Pahlawan Hansaplast

"Eh Fre, hari ini ramalan asmara gue gimana?"

"Gue Fre, ramalan keuangan gue cek dulu."

"Bentar elah, gue duduk dulu."

Aku mendaratkan bokong di kursi kemudian mengambil majalah didalam tasku. Aku suka membaca majalah, tiap pagi aku selalu menyempatkan diri membeli majalah baru di toko buku seberang Sekolah. Dan karena didalam setiap edisi selalu ada ramalan zodiak harian, aku sering diminta teman-teman kelasku untuk membacakan ramalan kondisi yang akan mereka jalani dalam satu hari.

"Gina scorpio, ya. Scorpio hari ini, asmara: kamu terlalu memendam apa yang kamu rasakan. Beranilah untuk memulai. Atau kamu harus mengikhlaskan dia bersama yang lain."

"Wah akurat banget emang majalah langganan lo. Bener-bener bisa tau kondisi asmara gue." Gina menepuk-nepuk bahuku dengan dramatis.

"Minggir minggir minggir, gue mau diramal dulu." Junet menerobos kumpulan teman-teman kelas yang sedang mengelilingiku untuk menunggu giliran dibacakan ramalan zodiaknya.

Aku menoyor kepala Junet dengan tak manusiawi. "Lo kebiasaan, antri dulu. Datang paling lambat maunya diramal paling cepet."

"Ini urgent, Fre, urgent! Gue harus diramal duluan. Bacain masalah asmaranya bintang gue, Leo ya." Junet mengambil posisi duduk dihadapanku. Persis seperti seorang pasien yang sedang konsultasi ke dokternya.

"Antri cungkring! Kita kita lebih dulu dateng ini."

"Mundur gak lo!"

Keriuhan semakin bertambah saat para cewek-cewek melampiaskan kekesalannya pada Junet.

"Freya, dicariin Kak Dio."

Radarku langsung ON ketika mendengar nama Kak Dio disebut. "Nih, baca sendiri. Gue mau ngurusin masalah yang lebuh urgent." Tidak lagi ku pedulikan teman-temanku yang meminta dibacakan ramalan zodiak. Aku menyerahkan majalah yang tadi ku pegang kepada Junet, lalu bergegas keluar kelas untuk menemui Kak Dio.

"Hai, Kak." Aku menyapanya yang terlihat sibuk bermain ponsel.

"Eh hai. Lagi sibuk ya?" ia memasukkan ponsel miliknya kedalam saku begitu aku menyapanya.

"Enggak. Kenapa Kak?"

"Temenin ke kantin yuk."

"Kan bentar lagi bel." Aku melirik jam tangan yang melingkar dipergelangan tanganku. 10 menit lagi bel pelajaran pertama akan dimulai.

"Masih 10 menit lagi. Aku cuma mau beli roti terus ke Kelas." katanya.

Aku mengangguk. "Yaudah, ayo."

Kami berjalan beriringan, membuat beberapa pasang mata memperhatikan kami. Tak sedikit juga yang terlihat berbisik-bisik.

"Nanti jadwal bimbel kosong, ya?" Kak Dio kembali buka suara.

Aku berdehem, "Iya."

"Kalo gitu pulang sekolah kita jalan, ya." Ia menghentikan langkahnya lalu menatapku.

Aku yang antusias mendengar ajakannya langsung saja menganggukkan kepala. Kami memang sering bepergian berdua, tapi sebatas untuk tujuan yang jelas. Misalnya mengerjakan tugas atau membeli buku. Baru kali ini ia mengajakku jalan diluar urusan pelajaran.

"Ada yang gelud woyy!!"

Beberapa siswa berlarian kearah Aula. Aku yang tidak tahu apa yang terjadi bingung hendak memutuskan kemana. Ku lihat Kak Dio yang tadi berdiri disampingku kini sudah berlari di depan. Aku memutuskan untuk mengikutinya.

"Brengsek lo!!"

"Lo pikir lo siapa, hah?!"

Semua orang berkumpul di samping Aula. Aku menerobos kerumunan untuk melihat apa yang terjadi. Ku lihat Kak Adnan dan David, anak yang terkenal nakal di Sekolahku, sedang adu jotos. Kak Dio berusaha memisahkan keduanya.

"Dav, udah. Lo mau bunuh temen lo sendiri hah?!" Kak Dio berteriak kearah David yang memukuli Kak Adnan dengan membabi buta.

Bukannya berhenti, David makin gencar melayangkan pukulannya. Ia menepis tangan Kak Dio dengan kasar. Sementara Kak Dio masih tak menyerah. Ia menarik kerah baju David hingga membuat sang empunya refleks melemparkan bogeman mentah kearahnya. Kak Dio tersungkur. Aku yang sudah panik setengah mati daritadi langsung berlari menghampirinya.

"Kak, kita ke UKS…" belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, kulihat darah segar mengucur dari hidung Kak Dio. Kepalaku jadi pusing. Pelipis dan telapak tanganku dipenuhi keringat dingin. Aku yang tadi berniat memapahnya kini mundur sedikit demi sedikit.

Kak Dio terlihat bingung, "Fre, kenapa?" sesekali ia meringis dan memegangi hidungnya, berusaha menghentikan pendarahan. Beberapa siswa maju untuk menolongnya.

Guru BK dan security kampus sudah mengamankan David dan Kak Adnan. Beberapa siswa juga sudah membubarkan diri. Aku berusaha bangkit dan nengikuti Kak Dio yang dibawa ke UKS.

"Biar saya saja, Bu." Aku mengambil alih kompres dan es batu dari tangan Bu Mayang, penjaga UKS. Tidak ada lagi darah yang keluar dari hidung Kak Dio.

Laki-laki itu berbaring diatas ranjang dengan memejamkan matanya. Begitu melihatku datang ia berusaha untuk duduk.

"Baring aja Kak, gak papa." Ia kembali ke posisi semula. Aku mulai mengompreskan es batu ke pucuk hidungnya yang nampak memar. Ia meringis kesakitan, padahal aku sudah melakukannya sehati-hati mungkin.

"Kamu tadi kenapa?" Kak Dio bertanya padaku.

"Hah, nggak papa kok kak. Nggak papa. Cuma gak bisa lihat darah aja, hehe." Aku memang phobia dengan cairan kental berwarna merah tersebut. Entah kenapa setiap kali melihatnya, kepalaku mendadak pusing dan keringat dingin bercucuran.

Aku merasa malu, harusnya tadi aku menolongnya, justru aku menghindar dan menjadi orang terakhir yang mengunjunginya di UKS.

Kak Dio tersenyum, manis sekali. Demi kerang ajaib Spongebob, rasanya aku seperti ingin meleleh saja melihat senyumnya.

"Lukanya nggak serius kok. Kata Bu Mayang, 2 atau 3 hari nyerinya bakal hilang. Sekarang kamu bisa balik ke Kelas, bel sudah bunyi dari tadi."

Aku mengangguk. Meski masih ingin menemani Kak Dio, aku tetap berdiri untuk mengikuti instruksinya. Aku menutup pintu secara perlahan, namun aku ingat, masih ada yang belum ku sampaikan kepada Kak Dio, "Kak Dio, lekas sembuh. Nanti aku kesini lagi." Kepalaku menyembul dari balik daun pintu. Kak Dio tertawa melihatku, ia mengacungkan kedua jempolnya. Kali ini aku benar-benar meninggalkannya.

Suasana koridor nampak sepi, jam pelajaran sudah dimulai sejak setengah jam yang lalu. Aku harus membuat alasan yang logis untuk bisa mengikuti mata pelajaran Bu Eli.

"Freya!"

Aku spontan berbalik ketika mendengar ada yang memanggil namaku. Ku lihat ada Kak Sherin berdiri didepan ruang guru. Entah apa yang ia lakukan, padahal ini sudah jam pelajaran. Ia berjalan mendekatiku.

"Eh Hai Kak Sherin." Aku menyapanya.

"Hai. Tadi malam aku sms kok nggak di bales?"

Aku menepuk jidat, baru ingat sejak malam aku menonaktifkan handphoneku karena tak ingin diganggu oleh siapapun dan sekarang malah tertinggal di rumah. "Hpku nggak aktif dari semalam Kak. Lowbat hehe."

Kak Sherin mengangguk-angguk. "Oh pantesan. Tapi nanti kalau udah aktif dibales kan?"

"Oh ya pasti dong Kak. Eh aku ke Kelas dulu ya Kak, mata pelajarannya Bu Eli nih."

Baru saja aku hendak melangkah, Kak Sherin kembali menahan langkahku. "Eh, Freya!" Ia berjalan mendekat.

"Iya Kak, kenapa?"

"Emm kamu pacaran sama Dio?"

Aku gelagapan dilemparkan pertanyaan semacam itu. Pasalnya kami memang dekat, hubungan kami bukan lagi cuma sebatas junior dan senior. Tapi tetap saja, masih tidak ada kejelasan status antara kami berdua. We are more than friends but less than a couple.

Aku menggaruk tengkukku yang tak gatal. "Enggak Kak. Kami cuma deket. Kenapa?"

Kini giliran Kak Sherin yang gelagapan. "Enggak. Nggak papa. Cuma mastiin aja kalo itu cuma gosip." Ah aku sekarang paham, ternyata benar, gosip antara aku dan Kak Dio sudah tersebar. Awalnya aku mengira Kak Sherin adalah salah satu fans garis keras Kak Dio, dan dia akan menghakimiku. Ternyata dugaanku salah.

"Tolong bilangin yang suka nyebarin gosip ya Kak, lain kali kalo mau ghibah cari tau dulu sumber kebenarannya." Aku tersenyum paksa, merasa jengkel dengan mulut-mulut yang pandai merangkai cerita bohong.

Kak Sherin tersenyum. "Iya Dek, nggak usah khawatir. Ya udah sana masuk Kelas."

Aku bergegas menuju kelas setelah berpamitan dengannya. Sebenarnya aku tidak keberatan jika ada yang berkata seperti itu, hanya saja aku malu pada Kak Dio. Bisa saja ia mengira aku yang sengaja menyebarkan isu tersebut agar diakui sebagai pacarnya.

*****

Aku menutup buku yang sedari tadi asyik kubaca lalu mengalihkan perhatian pada jendela mobil angkutan kota yang sedang ku tumpangi. Tempat yang akan kutuju sudah dekat. Aku pun menyimpan buku kedalam ransel, lalu merogoh recehan dari saku seragamku.

"Kiri."

Ku serahkan recehan tersebut kepada kondektur, lalu bergegas turun.

Hari sudah menjelang sore. Lalu lalang kendaraan yang bersiap untuk pulang memadati jalanan. Asap yang berasal dari kendaraan mereka menyebabkan polusi yang membumbung tinggi diudara.

Aku celingukan memastikan tidak ada kendaraan yang ngebut dari arah kiri dan kanan, namun seperti rantai, mobil mobil sedan dan angkutan umum terus bergerak tanpa ada putusnya.

Ku lihat ada seorang bapak bapak yang berjalan tergesa disampingku. Sama sepertiku, ia juga ingin menyebrang. Aku mengikuti langkahnya yang begitu panjang. Aku kualahan karena kakiku yang pendek.

Aku berdiri di depan bangunan besar dengan tulisan "DWIPURNA GROUP" di atas plang pintu. Begitu memasuki ruangan tersebut, beberapa karyawan menyapaku dengan hangat. "Sore, Mbak Freya. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang karyawati menegurku.

Aku memutuskan mengunjungi Kantor Papa setelah batal menghabiskan waktu pulang sekolah bersama Kak Dio. Sejak terakhir Papa dan Mama bertengkar, Papa tidak lagi pernah pulang ke Rumah. Aku sudah mencoba menanyakan penyebabnya, namun ia hanya mengatakan sedang ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.

"Papa ada, Mbak?" Tanyaku.

"Ada, tapi tunggu sebentar ya, biar saya hubungi dulu."

Aku mencegah pergerakan karyawati itu untuk menghubungi Papa. "Gak usah, Mbak. Papa yang nyuruh saya datang kesini." Ucapku berbohong. Aku ingin datang tanpa sepengetahuan Papa sebelumnya, agar tahu apa yang sedang Papa lakukan hingga ia terlihat sibuk dan tidak pernah pulang.

Karyawati tersebut meletakkan kembali gagang telepon yang ia pegang. Meski terlihat ragu, namun ia tetap mempersilahkanku masuk.

Kulihat pintu rungan Papa tidak tertutup rapat, baru saja aku hendak membukanya terdengar suara percakapan.

"Mau bagaimana lagi, sampai disini saja."

"Kamu sudah gila? Bagaimana dengan anak-anak? Aku tidak sampai hati menyampaikan masalah ini sama mereka." Itu adalah suara yang amat sangat ku kenali. Suara Mama.

Aku tetap berdiam diri didepan pintu, berusaha mendengar apa yang sedang mereka perbincangkan.

"Saya sudah mengajukan surat gugatan cerai ke Pengadilan Agama."

Bagai disambar petir, rasanya duniaku runtuh seketika. Keluarga yang harmonis, keluarga yang selalu aku banggakan, haruskah hancur hanya karena keegoisan dua orang?

Aku tidak ingin lagi mendengar kelanjutan perdebatan mereka, aku mendorong pintu dengan kasar, "Mama papa mau cerai?" Tanyaku.

Mereka terlihat kaget melihatku. Dan tidak ada satu pun yang berani buka suara untuk menjelaskan.

"Mama sama Papa mau cerai?!" Kuulangi pertanyaanku untuk memastikan. Air mata sudah menumpuk di pelupuk mataku. Lidahku kelu seolah tidak lagi ada kata yang bisa kuucapkan selain kata-kata itu.

"Sayang, enggak. Kamu salah dengar." Mama maju dan berusaha menenangkanku. Namun aku menepis tangannya yang hendak menyentuh pundakku. Sementara Papa tetap berdiri ditempatnya namun terlihat frustasi.

"Mama sama Papa kenapa egois?!" Aku menyeka air mata dipipi secara kasar. "Mama sama Papa mau ngorbanin kebahagaiaan aku sama Ares?!"

Mama masih berusaha menenangkanku, namun kali ini ia tidak berbicara apa-apa.

"Akan jadi apa kami nantinya tanpa salah satu dari kalian?!" Aku berteriak, persetan dengan statusku sebagai anak yang seharusnya bersikap sopan kepada orang tuanya.

Mama memelukku dengan paksa meski aku meronta-ronta. Ia menangis. Aku tidak pernah bisa melihat Mama menangis. Bagiku tangisan Mama adalah kesedihan terbesar dalam hidupku. "Kenapa, Ma?!" Aku histeris dipelukan Mama.

"Maafin Mama sayang. Maaf."

Aku melepas pelukanku dari Mama, "Kenapa Papa tega?!" Kali ini aku berteriak didepan Papa--hal yang tidak pernah sekalipun kulakukan dalam hidupku. "Papa egois! Papa pikir dengan bercerai Papa bisa bahagia dengan dia?!" Seperti orang kesetanan aku berteriak-teriak memuntahkan kekesalanku.

"Freya! Jaga bicaramu!" Papa balik membentakku. "Kamu tidak tahu kebenarannya. Jangan bicara sembarangan!"

Aku semakin merasa tertantang mendengar Papa mengatakan hal itu. "Papa bilang aku gak tahu? Freya tahu semuanya, Pa. Freya tahu dengan siapa Papa selalu menghabiskan waktu, Freya tahu siapa perempuan tidak tahu diri itu…"

Plakkk

Papa menamparku. Papa yang selama ini kukenal lembut dan hampir tidak pernah memarahiku, hari ini melayangkan tamparannya kepadaku. Napasku tercekat ditenggorokan. Pipiku rasanya panas.

"Kamu bener-bener gila!" Mama histeris melihat apa yang dilakukan Papa terhadapku.

"Pa, aku adalah anak Papa yang selalu papa lindungi saat ada anak-anak kompleks yang jailin aku. Aku adalah anak Papa yang selalu Papa lindungi dari bahaya apapun. Aku adalah anak Papa yang tidak pernah Papa bentak sekalipun…" Bibirku bergetar mengatakan hal itu. "Tapi hari ini, hari ini Papa bentak aku, bahkan nampar aku. Papa kenapa?!" Air mata yang turun dari pelupuk mataku tak terhitung lagi jumlahnya.

Hidupku benar-benar sudah tidak berarti rasanya. Orang yang paling aku banggakan, orang yang paling aku sayangi, hari ini benar-benar telah menggoreskan luka yang begitu dalam. Luka ini tidak akan pernah hilang, sekalipun ada obat paling manjur dibubuhkan keatasnya.

"Aku nggak mau ketemu Papa lagi!"

Aku berlari keluar setelah mengatakan hal itu. Kulihat beberapa karyawan yang nampak kaget ketika melihatku. Sepertinya mereka menyaksikan apa yang terjadi sejak tadi.

Suara tangisku teredam bunyi klakson dan deru lalu lalang kendaraan. Aku terus berlari tanpa tujuan, seperti itik yang kehilangan induknya.

Bruuukk

Aku terjatuh. Lutut dan lenganku rasanya perih, namun hatiku jauh lebih perih. Ku bersihkan debu yang mengotori seragamku. Aku duduk meringkuk dipinggir trotoar dengan masih sesenggukan.

"Sini biar gue lihat."

Seorang anak laki-laki duduk mendekatiku dan mengamati lukaku dengan lekat. Ku lihat ia membawa botol kecil dan kapas serta beberapa hansaplast. Aku yang keheranan semakin dibuat heran saat ia menyentuh kakiku.

"Lo mau apa?!" Aku refleks berteriak, takut kalau-kalau laki-laki dihadapanku ini punya niat jahat.

"Luka lo perlu diobati. Atau lo bakalan sampai besok disini karena nggak bisa jalan." Ucapnya enteng.

Kali ini aku membiarkan ia menyentuh lututku. Aku berteriak ketika cairan alkohol menyentuh permukaan kulitku. "Sakit. Pelan-pelan bisa nggak sih?!" Aku membentaknya.

Dia tak menghiraukan teriakanku. Setelah lukaku bersih, ia menempelkan Hansaplast kebagian yang terluka.

"Sudah. Ayo bangun." Ia bangkit terlebih dahulu, lalu mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.

Aku menepis tangannya dengan kasar dan berusaha berdiri sendiri meski kesulitan. Laki-laki itu tertawa seolah merendahkanku.

Selanjutnya ku lihat ia berlari menghentikan angkutan umum. Awalnya aku mengira ia akan pulang. Namun perkiraanku salah.

"Naik sana." Perintahnya.

"Nggak usah. Gue ada jemputan." Ucapku berbohong.

Dia menarik tanganku dengan paksa lalu menyuruhku masuk kedalam angkot. Merasa tak ada pilihan, akhirnya aku menurut saja.

"Bang, bawa dia pulang. Tanyain dimana rumahnya." Ucapnya pada Pak Sopir.

"Siap."

Ia tetap berdiri ditempatnya sampai angkot yang ku tumpangi melaju jauh. Aku tidak tahu siapa dia. Jika diperhatikan dari seragam yang dilkenakan, ia bukan berasal dari Sekolahku. Aku mencoba mengingat-ingat wajah teman-temanku satu persatu. Namun tetap saja aku tidak mengenalinya. Bagaimana bisa ia nenolongku dengan begitu telatennya, bahkan aku saja tidak mengenalinya sama sekali. Lagipula, dia sudah seperti pahlawan Hansaplast saja. Lukaku hanya sedikit, tapi dia membawa serenteng Hansaplast yang tidak ku tau darimana asalnya. Kepalaku mendadak pusing. Hari ini benar-benar banyak hal tak terduga yang terjadi.

Jangan lupa untuk meninggalkan jejak setiap kali membaca dengan cara like, vote atau comment. Gomawoyo💕

Terpopuler

Comments

Crown Princess

Crown Princess

visual manq visual mana di manaaaa

2020-03-29

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!