Pagi di kediaman Bapak diwarnai dengan awan kelabu. Pasalnya Ratna hari ini akan terbang ke Samarinda untuk menetap di sana bersama Tama suaminya. Tama sedang membantu Ratna memasukkan kopernya ke dalam bagasi mobil Bapak. Sedangkan yang lainnya sedang menyiapkan sarapan di dapur.
"Mas, pesawatmu terbang jam berapa?" tanya Bapak pada Tama.
"Jam 10 take off Pak," kata Tama.
"Yowis, kamu gek sarapan sana lho selak telat nanti," kata Bapak lagi.
"Ya monggo Bapak juga," kata Tama.
Bahasa Jawanya belum lancar dan terdengar aneh, tapi efek dari pergaulannya dan tempat kerjanya sebelum ini membuat Tama sedikit-sedikit mengerti. Paling-paling kalau Tama tidak tahu dia akan mendekati Ratna dan minta diterjemahkan. Padahal Ayah darah Jogja asli, tapi karena dia menghabiskan hidupnya selama ini di Jakarta jadi wajar kalau Tama tidak mampu bahasa Jawa. Tapi dia juga tidak bisa bahasa Sunda karena Mama tidak pernah menggunakan bahasa daerah jika di rumah.
Tama menyusul Ratna yang masih menyiapkan sarapan bersama Ibu dan Sasa. Kalau Nata begitu selesai mandi langsung pamit untuk berangkat ke sekolah.
"Sa, motorku besok tolong dipaketin ya," kata Ratna pada Sasa.
"Santai Mbak, hari ini aku habisin dulu bensinnya ya," kata Sasa.
"Ya jangan dihabiskan juga Sa, sisain dikit atuh. Nanti uangnya buat maketin Mas kasih," kata Tama pada Sasa.
"Sekalian uang lelahnya ya, Mas."
"Hus, Sasa ki piye toh. Mbakyumu aja belum minta apa-apa ke suaminya kok kamu malah wis minta aneh-aneh," kata Ibu.
"Nggak papa Bu, iya nanti mas kasih tambahan buat beli sampur. Katanya pengen punya sampur baru to?" kata Tama membuat mata Sasa berbinar.
Selesai sarapan mereka berangkat. Ibu, Bapak, dan Sasa ikut serta mengantar Tama dan Ratna sampai di bandara. Tama melihat bagaimana Sasa begitu tidak rela jauh dari kakaknya. Walau kelihatannya tidak dekat tapi Ratna ini adalah sosok yang sangat-sangat dibutuhkan oleh kedua adiknya.
"Dek, sudah waktunya check in," kata Tama ketika mendengar panggilan untuk check in.
Ratna berpamitan dengan Bapak Ibu dan Sasa yang sekuat tenaga menahan tangis walau gagal juga. Tama juga begitu, dia menyalami kedua mertuanya dan adik iparnya satu per satu.
"Titip anak ibu ya Mas," kata Ibu.
"Nggih Bu, insyaallah Tama bisa amanah," kata Tama.
"Mas, kalau ada apa-apa telepon ya, jangan sungkan minta bantuan. Bapak on 24 jam," kata Bapak.
"Iya Pak, matur nuwun," jawab Tama lagi.
"Pak, Bu, Sa, Mbak Ratna berangkat ya, assalamualaikum," pamit Ratna.
"Waalaikumsalam, kalau sampai kabari ya nduk," kata Bapak diangguki Ratna.
Tama dan Ratna kemudian berjalan masuk untuk check in, kemudian langsung menuju ke pesawat yang akan membawa mereka ke tempat tujuan. Begitu duduk, Ratna terlihat murung. Dia hanya menatap lurus dengan tatapan yang sedih. Tama melihat kedua tangannya memainkan ujung bajunya seperti seseorang yang tengah dilanda kegelisahan.
Tama meraih tangan mungil Ratna, kemudian menggenggamnya, "Bismillah ya, mulai sekarang cuma ada aku sama kamu jadi jangan ragu buat saling mengingatkan," kata Tama.
Ratna tidak menjawab. Dia hanya mengangguk lemah dan beberapa kali menghela nafasnya.
"Maaf ya, Mas sudah ambil kamu dari orang tuamu. Mas janji nggak akan membuatmu kecewa. Kalau sampai Mas nggak bisa memenuhi kewajiban Mas, Mas ikhlas kamu tinggal," kata Tama.
"Jangan ngomong gitu dong Mas, jadi tambah sedih kan aku," kata Ratna yang akhirnya menumpahkan air matanya juga.
Tama tersenyum. Dia mengusak rambut Ratna kemudian menarik kepalanya hanya agar dia bisa mencium kening istrinya. Tama juga membantu Ratna menghapus air matanya dengan ibu jari kemudian mengecup singkat pipi Ratna juga bibirnya.
"Astaga Mas malu ih," protes Ratna.
"Nggak ada yang akan lihat mungil," Tama yang gemas kemudian mencubit kedua pipi Ratna yang tembem.
Sekitar 6 jam perjalanan akhirnya Tama dan Ratna sampai di rumah dinas yang baru Tama tempati. Tadinya kan Tama tinggal di mess bujang, dia baru mengajukan pindah rumah ketika sudah ada rencana menikah dengan Ratna. Letaknya ada di dalam kesatrian. Rumahnya tidak terlalu kecil tapi terlihat kosong karena minimnya perabotan. Maklum saja, Tama kemari untuk kerja bukan untuk rekreasi asal bisa menjadi tempat untuk berteduh dan istirahat sudah lebih dari cukup. Tidak banyak barang yang ada di dalamnya. Di dapurnya juga, hanya ada sebuah kulkas, satu set alat masak sederhana, rice cooker, dispenser dan galon yang hampir kosong juga sebuah kompor gas. Ratna menjelajahi rumah, dia berkeliling mulai dari ruang tamu, ke ruang tengah, dapur, kamar mandi hingga ke dalam kamar tidur.
"Mas sejak kapan ngerokok?" tanya Ratna ketika melihat ceceran abu rokok di dekat sofa di ruang tengah.
"Bukan Mas itu dek, kemarin waktu Mas pindahan ada teman datang buat bantu beres-beres. Mas malah nggak sadar kalau ada abu rokok di situ," kata Tama.
"Memangnya anggota kepolisian boleh merokok Mas? Setahuku nggak," kata Ratna.
"Ya memang nggak boleh, tapi tuh anak suka bandel. Nanti kalau kamu ketemu sama orangnya harap maklum saja ya kalau omongannya juga nyablak. Dia kalau bicara juga nadanya tinggi dan suaranya cenderung keras. Mas bilang begini biar kamu nggak takut, nanti kamu ngira dia marahin kamu lagi," jelas Mas Tama.
"Bukan orang Jawa ya Mas?"
"Bukan."
Ratna hanya menjawab ohh lalu berlalu masuk ke dalam kamar tidur. Begitu dia mendudukkan diri di kasur dia agak miris melihatnya. Kasurnya sudah mulai tipis dan bagian tengahnya agak cekung, bantalnya juga sudah kempes. Ini entah karena Tama yang kelewat malas menjemur kasur atau memang sudah saatnya diganti Ratna tidak tahu.
"Dek, kalau nggak capek kita belanja yuk. Paling tidak Mas belikan bantal baru buat kamu. Mas nggak tega lihat kondisi rumah begini padahal kamu baru sampai. Maaf ya, Mas bodoh banget dari kemarin nggak beres-beres juga, main di tinggal aja," kata Tama.
"Nggak papa kali Mas, mulai sekarang sampai nanti urusan rumah jadi urusannya Ratna. Mas sudah nggak perlu lagi nyuci baju, masak, beres-beres rumah, jemur kasur pun biar Ratna semua yang ngurus," kata Tama.
"Nggak begitu konsepnya manis, aku nikahin kamu bukan untuk jadi pembantuku. Mas lebih seneng kalau kita lakukan semuanya bareng-bareng. Kalau kamu masak Mas yang nyuci, kalau kamu nyapu Mas yang ngepel, setuju?" kata Tama meminta persetujuan.
"Hmm..., setuju. Tapi jangan sampai bebani Mas Tama ya," kata Ratna.
Ratna dan Tama memutuskan untuk mandi lalu pergi. Tama akan membelikannya beberapa perlengkapan sekalian mencari bahan makanan untuk beberapa hari kedepan. Selesai mandi dan bersiap, Ratna keluar menyusul Tama yang sedang manasi motor. Ratna mau tidak mau harus bersabar membonceng CBR lagi karena motornya belum sampai di sini.
"Dek, kalau sekarang kamu mau kan pegangan ke Mas?" tanya Tama yang sedang memakai helmnya.
"Mau, tapi nggak sampai meluk juga ya. Nanti dikira aku cabe-cabean," kata Ratna yang sedang memakai helm juga.
Tama mengajak Ratna berkeliling sebelum menuju ke pusat perbelanjaan. Tama memberitahu arah-arah dasar untuk Ratna, paling tidak dia tahu letak minimarket, pasar, tempat biasanya Tama beli sayur kalau malas masak dan lain sebagainya. Ratna ini orangnya cerdas jadi Tama yakin dia sekali diberitahu juga akan ingat. Paling besok kalau motor Ratna sudah sampai dia akan lepas kemana-mana sendiri. Apalagi teknologi maps sudah mutakhir, sampai ke gang-gang kecil juga terbaca jalannya.
"Sudah tahu jalan kan sekarang? Tapi sementara waktu jangan keluar dari kesatrian dulu ya. Kalau ada keperluan yang keluar bilang sama Mas nanti Mas antar," kata Tama ketika mereka sudah pulang.
"Mas kalau aku nggak boleh keluar terus aku lamar kerjaannya gimana," protes Ratna.
"Kamu mau langsung nyari kerja dek?"
"Nggak juga sih, he... he...."
"Nanti. Paling nggak 1 bulan ini kamu adaptasi dulu. Jangan nekat deh, kamu di sini nggak ada siapa-siapa. Mas kerja jadi nggak bisa merhatiin kamu terus, Mas cuma nggak mau kamu kenapa-napa. Ini sudah bukan di Jawa, Ratna. Banyak hal yang harus kamu pelajari dulu, ok?" Tama berusaha memberi pengertian pada Ratna, untung dia mengerti. Tama akui Ratna tergolong penurut walau dia memiliki prinsip dan ambisinya sendiri.
"Mas, sudah kasih kabar ke Mama? Kok aku nggak enak ya, kita belum sempat ke sana malah sudah sampai di sini," kata Tama.
"Sudah. Mama sendiri yang bilang kita nggak perlu ke Jakarta, nanti Mama yang ke sini."
"Dulu aku sempat bertanya kenapa sih Mas nggak ajak sekalian Mama sama Mas, sekarang aku ngerti alasannya. Mas sering pindah-pindah, Mas nggak mau kan Mama kerepotan," kata Ratna sambil menyusul duduk di samping Tama.
"Yap, dan satu lagi alasannya karena Mas nggak mau Mama kesepian. Mama itu pernah depresi berat jadi...," Ratna melihat Tama tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Matanya langsung berkaca-kaca. Ratna tahu ada sebuah masa lalu kelam dalam keluarga suaminya. Walaupun Tama pernah cerita, tapi Ratna tidak pernah tahu pasti bagaimana perasaan Mama Diana dan Mas Tama setelah ditinggalkan Ayah.
"Sudah mas jangan dilanjut. Iya aku tahu kok. Tahu nggak Mas kenapa aku milih Mas? Karena aku lihat jiwa seorang anak yang berbakti sama orang tuanya. Alasan itu sudah lebih dari cukup untuk menjadi jaminan Mas Tama nggak akan menyakiti keluarga kecilnya juga," kata Ratna sambil melingkarkan tangannya pada pinggang Tama dan menyenderkan kepalanya pada bahu tegap kepala keluarganya itu.
"Sesederhana itu?" tanya Tama agak menunduk hanya untuk bertemu tatap dengan Ratna yang nyaman dalam pelukannya.
"Iya...," jawab Ratna.
"Yah sia-sia dong overthinkingnya Mas," kata Tama kini mengalihkan pandangan lurus ke arah depan.
Ratna mendongak, "Overthinking soal apa?"
"Perbedaan usia kita lumayan besar Ratna, wajar Mas berpikir kamu akan nolak Mas. Apalagi posisinya sahabatmu 3 cowok semua, ganteng semua, berduit semua," kata Tama.
"Ya Allah Mas cemburu sama Dipta, Theo, Jay?" tanya Ratna menahan tawa.
"Nggak tahu," jawab Tama.
"Mereka itu temannya Ratna di BEM, Dipta sekarang sudah punya pacar namanya Ela, Theo malah sudah mau nikah sama Radea, Jay juga sudah pacaran. Lagian Mas, aku waktu itu dekat sama mereka karena kita semua sama-sama jomblo. Kalau sekarang sih dekatnya hanya sebatas teman kerja saja. Jangan cemburu ya," kata Ratna lagi.
"Iya deh nggak cemburu, tapi ada syaratnya," kata Tama.
"Apa?"
Tanpa pikir panjang Tama langsung melepaskan pelukannya pada Ratna dan langsung menggendongnya bridal style masuk ke dalam kamar, "Do whatever I say," kata Tama sebelum dia menjatuhkan tubuh Ratna di atas tempat tidur.
"Of course, anything for you," kata Ratna tidak kalah memprovokasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
Sugianto
penasaran.tapi..kok.dag dig dug y
2021-12-29
1
Sugianto
deg2an dech..mau baca lanjut..
penasaran...tapi takut konfliknya berat..ujung2nya...sad
2021-12-29
0