"Ansell ...." gumamnya lirih. Segera ia menghampiri lelaki yang sudah bertahun-tahun hidup bersamamya.
Plaaakkk ...! Tamparan Zea sukses mendarat di pipi kiri suaminya itu.
"Tega kamu Ansell! Gini cara kamu membalas kekuranganku? Dengan menikah diam-diam dan punya anak dari wanita murahan itu!" teriaknya histeris.
Ansell hanya diam, menatap sekeliling dengan bingung. Dia belum siap jika harus menghadapi situasi seperti ini. Meskipun, sering membayangkan suatu saat pasti terjadi. Dan hari ini, tepat 1 hari setelah Hanna melahirkan bayi perempuan yang sangat dinantikan, semuanya terjadi.
"Ma ... maafkan aku Zea," ucapnya seraya memegang kedua pundak wanita itu.
"Maaf? Setelah semua ini kamu hanya bisa bilang maaf?!" Dia menepis tangan kekar Ansell.
Hanna tak kalah geram, saat melihat pria yang telah begitu tega membohonginya diam di tempat, tanpa sepatah kata pun padanya. Begitu pula dengan Athifa, dia segera menghampiri adiknya.
"Ansell, bawa Zea pulang! Jelaskan semua padanya, biarkan Hanna Kakak yang temani!" katanya dengan tegas.
Ansell melihat ke arah Hanna yang sedang menatapnya tajam, seakan menunggu penjelasan darinya. Pandangannya sendu, seakan menyampaikan permintaan maaf. Ada genangan air yang memancar dari pelupuk matanya.
Tiba-tiba Zea berjalan mendekati Hanna lagi. Semua waspada, mencoba memisahkan mereka, termasuk Ansell.
"Zea ... jangan sakiti Hanna!" pintanya.
"Kamu tinggalkan Ansell dan berikan bayi perempuan ini padaku! Maka kamu bebas, aku tidak akan memperpanjang masalah ini!" ujarnya tegas menunjuk wajah Hanna.
Athifa segera menjauhkan Zea, dia takut perempuan itu akan berbuat nekat. Mengingat sifatnya yang memang pemberani dan arogan.
Dengan cepat Ansell menarik tangan Zea dan membawanya pergi.
"Mari kita bicara, Ze." Mereka berlalu meninggalkan klinik dengan mobil yang dikendarai Ansell.
Hanna hanya memandang dengan tatapan kosong. Dia berpikir suaminya akan membelanya atau bahkan, memilih menemaninya dibanding perempuan itu. Tapi, kenyataannya Zea yang dia pilih.
Mereka pergi menyisakan luka yang tengah menganga dan seribu tanya di benak Hanna.
Bidan senior menepuk lembut pundaknya dan mengingatkan ada seorang bayi cantik, yang suatu saat nanti membuatmu lupa akan problem ini. Hanna hanya mengangguk dan tersenyum getir.
Wanita lemah itu menangis tanpa suara, hatinya terluka, hancur berkeping-keping. Sudah tak ada gunanya lagi dia hidup. Dalam hatinya berharap ini mimpi. Tapi, cengkraman dan tamparan Zea tadi masih membekas sakit. "Ini bukan mimpi," gumamnya, "ini nyata." Tangisnya pun pecah menggema ruangan itu. Semua terdiam, seolah hanyut dalam kesedihan.
Kenyataan pahit bahwa dia dinikahi laki-laki beristri. Dan selama setahun ini, Ansell telah berbagi kasih dengan wanita lain, selain dirinya. Dia kembali teringat wajah sang mama, yang tidak pernah merestui hubungan mereka. Sampai akhirnya, dia menikah siri secara diam-diam.
"Ini hukuman darimu, Mama," bisiknya pelan.
Athifa mencoba menenangkan, dengan mengusap kepala dan punggungnya. Serta menyuruhnya beristirahat.
"Kakak nganterin baju-bajumu nih dan juga Adek bayi," ucapnya pelan seraya mengeluarkan beberapa helai pakaian bayi. Hanna hanya memandangnya, tanpa sepatah kata.
"Kak, kenapa nggak bilang kalo Ansell punya istri? Apa salah Hanna sampai kalian tega kaya gini?" Di sela air matanya Hanna mencoba meminta penjelasan dari Athifa.
"Maafkan Kakak, Han. Sebenarnya ...."
"Kriiiinnggg...."
Suara ponselnya berbunyi, sebelum ia sempat meneruskan ucapannya. Sejurus kemudian sang kakak ipar pamit menjawab telpon dan berjalan keluar ruangan. Lalu masuk dengan wajah panik.
"Hanna, Kakak pulang dulu ya! Bagas nangis kejer katanya, nanti ke sini lagi sekalian bawa Bagas," terangnya panik. "kamu baik-baik yah, jangan terlalu dipikirkan kita tunggu Ansell yah." jawabnya menenangkan seraya mengusap pundak Hanna.
Hanna hanya mengangguk, tanpa jawaban. Sebenarnya, ada banyak pertanyaan yang ingin Hanna sampaikan kepada kakak iparnya itu. Tapi, ia urungkan.
Setelah semua pergi, tinggallah dia sendiri. Kembali air mata menetes tak tertahan, meratapi takdir yang begitu kejam padanya. Hatinya terasa perih, bagai tercabik ribuan pisau.
Dia melihat bayinya menggeliat kehausan. Tatapannya telah berubah kosong melihat bayi itu. Sesaat ia teringat ucapan Zea, untuk menyerahkan bayinya.
"Mungkinkah jika aku menyerahkan anak ini, semua akan baik-baik aja? Mama juga nggak akan tau kalo aku sudah menikah dan melahirkan. Jadi, aku bisa bekerja menggapai mimpiku." bisiknya dalam hati. Pikirannya mulai melantur, mengikuti emosinya.
"Tidak ... tak akan kubiarkan Ansell memiliki anak ini. Aku tak akan rela dia hidup bahagia bersama wanita itu. Biarkan saja selamanya mereka tidak memiliki anak. Akan kujauhkan laki-laki bajingan itu dari anaknya!" gerutunya. Batinnya terus berkecamuk.
"Aku harus berbuat sesuatu, tak mungkin kuterima semua ini. Menjadi yang kedua bukanlah pilihan untukku." bisiknya dalam hati.
Hanna sudah membulatkan tekad untuk pergi. Menghilang selamanya dari kehidupan Ansell. Tak peduli apa pun yang akan terjadi. "Aku harus pergi." gumamnya. Air mata terasa panas membakar pipinya.
Dengan tertatih menahan sakit, segera ia bangun mengemasi barang-barangnya. Tak lupa ia simpan uang pemberian Ansell kemarin. Dia berharap uang itu cukup, untuk ongkos pulang menemui orang tuanya. Dan cukup untuk biaya hidupnya selama ia masih belum bisa bekerja.
Dia berniat, untuk kabur malam nanti setelah semuanya sepi. Gunting yang dibawa perempuan tadi tergeletak di meja, segera ia meraihnya. Perlahan Hanna mendekati bayinya. Air matanya jatuh tak tertahan melihat wajah polos sang bayi.
******
Saat malam datang, dengan gelisah ia terus memandangi jam yang menggantung di dinding. Wajahnya berulang kali melihat keluar kamar.
"Semoga Kak Athifa atau pun Ansell tidak balik lagi," gumamnya.
Jam terus berputar, Hanna masih terjaga menggendong bayinya yang telah siap dibungkus kain.
"Mba Hanna, belum istirahat?" Tiba-tiba bidan senior datang menghampirinya.
"Belum Bu," jawabnya seraya melempar senyum setenang mungkin.
"Masih sendirian?"
"Iya, paling nanti agak maleman Kakak saya datang."
"Oh, baik, kalo gitu istirahat aja yah. Ditaro aja dedenya, jahitannya masih sakit kan buat gendong-gendong?"
"Oh, iya Bu. Ini tadi nangis jadi saya gendong. Nggak papa Bu, saya harus membiasakan diri kan."
"Maa Syaa Allah, semoga bayinya tumbuh jadi anak yang sholehah yaa."
"Aamiin, terima kasih banyak ya Bu."
"Sepertinya Pak Ansell juga sangat menyayangi Ibu dan adek bayi. Saya bisa melihat dari tatapan tulus beliau. Terlepas dari masalah yang sedang kalian hadapi, cobalah untuk bicara baik-baik. Jangan sampai anak yang jadi korbannya, Bu." ucapnya seraya mengelus lembut kepala bayinya.
Hanna hanya tersenyum tipis, dia tidak terima jika harus diperlakukan seperti ini. Prinsipnya, apa pun akan saya maafkan tapi, tidak dengan pengkhianatan. Sekali berkhianat, selamanya akan seperti itu.
"Ya sudah, saya pamit yaa."
"Iya, Bu. Sekali lagi terima kasih."
Ia meilirik jam pukul 9 malam, direbahkan tubuh mungil sang bayi dan tak lama kemudian dia pun ikut tidur di sebelahnya. Menahan kesakitan yang entah kemana mencari obatnya. Di saat-saat butuh seseorang untuk menemaninya ia malah sendiri menanggung beban yang cukup berat untuknya.
Di luar rembulan bersinar sangat terang, bulan purnama telah menampakkan wajahnya. "Aku harus bangun sedini mungkin," bisiknya dalam hati.
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments