"Bu guru. Hu..hu..hu," ucap Lena tersedu-sedu melihat Mirah gurunya dihajar pria jahat pada bagian kepala yang kini remuk dicincang oleh Emali.
"Kak, bu Mirah kak," Leoni memegangi tangan kiri saudara kembarnya meratapi nasib tragis yang dialami oleh gurunya.
Mirah memang belum lama bertugas sebagai tenaga pengajar di SDN Gusit 04, datang sekitar 3 bulan lalu. Mengajar pelajaran matematika dan bahasa daerah Nias sebagai guru honorer, Mirah telah mampu memikat perhatian para murid-murid yang diajarnya.
Masih berusia muda, gadis itu mengajar dengan metode yang sangat jarang dilakukan oleh guru-guru lawas yang konservatif dengan metode ajari lalu berikan tugas untuk dikerjakan di rumah. Belajar sambil bermain adalah metode yang dipergunakannya dan mampu membuat siswa-siswi di sekolah tersebut jadi lebih menyukai pelajaran matematika.
Murid di dalam kelas dibagi menjadi dua kelompok setiap kali ia mengajar. Masing-masing perwakilan tim diberi kesempatan untuk melempar anak dadu dalam permainan monopoli. Setiap lemparan dadu akan mendapatkan soal dengan level yang berbeda-beda. Jika pihak A sebagai pelempar dadu tidak bisa menjawab soal yang mereka dapatkan, pertanyaan tersebut akan dilempar ke tim lawan yakni tim B. Begitu juga sebaliknya.
Dengan metode ini, anak-anak dalam kelas jadi lebih aktif belajar secara mandiri dan juga secara kelompok, karena mereka termotivasi untuk menjadi pahlawan dalam tim karena memberi tambahan nilai untuk membawa kelompoknya menjadi juara. Dan hasilnya sangat efektif dalam kurun 3 bulan terakhir, dimana siswa berhasil meningkatkan pemahaman dan cara berpikir dengan kritis. Selain itu kekompakan mereka jadi lebih bertumbuh.
Namun sayang, anak-anak di sekolah itu meregang nyawa ditangan seorang tukang jagal babi yang dendam pada orang tua si kembar karena tidak didaftarkan dalam list penerima bantuan dari pemerintah.
Setelah puas menghabisi nyawa Mirah, pira bertumbuh pendek sekitar 160 cm dan berperut buncit itu mundur selangkah, mengelap wajahnya yang penuh dengan cipratan darah.
Cuihhh, ia meludah ke tubuh Mirah yang telah terbaring tak bernyawa, lalu ia maju lagi hanya untuk menginjak-nginjak tubuh tubuh gadis itu.
Lena hanya terpaku melihat ketika pria pembunuh gurunya tersebut berbalik badan, menatap tajam ke matanya dan melangkah mendekatinya. Sementara Leoni perlahan-lahan mundur ke belakang menuju sudut kelas tempat beberapa temannya saling berpelukan, meringkuk ketakutan.
"Leoni, kamu jangan kesini. Nanti kami juga dibunuh nya," tangan seorang anak terjulur mendorong punggung Leoni yang berjalan mundur. Ternyata ketiga anak lain yang berada disana ikut-ikutan mendorong tubuh gadis itu.
Emali sekarang telah berdiri tepat di hadapan Lena. Seluruh tubuhnya gemetaran sangking takutnya dengan pria itu. Lena sampai pipis celana. Lutut-lututnya terasa sangat berat untuk digerakkan. Ia tidak ingin mati, tapi tak berdaya untuk menghindari sumber kematian itu.
"Kak, jangan berdiri disitu kak," kata Leoni memperingatkan saudara kembarnya, gadis yang lahir lebih cepat 10 menit darinya.
Lena melirik ke samping melihat Leoni. "Dek, kakak takut," dengan pipi bercucuran air mata.
Plukk, seorang anak laki-laki melempar kepala Emali dengan alat penghapus papan tulis. Ia menoleh ke belakang, lalu mengacuhkannya. "Tunggu giliranmu bocah bangsat," batin Emali.
Ia berpaling lagi ke arah Lena. Emali mengangkat tinggi parangnya dan plukk, lagi-lagi bocah nakal itu melemparinya. Kali ini dengan spidol.
"Arghhhhh, cukup sudah. Aku akan menghabisimu terlebih dahulu," ia berbalik badan dengan cepat, begitu pula anak laki-laki itu yang sudah terlebih dahulu keluar dari kelas IV c.
Ketika Emali sudah berada luar kelas, anak laki-laki itu sudah berdiri di tengah halaman sekolah. "Sini kau babi gendut," teriaknya dari tengah-tengah lapangan upacara.
Jarak meraka tidak terpaut jauh, hanya sekitar 25 meter. Emali mengejar bocah laki-laki itu, begitu juga dengan si anak yang lari menghindar, melewati taman-taman bunga, lalu menyelinap dari satu gedung ke gedung lainnya.
Ia sangat gesit berlari. Emali kalah cepat mengejar anak itu, yang kini telah bersembunyi di dalam gudang sekolah. Kehilangan jejak, ia berbalik arah untuk kembali ke kelas si kembar.
Bocah laki-laki yang bersembunyi di dalam gudang menyempil diantara bangku dan meja sekolah yang sudah tidak terpakai karena lapuk ataupun rusak patah. Ia mengintip dari sela-sela pintu namun tak kunjung melihat Emali melewati koridor yang dilewatinya untuk menuju ke gudang.
"Si babi itu benar-benar menakutkan," gumamnya sambil bernapas dengan tergopoh-gopoh.
Bruukk, ia mendengar sesuatu jatuh dari arah belakangnya. Tumpukan sarana dan prasarana sekolah yang sudah tidak terpakai menumpuk disana. Bocah laki-laki itu manarik pintu hingga tertutup, lalu melangkah dengan hati-hati ke arah sumber suara.
Sarang laba-laba menganggunya sehingga ia harus beberapa kali menyibak dari udara. Selain jaring-jaring itu, debu juga mengepul di udara. Bocah laki-laki itu menoleh ke celah tumpukan meja belajar, dan mendapati seseorang sedang meringkuk bersembunyi disana. Penjaga kelas.
"Pak, ngapain disini?"
"Kau yang ngapain disini?" tanya orang itu balik.
"Saya lagi dikejar-kejar orang gila. Dia bawa-bawa parang," jawab anak itu dengan enteng.
"Dia kesini? ," mata membelalak ketakutan melihat murid di hadapannya mengangguk.
"Kita sudah tidak aman disini, ayo kabur," penjaga sekolah bangkit berdiri, menuju pintu. Ketika ia membukanya, pintu tersebut tidak mau membuka. Macet.
"Kau! Kan sudah ada tulisan pintu rusak, ngapain malah ditutup?" kesal karena meraka terkurung dalam gudang. Pintu tersebut sudah rusak karena usia pemakaiannya sudah melebihi batas waktu dan harus diganti. Tetapi seolah tak peduli, para pengurus sekolah tetap membiarkan keadaan pintu tersebut rusak. Toh hanya dipergunakan sebagai gudang saja, jadi tidak perlu perbaikan.
Pintu gudang itu hanya bisa dibuka dari luar. Tetapi juga dibuka dari dalam, gagang dan pengaitnya tidak berfungsi dengan baik. Jika ingin keluar hanya ada satu cara, yakni menunggu orang lain membukakan pintu.
"Bagaimana keadaan murid-murid lain? Tak ada yang berani menghentikan babi gila itu," anak laki-laki tersebut duduk sambil menyenderkan punggungnya di dinding. Sementara pria itu terus menerus mengguncang-guncang gagang pintu agar bisa terbuka. Bukannya bernasib bujur, gagang pintu itu malah patah karena ulah penjaga sekolah. "Matilah kita," ucapnya lirih.
"Tolong. Siapa saja tolong kami," penjaga itu menoleh cepat ke arah murid laki-laki yang teriak itu.
"Kau gila? Orang itu kan lagi mengejarmu di gedung ini. Kalau justru dia yang masuk bagaimana?"
Mendengar perkataan penjaga sekolah, anak itu langsung ingat dan menutup mulutnya cepat-cepat. Mereka berdua tidak bisa kabur, dan hanya orang dari luar saja yang bisa membuka pintu. Haga Harazaki Hia tak ingin mati sebelum ia tumbuh dewasa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 21 Episodes
Comments
Ahmad Chris Sevin
KEREN KK .... Thor 👍👍
mampir juga kak ke novelku yang berjudul
Reinkarnasi Menjadi Indigo 😀
2021-09-24
1