darah dagingmu!" Potongnya dengan pedas, air mata deras membasahi pipinya.
"Maafkan aku Han, kemarin mendadak ada urusan penting, jadi aku segera menghubungi Kak Athifa untuk mengantarmu!" Jawabnya, seraya meraih tangan istrinya dan menggenggamnya erat.
Kepalanya tertunduk di tepi ranjang menangis tanpa suara. Lalu, bayi mungil yang sedang menyusu itu merengek, karena merasakan guncangan dari tubuh ibunya yg sedang menangis.
Pria bermata coklat itu lantas berdiri. Menatap takjub pada makhluk mungil di depannya.
"Hanna, ini anak kita?" Tanyanya, dengan mata berbinar. Tangannya mencoba meraih bayi dalam gendongan ibunya, dan mengangkatnya dengan kaku.
Air mata bahagia meluncur bebas tak terbendung, dia mencium pipi dan kening sang bayi. Akhirnya, penantian sekian lama berujung indah hari ini.
"Terimakasih Hanna, telah menjadikanku seorang Ayah. Akan aku beri nama, Aeleasha Arian Rendra," ucapnya, seraya terus menciumi bayi mungil yang nampak tak nyaman digendongannya.
Hanna hanya melirik dan mengusap air mata di pipinya. Pria bernama lengkap Ansell Arian Rendra itu, masih terlihat tampan dan muda meskipun sudah menginjak kepala 3. Sudah 1 tahun ini mereka bersama. Kehadiran anak itu membuatnya sangat bahagia, sehingga terus menggendongnya dan berdendang nyanyian tidur dengan masih sedikit kaku. Membuat istrinya tersenyum geli.
Sejenak suasana hening.
Setelah bayinya terlelap dalam gendongan, dia meletakkan kembali di samping ibunya. Terdengar deringan ponsel dari kantong bajunya, dia pun berjalan keluar untuk mengangkatnya.
Tak lama kemudian masuk kembali dengan raut wajah bimbang.
"Hanna, ini ada uang kamu pegang aja dulu. Biaya persalinan akan aku bayar nanti. Dan aku sudah menghubungi Kak Athifa, untuk membawakanmu pakaian ganti dan pakaian anak kita." Hanna hanya menanggapinya datar, tanpa respon. Perasaannya mulai tidak enak.
Ansell meletakan uang itu di sampingnya.
"Maaf Hanna, aku harus pergi. Baru saja Pak Willy telfon, ada urusan penting yang harus dikerjakan. Tapi, aku janji secepatnya akan kembali menemanimu." Seraya memegang jemari istrinya, dia memohon.
"Apa? Kamu mau pergi? Ini hari Minggu, Ansell! Tak bisakah kamu menemaniku di sini. Aku cape, lemas, setelah berjuang mati-matian melahirkan anakmu. Tapi kamu tak ada di sampingku, memberikan semangat atau sekedar ada untuk melihat perjuangan hidup dan matiku! Dan sekarang, kamu datang ke sini lalu pergi lagi?" Teriaknya, menatap tajam mata suaminya, sesak di dadanya kembali memuncak. Ia memilih menumpahkannya.
"Aku akan kembali Hanna, hanya ada urusan sebentar tolonglah mengerti aku!"
"Mengerti kamu? Kurangkah pengertianku selama ini untukmu? Bagaimana sembilan bulan ini aku mengandung anakmu dan kamu, seringkali meninggalkanku sendiri!" Wanita itu tak sanggup membendung air matanya, dan kembali tumpah membasahi pipinya. Baru saja seutas senyum menghiasi bibirnya. Kini, berubah menjadi kemarahan yang meledak.
"Aku bekerja, dan semua ini demi kamu dan masa depan anak kita!" Jawabnya memegang kedua pundak istrinya.
Hanna menepis tangan suaminya. Belum sembuh penat di tubuhnya, kali ini hatinya juga terasa lelah dengan suaminya, pikirannya mendadak kalut.
"Kamu selalu saja seperti ini Ansell, datang dan pergi dengan tiba-tiba. Apa aku ini tak ada pentingnya di hidupmu? Bahkan, setelah aku berjuang sendirian melahirkan anakmu pun, kau tetap saja seperti ini!" ucapnya. Suaranya melemah menahan sakit, melebihi rasa melahirkan yang baru saja ia alami.
Di ruangan depan, para suster memperhatikan pertengkaran mereka, seorang suster masuk ke ruangan.
"Maaf Pak, keadaan Bu Hanna masih lemah. Tolong jangan biarkan dia tertekan atau depresi, kasian bayinya nanti." Ucapnya mengingatkan.
"Iya sus, maaf." Ansell menjawab dengan lirih.
Suster kembali ke ruangannya. Sejenak suasana kembali hening. Hanya ada isakan tangis dari Hanna yang terdengar.
Ansell mendekat mencium kening istrinya dan mengusap pelan rambutnya.
"Aku mencintaimu, Hanna." Ucapnya lembut.
Dia berjalan keluar dan memasuki ruang administrasi untuk membayar biaya persalinan.
Hanna tertunduk lesu, seringkali ia ditinggalkan mendadak seperti ini. Ia memandangi bayi mungil yg tengah menggeliat di sampingnya, air mata kembali menetes, dadanya kembali sesak. Andai saja kamu tak hadir di hidupku. Mungkin, aku sudah pergi dari Ayahmu, setelah tau sifat aslinya yang tak pernah ada waktu sedikit pun untukku. Bisiknya dalam hati
Hatinya hancur, remuk berkeping-keping. Dia tak menyangka laki laki yg menikahinya setahun lalu begitu tega memperlakukannya seperti ini.
***
Seorang perempuan cantik, bertubuh gempal dengan riasan tebal, memasuki klinik tempat Hanna melahirkan. Terlihat sebuah gunting yang disembunyikan di tangan, dipegangnya erat.
"Sus, ruangan bersalin di mana yah?" Sapa perempuan itu, dengan muka ramah yang dipaksakan.
"Maaf, mau cari siapa ya, Bu?" Tanya suster penuh selidik.
"Saya keluarga dari Pak Ansell," jawabnya.
"Oh, mau jenguk Bu Hanna ya? Itu Bu ruangannya." Jawab suster, seraya menunjuk ruangan di depannya.
"Oke, makasih sus!"
Dengan wajah penuh amarah, ia memasuki ruangan di mana Hanna tengah terbaring lemas tak berdaya.
Bersambung..
Hai readers, selamat datang di kehaluan othor 🤭 jangan lupa like, komentar, vote atau hadiah buat akuuh yaa biar semangat ngehalunya hihi.
Jalan-jalan ke surabaya, ketemu burung beo.
Salam kenal dari saya, sarangeeooo❤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments