Song Of Songs Mafia : Haga Revenge

Song Of Songs Mafia : Haga Revenge

Bab 1. Tato Dalam Mimpi

"Pak? Pak? Bertahan pak!?" teriak Hendrikus sambil terisak menahan tangis. Memanggil orang yang dicintainya terhanyut oleh derasnya aliran sungai Afia. Beberapa orang yang kebetulan melintas disitu hanya terpaku menyaksikan salah satu warga kampung mereka digulung derasnya arus sungai.

"Tolong, tolong bapak saya bang!?" meminta bantuan sambil memegang tangan seorang pemuda yang terbilang jago renang dan sudah terbiasa berenang di sungai tersebut- bersama dengan pemuda-pemuda lainnya yang tergabung dalam organisasi karang taruna.

Tetapi orang yang dimintai tolong hanya bisa menatap aneh, "Hah? apa kau gila?" batinnya. Pemuda itu tak berani.

Jika seorang yang jago renang saja telah ciut nyalinya melihat besarnya debit air dan derasnya aliran sungai, apalagi warga yang lain. Mereka hanya menonton dari pinggir sungai. Seorang pun tak ada yang bernyali menceburkan diri ke sungai. Tak ada yang kepingin mati konyol mempertaruhkan nyawa demi orang lain.

Lama kelamaan tubuh itu semakin mengecil. Hendrikus yang ingin mengikuti sepanjang aliran sungai dihalangi oleh seorang pria paruh baya yang rumahnya hanya sejengkal dari kediaman Hendrikus. "Om, tolong bapak saya om,"

Beberapa saat setelah tubuh pria itu tidak kelihatan lagi, kerumunan membubarkan diri satu-persatu, kembali pada rutinitas masing-masing.

Mendengar kabar musibah yang menimpa suaminya, dari tetangga yang mengantarkan Hendrikus kembali ke rumah, membuat wanita itu menjerit histeris. Tidak lama kemudian ia jatuh pingsan dan digotong masuk ke rumah oleh ibu-ibu yang lain.

Setelah di laporkan oleh perangkat desa, regu penyelamat tim SAR dibantu oleh warga desa bersama-sama menyusuri aliran sungai, mencari keberadaan pria itu hingga ke hilir. Tiga hari pencarian itu berlangsung, tak juga didapatkan bongkahan tubuhnya.

Sehingga penatua agama dan masyarakat melakukan ritual untuk mengiringi arwah pria itu melintasi alam baka. Pencarian pun dihentikan pada hari yang keempat.

Hendrikus kini hidup bertiga saja dengan ibu dan seorang adik perempuan bernama Meutia. Kehilangan suami, membuat wanita itu jadi sering murung, melamun dan mengurung diri di kamar. Membuat kakak-beradik tersebut jadi tak terurus. Terlantar.

Untung masih ada tetangga yang peduli pada keadaan keluarga Hendrikus. Secara bergiliran mereka memberi pisang, sayur kacang panjang, jagung, ikan dan umbi-umbian hasil dari berkebun dan mancing di sungai. Berlangsung hampir sebulan lamanya, setelah semua tanggung diambil oleh Sartika, bibi Hendrikus dan Meutia.

Hanya berniat untuk liburan melihat keadaan adiknya, Sartika kerabat dari sang ibu, hanya bisa mengikhlaskan nasib buruk yang menimpa keluarganya.

Andai saja Sartika tidak bekerja, ia mungkin akan menetap di sana sambil mengurus adiknya yang depresi dan keponakannya. Tetapi karena tuntutan pekerjaan, tak memungkinkan ia melakukannya. Termasuk memboyong mereka untuk tinggal di kota.

Bergabung dalam suatu ordo Katholik, Sartika secara sukarela meninggalkan kehidupan duniawi dan memfokuskan hidupnya untuk kegiatan agama. Dara itu membaktikan seluruh jiwa dan raga menjadi seorang biarawati. Tinggal di lingkungan gereja.

Hendrikus dan Meutia dipaksa dewasa terlalu dini di usia yang sangat belia. Disaat anak-anak lain seusia mereka bermain dan bermanja pada orang tua, keduanya harus menahan getir kehidupan. Mengurus diri sendiri sambil merawat sang ibu yang kini hidup bagai raga tak berjiwa. Kondisinya kian hari kian mengkhawatirkan.

“Apa kalian tidak mau melanjutkan sekolah lagi?” kata Sartika suatu hari kepada kedua keponakannya, “Bibi yang membiayai semuanya,” berharap Hendrikus melanjutkan pendidikannya di tingkat satu SMP dan Meutia di bangku kelas 3 SD.

“Tidak Bi. Nanti kalau kami sekolah, tidak ada yang menjaga ibu di rumah,” jawab Hendrikus, berselang kemudian disambut anggukan Meutia saat ia melirik gadis mungil tersebut, mempertegas keputusan yang telah mereka ambil. Sartika tidak bisa memaksa. Apalagi mengingat kondisi adiknya yang seperti itu, pertimbangan anak-anak itu ada benarnya.

Hingga suatu hari, hujan menyerbu sepenuh tenaga. Angin semakin kencang saja, sampai-sampai seng rumah berkerit. Jam di dinding masih menunjuk pukul empat sore, tetapi kondisi diluar sudah gelap tertutup awan mendung. Badai menerjang desa.

Warga termasuk Hendrikus dan Meutia lebih memilih untuk menghentikan aktivitas di luar. Berdiam mengurung diri di rumah. Mengisi waktu, kedua bocah itu menyiapkan makan malam di dapur.

Hendrikus sibuk memotong kentang dan wortel menjadi potongan-potongan kecil sambil sesekali melirik ke buku catatan. Ia memasak soup sambil meniru tahapan-tahapan yang telah dicatatnya saat Sartika mengajari.

Duduk diatas meja makan sambil mengayunkan kaki yang menggantung di udara, Meutia memperhatikan sang kakak yang memasak sambil ngemil kentang goreng yang dipotong tipis memanjang. Ia sudah tak sabar ingin segera menyantap soup masakan Hendrikus sampai habis.

"Bang, cepetan dong, Meutia lapar nih," celotehnya.

"Bentar, tunggu lima menit lagi,"

"Hm, lama," menyilangkan kedua tangannya di dada dan menghimpit masing-masing telapak tangan di ketiak. Meutia memonyongkan mulut memperlihatkan pada Hendrikus jika ia sudah kesal karena menunggu lama. Dan bocah laki-laki itu hanya tersenyum gemas melihat tingkah laku adiknya.

Terlalu asyik di dapur, keduanya tidak menyadari ada dua pria sedang berusaha mendobrak pintu rumah, memaksa masuk ke dalam. Melintasi ruang tamu langsung menuju kearah dapur. Seseorang yang berbadan besar melangkah pelan menghampiri Hendrikus, lalu membekapnya dari belakang.

Ketika Hendrikus menyadari itu, semuanya sudah terlambat. Pria itu mengangkat lalu menyeret anak dalam pelukannya ke kamar mandi. “Lari dik, sembunyi di tempat biasa,” ucapnya setengah berteriak.

Pria yang satunya lagi bertubuh ceking gagal mendekap Meutia yang dengan gesit menunduk lalu melompat dari meja. Mengikuti perintah abangnya, gadis mungil itu berlari zig-zag sambil merangkak diantara kaki-kaki meja dan kursi.

"Ayo, kejar aku om," berlari cepat menuju ruang tamu. Berlari keluar.

“Kejar dia goblok,” kata pria yang sedang membopong Hendrikus setelah mendapati temannya itu ragu-ragu mengejar.

“Nanti dilihatin warga,” ia beradu argumen.

“Kan kau ada senjata. Tembak yang ikut campur! Kita harus dapatkan gadis itu,” temannya pun bergegas lari.

Hendrikus meronta-ronta mendengar adik kecilnya menjadi target incaran kedua orang asing tersebut. "Lepaskan saya. Lepaskan," namun semua usaha yang dilakukannya berakhir sia-sia. Tubuh kecilnya kalah kuat dibanding lawan.

"Diam kau," pria besar itu memeluknya semakin erat.

Namun ia tidak menyerah. Hendrikus mengguncang tubuhnya kesana kemari, kepala, kaki juga bergerak tak tentu arah. Tiba-tiba Hendrikus terhenti, meringis kesakitan saat kepalanya membentur dagu pria itu. Membuat dekapan tubuhnya sedikit melonggar dan dimanfaatkan oleh Hendrikus untuk menggigit tangan kanannya.

Menjerit kesakitan, pria itu melempar Hendrikus hingga terhempas ke tepian tembok bak mandi. Dadanya menghantam sisi atas dari bak mandi. Menimbulkan nyeri pada area dada sekitar tulang rusuk dan pada pergelangan tangan yang terkilir yang salah mendarat saat menopang tubuhnya terjatuh.

Ahhhh, ia batuk dan kesulitan bernapas. Terasa sesak di dadanya. Sambil menahan sakit Hendrikus menengadah ke atas, mengatur laju pernafasannya. Dilihatnya pria gendut itu menekan-nekan bekas gigitan dengan tangan kirinya. Sehingga memperlihatkan tato ditangan kiri pada lengan bagian dalam. Mirip seperti tanda yang pernah dilihatnya pada lembaran partitur musik. "Tatomu terlalu bagus untuk wajah jelekmu" tersenyum menyeringai.

Sekelebat bayangan hitam dengan cepat mengarah ke arah wajah Hendrikus. Sebuah tendangan keras menghantam wajahnya, membuat segalanya menjadi hitam dalam sekejap. Bocah itu pingsan.

Haaa, haa, haa, Hendrikus terbangun dari mimpinya. Ia terduduk diatas tempat tidur mencoba menenangkan diri dari mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Mimpi itu terus menerus mengganggunya.

Ia melepas selimut tebal yang melapisi tubuhnya, lalu berdiri di samping tempat tidur. Setindak kemudian melangkah ke kamar mandi tanpa pakaian melekat sehelai pun. Terjingkat saat seekor tikus berlari cepat di bawah kakinya.

Langkah kaki Hendrikus ternyata mengganggu aktivitas seekor tikus got yang tengah asyik menikmati sekotak sereal coklat di atas meja. Merayap di atas dinding masuk melewati satu lubang di plafon rumah. Tikus itu berhenti sejenak lalu menoleh ke belakang. Seolah-olah sedang protes kepada Hendrikus karena telah mengganggunya. Lalu menghilang pergi.

Baru mengambil dua langkah, tiba-tiba saja ponselnya berdering. Ia mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja, kemudian mengusap layarnya keatas- menempelkannya di telinga. Satu mayat ditemukan di tempat pembuangan akhir. Mereka ditugaskan untuk menyelidiki nya.

"Oke. Aku menuju kesana," mematikan panggilan telepon, melihat jam digital di layar ponsel menunjukkan pukul empat pagi.

Di kamar mandi, ia memutar keran dan menampung air di kedua telapak tangannya, lalu mengusap-usapkan ke wajah. Karena suatu alasan, tidak ada cermin untuk berkaca di apartemennya. Ada satu insiden yang membuatnya murka dan menghancurkan semua kaca yang ada. Setelah selesai mandi dan berpakaian rapi, Hendrikus mengambil kunci sepeda motor miliknya, yang tergantung di dinding dekat sakelar lampu kamar.

Keluar dari kamar, ia nyaris tergelincir karena sol permukaan sepatu sudah terlalu tipis. Refleks berpegangan pada penyangga tangga, Hendrikus berhasil mencegah dirinya terperosok jatuh kebawah. Dia langsung menuju parkiran dan menyalakan motor. Suara ribut dari knalpot motor RX King ternyata membuat seseorang terbangun dan mengintip dari balik gorden jendela.

Motor meninggalkan halaman apartemen, belok kiri melewati alun-alun kota, lalu melaju lurus hingga ke perbatasan kota, melewati jembatan Gido. Setelah melewati satu lapangan sepak bola, motor berbelok ke kanan dan lurus hingga sekitar lima kilometer lagi. Di sepanjang jalan pada kedua sisi, ia disambut tumpukan sampah dalam bentuk siluet berada dibalik pagar kawat.

Di gerbang masuk, ada satu petugas polisi yang berjaga. Setelah menunjukkan lencana, petugas tersebut memperbolehkan Hendrikus masuk ke dalam area pengolahan sampah.

Para karyawan dan pemulung berkerumun di luar pita kuning yang telah terpasang. Satu petugas menyuruh kerumunan untuk mundur sejenak, mempersilahkan Hendrikus lewat dibawah pita kuning yang telah diangkatnya tinggi. Hendrikus menunduk melewati pita tersebut.

"Terimakasih," kata Hendrikus melirik ke arah petugas, yang dibalas dengan anggukan kepala.

Seorang pria berbadan kekar dengan kepala plontos terbaring tak bernyawa diantara tumpukan sampah. Tubuhnya hampir rusak karena membusuk.

"Hendrikus, kau akhirnya tiba," Delau menyambut kedatangan Hendrikus, pria yang tadi menelpon meminta ia segera datang ke lokasi.

Dua petugas polisi yang lain ikut menyapanya. Raymond dan Handoko keduanya sedang jongkok mengidentifikasi korban. Hendrikus melangkah mendekati mayat sambil satu tangan menutup hidung. Aroma busuk sangat pekat menyergap hidungnya, hingga ia nyaris muntah. Tiga polisi yang berdiri disebelahnya hanya diam melihatnya dengan tatapan aneh.

"Siapa korbannya?" tanya Hendrikus.

"Masih belum tahu. Wajahnya membusuk. Identitas juga tidak ada" kata Delau menoleh kearah Hendrikus. “Tapi lihat itu. Itu tato keanggotaan kelompok mafia, Song of Songs,” sambil menujuk ke lengan kiri.

Mata Hendrikus membelalak melihat tato itu. Persis seperti yang ada di dalam mimpi. "Apa kau mengenalnya?" tanya Delau menangkap reaksi aneh dari Hendrikus.

"Tidak," Hendrikus menggeleng.

Setelah merasa cukup untuk mengidentifikasi tubuh korban, petugas membawa mayat ke ambulan untuk segera diotopsi di rumah sakit. Raymond dan Handoko tetap tinggal di tempat kejadian perkara untuk melakukan pemeriksaan ulang, mengecek kembali detail yang mungkin terlewatkan oleh pandangan mereka.

Sedangkan Delau dan Hendrikus mendatangi pos jaga, menanyai satpam yang melapor ke polisi dan seorang pemulung yang menemukan pertama kali.

Delau sesekali mencatat informasi penting dari penuturan kedua saksi. Sesekali ia melirik kearah Hendrikus dan memperhatikan koleganya itu terus menerus menatap ke kaca bewarna hitam yang ukurannya hampir separuh dinding pos jaga.

Dari dalam kaca, seseorang sedang balik menatap. Haga Harazaki Hia melihat dirinya terjebak dalam tubuh Hendrikus Masaro. Seorang kriminal yang kini harus menjalani kehidupan sebagai seorang polisi.

Terpopuler

Comments

Ansar rauf

Ansar rauf

👍

2021-11-05

0

Honeybee_🐝

Honeybee_🐝

Hadir thor....🥰
Tetap Semangat 💪
Salam dari ( Ayah dari calon anak sambungku )

2021-10-29

0

Ummu Jihad Elmoro

Ummu Jihad Elmoro

aku mampir, kk.. 😇

2021-10-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!