Ngos-ngosan, Emali kembali ke ruang kelas VI c. Haga terlalu cepat berlari dan sangat lincah, tak mampu terkejar olehnya. "Sial, ada saja yang mengganggu," ia menggerutu melewati dan menginjak tanaman bunga kembang sore yang telah ditanam oleh siswa-siswi sekolah untuk mempercantik sekolah.
Ruang kelas sudah sepi. Murid-murid yang tadi ketakutan telah berkerubung di gerbang sekolah untuk kabur. Tapi sial tak bisa di elak, pagar sekolah terkunci dan hanya satpam yang memiliki kunci gemboknya. Sementara tak ada yang mengetahui keberadaanya yang telah terjebak di dalam gudang sekolah.
"Sial. Lari kemana mereka," teriak Emali sambil menendang-nendang satu kursi yang berbeda desain dari kursi lainnya, kursi khusus untuk guru. Jika murid-murid menggunakan kursi berbahan kayu, khusus guru menggunakan kursi lipat yang ada gabus pada alas dan sandaran kursi.
Emali memandang tubuh Mirah yang terkulai tak bernyawa, "Rasain kau," membuang ludah berlalu meninggalkan ruang kelas. Dari kejauhan ia melihat anak sekolah yang berlari menuju gerbang sekolah dan ia mengikutinya.
Di depan gerbang, seseorang sedang mencoba membuka paksa gembok berbahan baja tersebut, menggunakan batu cadas. Bunga-bunga api bermunculan saat ia memukul dengan kuat batu cadas itu ke gembok. "Pak, ayo cepetan pak. Nanti orangnya datang,"
"Sabar. Ini lagi bapak usahakan," menghantamkan batu ke gembok untuk sekian kalinya.
"Pakkkkk, itu! Dia sudah datang," guru-guru wanita yang tadinya ikut menunggu kabur satu-persatu. Begitu juga dengan murid-murid yang mengikuti langkah guru mereka. Menyisakan Lena, Leoni dan sang guru pria di gerbang sekolah.
Buugh, lagi-lagi percobaan untuk membuka paksa gagal. "Maafkan bapak guru nak," membuang batu ke tanah, lalu membelai kepala kedua muridnya itu. Ia kabur meninggalkan keduanya. Niat ingin menebus kesalahan karena telah memberitahu ruang kelas si kembar dengan membantu membuka gerbang sekolah, lagi-lagi ia bertindak pengecut meninggalkan si kembar.
Leoni menarik lengan kakaknya untuk ikutan kabur, tapi seperti yang terjadi sejak awal, gadis itu takut untuk bergerak. Atau lebih tepatnya lutut-lututnya terasa sangat berat sehingga ia tak mampu menggerakkannya.
Emali menjambak rambut gadis itu, mengendalikan gadis Lena untu memutar tubuhnya 180 derajat sehingga anak itu bisa melihat wajah Emali, orang yang akan membunuhnya. "Kalau saja bapakmu tidak terlalu rakus karena memasukkan semua kerabat dan saudara ke list penerima bantuan, kau tidak akan menderita begini," Emali menarik rambut itu kebelakang.
"Hu hu huh, sakit om," ucap Lena memelas. Emali justru kesenangan mendengar anak itu kesakitan, sehingga makin kencanglah ia menarik rambut itu. Melihat kakaknya kesakitan, Leoni mendekatkan wajahnya ke tangan Emali dan menggigitnya.
Karena gigitan Leoni sangat kuat, Emali berusaha melepas gigitan itu dengan menggerakkan tangan kirinya ke atas, bawah, kanan dan kiri. Mengakibatkan Lena yang sedang dijambak ikut bergerak kesana-kemari karena pria itu menjambak semakin kuat.
Lena terseret jatuh ke tanah. Bukan kerena Emali melepaskannya, tetapi karena rambut anak itu terputus. Melihat kakaknya terjatuh, Leoni melepas gigitannya dan melihat tangan pria jahat itu dipenuhi rambut Lena yang tercabut.
Tiba-tiba panas dan nyeri dirasakan Leoni pada lengan kirinya. Setelah berhasil menebas Leoni, Emali mengangkat tinggi kakinya dan memberikan tendangan jejag, tendangan yang mengarah ke depan menggunakan telapak kaki untuk mendorong Leoni. Gadis itu terdorong mundur dan akhirnya jatuh terjungkal.
Emali menyeringai senang melihat kedua anak kembar itu terjatuh di tanah, lalu beralih memandangi buntalan rambut Lena ditangannya. Pria itu membuangnya di depan muka Lena.
Wushh, parang mengayun cepat memotong leher Lena. Darah menyembur deras. Daging merah segar menganga melebar.
"Kakkkkkk... Kakak, huhuhu," Leoni menjerit histeris. Guru dan murid yang menyaksikan kejadian itu dari kejauhan, dari ventilasi jendela, dari sela-sela pintu hanya bisa menutup mata dan menutup mulut yang menganga. Tidak percaya ada iblis berwujud manusia berlaku kejam seperti itu.
Wusshh, satu ayunan menerjang kembali. Tergeletak di bawah kakinya, Emali menghujani tubuh gadis itu dengan terpaan parang layaknya ia sedang memotong babi, seperti pekerjaannya sehari-hari. Bukan hal sulit baginya untuk memisahkan tulang dari daging babi. Kepala Lena terpisah dari tubuhnya.
Kyaaaa, hu hu hu, semua penonton yang tak lain adalah guru dan murid-murid satu sekolahan menjerit histeris serempak.
Belum puas, Emali meraih kaki Lena dengan kedua tangannya, membentuk sudut 90 derajat, tubuh tak berkepala itu diputar-putar layaknya ia sedang mengikuti kejuaraan atletik cabang lontar martil.
Swing, tubuh itu melayang melewati ujung dari pagar. Darah terciprat di wajahnya, tubuh Leoni dan lantai paving blok.
Tak ada yang berani melawan, tak ada yang bisa kabur. Keseluruhan sekolah dikelilingi oleh tembok beton yang diatasnya ditanami pecahan-pecahan beling. Hanya ada satu jalan keluar. Gerbang sekolah. Hanya dimiliki oleh 3 orang, pertama satpam sekolah, kedua petugas kebersihan yang datang hanya pagi hari sebelum para siswa dan guru berdatangan ke sekolah dan orang terakhir yang memiliki kunci gerbang adalah kepala.
Ia membentangkan kedua tangan, menengadah wajah keatas, bersyukur pada sang khalik atas hujan yang telah diturunkan ke bumi. Mula-mula hanya berupa rintik-rintik hujan yang hanya dalam sekejap berubah menjadi guyuran hujan, yang rasanya seperti sengatan jarum saat menyentuh kulit wajah.
Mengheningkan cipta sejenak, ia kembali memandang ke arah Leoni. Tinggal tersisa bocah itu untuk saat ini. Ia harus cepat menuntaskan pekerjaannya. Sudah terlalu banyak waktu yang dihabiskannya, dan pastinya pihak sekolah telah menelepon polisi yang saat ini mungkin saja sedang dalam perjalanan.
Ia memutar-mutar parang yang ada ditangannya, layaknya seorang drumer memainkan stik ditangannya. Parang itu kembali hitam mengkilap seperti sedia kala. Sisi yang tajam terlihat hitam kemerahan, sebab telah terlalu banyak ia menjilati darah babi. Kini manusia ketiga sedang menunggu giliran.
"Leoni, ayo lari," seseorang ternyata berlari dan menghampiri gadis itu. Bocah laki-laki lainnya. Menarik pergelangan tangan gadis itu melewati halaman sekolah, tempat yang sering dipergunakan sebagai lapangan upacara pengibaran bendera merah putih. Gadis itu mengikuti kemanapun bocah itu membawanya.
Alis Emali kembali terangkat, melihat ada orang lain yang lagi-lagi ikut campur dalam urusannya. Ia mengejar keduanya.
Jantung orang-orang yang menyaksikan dari kejauhan berdegup kencang. Sambil melipat tangan mereka berdoa agar murid laki-laki itu bisa menyelamatkan Leoni dari kengerian si tukang jagal babi. Kebanyakan di sekolah SDN Gusit 04 diisi oleh guru perempuan dan ibu-ibu yang sudah memasuki masa-masa pensiun. Guru pria jumlahnya sangat sedikit, bisa dihitung dengan jari.
Karena itulah, keseringan bergaul dengan banyak wanita setiap harinya, jiwa kesatria mereka turut luntur. Termasuk kepala sekolah yang bahkan tak berani mengangkat bokongnya dari kursi kantornya. Andai saja ia keluar membukakan kunci gerbang, pasti kedua bocah itu sudah terselamatkan sejak tadi.
Slupp, keduanya tersungkur karena bocah laki-laki itu tidak memperhatikan gundukan tanah ke depan. "Kau lari saja, tinggalkan aku," melepaskan genggaman tangannya, "Aku akan menahannya,"
"Leoni cepetan lari," teriak murid-murid seisi sekolah yang melihat dari kejauhan. Bahkan kepala sekolah mengintip dari pintu yang dibuka sedikit.
Leoni lari menyelamatkan diri. Ketika ia menoleh, Emali mengabaikan bocah laki-laki itu dan hanya terfokus mengejar dirinya. Ia memindai ke seluruh penjuru sekolah, mencari tempat bersembunyi atau seseorang yang dipercaya bisa melindungi dirinya.
Dapat. Ruangan kepala sekolah terlihat oleh Leoni. Pria tinggi dengan kepala yang hanya botak di bagian depan saja itu mengintip dari separuh pintu yang terbuka. Ia lari menuju ruangan itu.
Tak bisa dipercaya, hanya sekitar beberapa meter lagi, pintu ditutup oleh kepala sekolah. Dalam waktu yang sama pula parang Emali berhasil menebas punggungnya secara diagonal dari kanan atas ke ujung kiri bawah.
Leoni tersungkur dengan kedua telapak tangan dan dada menempel di dinding. Perlahan-lahan tubuhnya menurun dan jatuh tertelungkup di tanah. Ingin bermain-main dengan mayat Leoni dan bocah laki-laki yang tersungkur di tengah lapangan, gagal karena sirine polisi terdengar dari arah gerbang sekolah. Ia mencoba mencabut parang tetapi tidak bisa karena tertancap kuat pada tulang-tulang gadis itu.
Emali berlari, melewati belakang gedung sekolah. Melompati pagar tembok walau beling melubangi kedua telapak tangannya. Ia hilang dibalik pohon-pohon coklat perkebunan warga.
Satpam dan Haga merenung memikirkan cara keluar dari gudang. Kepala sekolah menyender di pintu menangis karena telah bersikap egois.Guru lainnya mengurung diri di toilet karena memberitahu kelas si kembar dan setelah gagal menghancurkan gembok ia lagi-lagi bersikap pengecut menyelamatkan diri sendiri. Laku anak yang berbaring ditengah lapangan meratapi kegagalannya menyelamati Leoni.
Sementara satu bocah lainnya, menyaksikan kejadian itu dari kejauhan dengan duduk di kursi lipat milik guru, yang ditaruh di depan ruang kelas. Bocah gendut itu menonton layaknya sedang menyaksikan sebuah film thriller, sambil mengunyah sebatang wafer coklat beng-beng.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Ansar rauf
mantap
2021-11-05
0
Pangeran Matahari
keren novelnya
2021-10-27
0