Boyben Korea

Jakarta, Juli 2003

Namaku Freya, nama lengkapku adalah Freya Aurora. Kalau kalian coba cari di Google akan muncul berbagai situs web yang menjelaskan apa arti nama Freya. Kalau menurut Wikipedia, nama Freya berasal dari mitologi kuno Nordik, yang berarti dewi yang terikat dengan cinta, keindahan dan kesuburan. Nama Freya pertama kali diberikan kepada adik Freyr, putri dari Njord yang sering disebut sebagai Dewi Kesuburan. Ia memiliki wajah yang jelita dan bahkan pernah dinobatkan sebagai dewi tercantik diseluruh Valhalla. Semua makhluk hidup yang ada di dunia mengagguminya dan banyak yang ingin mendapatkan cintanya.

Sedangkan nama belakangku, yakni Aurora berarti fenomena alam yang menyerupai pancaran cahaya yang menyala-nyala pada lapisan ionosfer dari sebuah Planet sebagai akibat adanya interaksi antara medan magnetik yang dimiliki Planet tersebut dengan partikel bermuatan yang dipancarkan oleh Matahari (angin surya).

Arti namaku memang sebagus itu. Akan tetapi kalau versi Mama jika aku bertanya apa arti namaku ia hanya akan mengatakan, "Ya, cuma nama, karena terdengar bagus Mama berikan untukmu." Jawaban yang agak sedih. Karena sebenarnya aku berharap ada hal spesial yang menjadi sejarah dari namaku itu.

Gadis yang kelewat ekstrovert, itulah julukan yang sering dilontarkan orang-orang terdekatku. Mereka menyebutku demikian bukan tanpa alasan, melainkan karena sifatku yang easy going dan kelewat periang. Aku adalah tipe orang yang tidak mempermasalahkan lingkungan dan orang baru. Aku nyaman berada dimanapun dan memulai percakapan dengan siapapun.

Seperti halnya saat ini. Aku tengah berada diantara beberapa kakak kelas yang ku kenal saat kegiatan MOS seminggu yang lalu. Tidak ada junior yang berani duduk ditengah-tengah mereka selain diriku.

"Fre, lo anak Ipa atau Ips?" Dia adalah Adnan, kakak kelas yang turut serta menjadi panitia MOS. Dia dikenal sebagai si mulut cabe saat kegiatan MOS berlangsung seminggu yang lalu. Bahkan aku pernah menjadi korban. Dia mencaci makiku hanya karena aku salah memakai tali warna sepatu.

"Ips, kak." Aku menjawab sambil memasukkan sepotong kentang goreng ke mulutku.

Aku memang sengaja mengambil jurusan tersebut karena aku menyukai sastra. Impianku adalah menjadi seorang sastrawan dan penulis terkenal. Meski mama tidak menyukainya, tapi ini adalah hidupku. Aku yang paling tau potensi apa yang kumiliki.

"Katanya lo pinter, kok masuk ips?" Kak Adnan kembali buka suara.

"Ya emang apa salahnya kalo orang pinter masuk ips?" kali ini bukan aku yang menjawab, melainkan kak Dian.

Kak Dian adalah salah satu gadis most wanted di Sekolah kami. Selain parasnya yang diciptakan hampir kelewat sempurna dan tubuh tinggi semampai yang dimilikinya, kualitas otaknya juga mumpuni. Ia menjadi peringkat 1 umum diangkatannya dalam 2 tahun terakhir. Ia juga aktif mengikuti Olimpiade SAINS, dan kerap kali menyabet juara setiap mengikuti lomba tersebut. Selain itu, jabatannya sebagai wakil ketua OSIS, dan aktif dalam beberapa organisasi ekstra maupun intra, juga menjadi akses untuknya dikenal di seantero Sekolah.

Kak Adnan menggaruk kepalanya yang sepertinya tidak gatal. "Ya nggak papa. Cuma heran aja, jurusan ips kan biasanya cuma buat anak-anak badung. Atau jangan-jangan lo badung ya?"

Kak Dian menggeplak kepala Kak Adnan dengan tak manusiawi, "Itu mulut nggak ada akhlak banget kalo bicara".

Priiiiitttt

Suara peluit memotong perbincangan kami. Saat ini aku sedang berada di pojok Lapangan. Menyaksikan perlombaan basket antar Sekolahku dan Sekolah lain. Lapangan sudah ramai, hampir sebagian besarnya dipadati oleh gadis-gadis pemandu sorak atau yang hanya sekedar berteriak-teriak menyemangati pemain idolanya. Anak basket memang kece kece. Mayoritas dari mereka memang tinggi tinggi dengan tipe ganteng yang bermacam-macam. Ada yang berkulit putih seperti boyben Korea, ada juga yang berkulit coklat dengan senyum manis seperti Mas Mas Jawa.

Tapi dari sekian banyak orang yang berkumpul, mataku hanya terfokus pada satu orang saja. Dia adalah laki-laki bernomor punggung delapan belas. Laki-laki yang masuk dalam list berkulit putih seperti boyben Korea.

"Diooooo, fighting!!""

"Dioku yang semangat!!"

"Diooo aku padamu!!"

Aku menatap jengkel sekumpulan cewek-cewek yang sejak tadi meneriakkan nama Dio. Sumpah demi selai ubur-ubur, mereka sangat menyebalkan. Suara teriakan mereka mengalahkan suara pemandu sorak yang sedang beraksi didepan sana.

"Kak Dio jiayou!!!"

Semua orang memusatkan perhatiannya kepadaku. Aku berteriak lebih keras dari gadis-gadis tadi, sambil mengepalkan tangan tanda memberi semangat.

"Buset, lo makan toa atau gimana sih? Kenceng banget suaranya." Kak Adnan protes karena kaget mendengarku yang tiba-tiba berteriak disampingnya. Aku hanya nyengir kuda merespon kata-katanya.

Laki-laki yang kuteriakkan namanya berbalik, lalu melambaikan tangan kepadaku. Kulirik gadis-gadis disebelahku berbisik-bisik dan memanyun-manyukan bibirnya karena kesal.

"Jiayou!!" Aku berteriak lagi.

Laki-laki itu mengacungkan kedua ibu jarinya keudara.

Dia adalah Dio Varen Dirgantara. Sebelum resmi menjadi siswa SMA Cendana, aku sudah lebih dulu mengenalnya. Kami bertemu di tempat bimbingan belajar, dan memiliki jadwal belajar di hari yang sama. Kami sering menjadi partner kelompok, dan karena saking seringnya, kami menjadi dekat. Dia sering menghubungiku, awalnya sekedar bertanya masalah tugas. Lalu, lama kelamaan jadi membahas topik lain yang tidak ada kaitannya dengan tugas.

Kalau kak Dian tadi adalah most wanted versi cewek, maka Kak Dio ini adalah versi cowoknya. Dia ketua OSIS. Aktif mengikuti kejuaraan olahraga tingkat nasional. Partner Olimpiade Sains kak Dian. Parasnya yang kata mereka seperti Oppa Oppa Korea membuatnya digilai oleh para siswi di sekolah kami. Dan ya, poin pentingnya dia juga pintar.

*****

Matahari menerik dengan sangat panas. Waktu menunjukkan pukul 12:15. Waktu sholat dzuhur. Aku melepas sepatu dan kaos kaki lalu meletakkannya disudut emperan Mushollah.

"Kamu Freya, kan?" Aku berbalik ketika kudengar seseorang menegurku.

Aku tersenyum, mengenali sosok disampingku. "Iya, kak."

"Masih ingat, kan?"

Aku masih memasang wajah ramah. "Ya masih dong, kak. Kakak panitia yang paling baik, karena nolongin saya dari mulut cabenya kak Adnan."

Dia adalah Kak Sherin. Panitia MOS yang paling baik diantara yang lain. Dia dikenal ramah, tidak galak, dan sering membantu anggota MOS ketika ada yang dibebani dengan tugas berat oleh panitia lain.

Kak Sherin tertawa. "Jadi kalo gak nolongin nggak baik gitu?"

"Ya nggak gitu kak." Aku mengelak, meskipun aku tahu dia bercanda. "Kakak emang baik. Terlepas dari nolongin saya atau enggak, kakak tetap baik. Poin plusnya, kakak cantik." Aku tertawa cengengesan.

Kak Sherin tampak berbinar-binar. Sepertinya ia tersanjung dengan pujian yang kuberikan untuknya.

"Kamu ada nomor hp kan dek?"

"Oh ada kak." Aku mengeluarkan handphone merek Nokia dari saku rokku. Karena tidak menghafal nomorku sendiri, aku melihat kontakku lalu mendikte kak Sherin yang sedang menyalin.

Kak sherin bangkit dari tempat duduknya setelah pamit kepadaku. Ku kira ia akan mengambil air wudhu kemudian menunaikan sholat dzuhur, ternyata dugaanku salah. Ia berjalan menuju kelasnya. Sepertinya ia hanya mampir ketika lewat dan melihatku. Sebenarnya aku sedikit heran. Mengapa ia menyempatkan diri menghampiriku, dan mengapa juga ia meminta nomor teleponku disaat yang menurutku kurang tepat. Tapi aku tidak ambil pusing. Karena adzan dzuhur sudah berhenti berkumandang, aku segera menuju tempat wudhu dan menunaikan kewajibanku sebagai umat muslim.

*****

Praaang....

Kakiku baru saja melangkah memasuki pintu ketika terdengar suara barang-barang dibanting. Tidak, bukan karena tidak disengaja. Aku sudah terbiasa dengan suara-suara itu beberapa bulan belakangan ini.

"Hari ini dia nelpon di hp kamu, dan aku yang angkat! Sekarang kamu gak bisa lagi ngelak!"

Itu suara Mama. Kali ini apa lagi? Rasanya aku sudah muak tiap kali mendengar teriakan mereka. Aku muak melihat barang-barang rusak setiap kali mereka habis bertengkar. Aku muak dengan suasana rumah yang berubah menjadi seperti neraka.

Aku kembali melanjutkan langkahku. Berpura-pura menulikan telinga dan tidak tahu-menahu dengan apa yang terjadi. Kakiku terus menaiki anak tangga satu persatu, meski langkahku kian melambat karena bahuku yang mulai bergetar dan air mata yang sudah tidak bisa lagi ku bendung membasahi pipiku.

Saat sampai dilantai dua, aku melihat Ares, kakakku, sedang berdiri di depan tangga dengan pandangan yang sulit diartikan. Aku tahu, aku bukan satu-satunya yang paling terpukul dengan masalah Mama dan Papa. Aku yakin, Ares pasti merasakan hal yang sama. Meski ia tak pernah berkomentar apapun, namun jauh dilubuk hatinya ada sakit meradang yang tak kasat mata.

"Res." Aku memanggilnya lirih. Ia melihat kearahku yang sudah berlinangan air mata. Tidak ada respon. Ia hanya berdiri mematung menatapku, lagi-lagi dengan tatapan yang sulit diartikan.

Aku adalah anak kedua dari dua bersaudara. Aku memiliki seorang kakak laki-laki yang sangat berbanding jauh dariku. Aku tidak mengatakan kami berbeda dari segi fisik, melainkan sifat. Jika aku adalah tipe hiperaktif, maka dia adalah tipe makhluk kutub utara yang sangat dingin dan pendiam. Usianya terpaut 2 tahun dariku. Kami tidak seperti saudara kandung pada umumnya. Dia jarang berinteraksi dengan orang rumah, termasuk denganku. Ia terkesan tidak peduli, sekalipun aku kayang dihadapannya ia tak akan menggubris. Bahkan terkadang aku berpikir, apakah benar dia adalah saudara kandungku. Sebagai saudaranya, harusnya aku menjadi orang yang paling mengenalnya, tapi nyatanya aku sama sekali tidak pernah tahu apapun tentang dia, apa yang dia lakukan diluar sana, kemana dan dengan siapa ia pergi. Ia selalu menutup diri.

Percuma saja aku mengharapkan dia untuk menenangkanku layaknya seorang kakak terhadap adiknya, bahkan ia tak bergeser sedikitpun dari posisinya. Tingkat kekesalanku semakin memuncak. Kakiku berlari memasuki kamar dan sengaja membanting pintu dengan sangat keras. Aku tidak punya siapa-siapa untuk berbagi. Selalu saja seperti ini, tidak ada yang mau mendengarkan keluhanku. Tidak ada yang peduli denganku.

*****

Mataku mengerjap, gelap. Entah sudah berapa lama aku tertidur dengan kondisi ruangan yang ku biarkan tanpa penerangan. Kepalaku sakit, dan mataku rasanya panas. Aku tertidur setelah menangis sejadi-jadinya.

Ku lihat jam dilayar ponsel jadulku, pukul 21:00. Aku bangkit dari tempat tidur berniat untuk menyalakan lampu dan mengganti seragam sekolah yang masih melekat di badanku, tapi tenggorokanku terasa kering. Akhirnya aku memutuskan untuk bergerak menuju dapur.

Hening, saat ku buka pintu kamar. Tidak lagi ada suara barang-barang berjatuhan. Tidak ada suara teriakan Mama dan Papa yang tadi mendominasi ruangan, seolah berlomba-lomba siapa yang paling lantang. Aku yakin, saat ini pasti mereka sudah tidak ada di rumah. Kebiasaan, pikirku. Mereka selalu seperti ini, pergi setiap usai bertengkar. Meninggalkan anak-anaknya di rumah, tanpa lagi peduli apakah kami sudah makan, apakah kami sudah mengerjakan PR, ah menyedihkan.

Aku turun ke bawah, bukan menuju dapur, melainkan kamar Mama dan Papa. Ku lihat barang-barang berserakan yang belum dibersihkan. Ada pecahan vas bunga kesayangan Mama, dan lukisan foto keluarga kami yang ku buat 3 tahun silam.

Aku masih ingat bagaimana hangatnya keluarga kami dulu. Papa adalah seorang CEO di sebuah perusahaan milik keluarga kami. Ia lebih banyak menghabiskan waktu siangnya di kantor. Tapi di malam hari, ia akan pulang untuk memberikan semua waktunya untuk kami. Mama adalah seorang dokter bedah yang bekerja di Rumah Sakit besar pusat kota. Sama seperti Papa, Mama juga teramat sibuk. Tapi ia selalu memaksimalkan diri untuk mengurus keluarga. Mama selalu berusaha mengawasi tumbuh kembang anak-anaknya, meski sesekali ia tidak bisa menemaniku bermain masak-masakan atau boneka. Namun aku dan Ares tetap tumbuh ditengah-tengah keluarga yang hangat.

Beberapa bulan belakangan Papa berubah. Ia mulai jarang pulang. Tugas kantor menjadi alasannya. Awalnya Mama percaya, tapi pada suatu ketika aku melihat Papa berjalan dengan wanita lain. Aku tidak menyaksikannya sendiri, melainkan bersama Mama. Sejak saat itu, Mama menjadi agresif. Menolak setiap argumen yang Papa keluarkan. Dan menghujani Papa dengan tuduhan-tuduhan yang bahkan sampai saat ini masih sulit ku percaya kebenarannya, meskipun aku sudah melihat semuanya.

Kadang terlintas pikiran buruk di benakku, apa jadinya aku kalau sampai nanti Mama dan Papa berpisah? Apakah aku akan menjadi anak yang kehilangan arah akibat keluarga yang tidak lagi harmonis? Jujur, aku sangat tertekan dengan kondisi keluargaku yang sekarang. Aku memang selalu nampak ceria dihadapan banyak orang, sifat riangku berhasil membantu menutupi suasana hatiku yang sedang mendung, tapi pada kenyataannya aku sedang tidak baik-baik saja. Aku selalu memikirkan, apakah semua ini akan berakhir dengan ending yang baik, atau justru berakhir dengan sangat menyedihkan.

Jangan lupa untuk meninggalkan jejak setiap kali selesai membaca dengan cara like, vote atau comment. Gomawoyo💕

Terpopuler

Comments

Entin Entin

Entin Entin

dari bahasanya, enak banget, penuturannya lugas gak belibet, authornya punya skill matang kayaknya👍

2020-09-06

1

Tracer85

Tracer85

kak Jiayou

2020-03-29

1

Crown Princess

Crown Princess

Author kamu mantul banget... fix.., man to the tooolllll

2020-03-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!