Setelah menikah, Ratna memutuskan untuk ikut Tama ke Samarinda. Tama bilang tidak ada tanda-tanda dia akan dipindahkan jadi Ratna lebih baik mengikuti ke sana dari pada dia hanya seorang diri di Jogja. 3 hari setelah pernikahan Ratna dan Tama akan berangkat. Sejak siang Ratna sudah sibuk mengemas ini itu. Tama saja sampai bingung kenapa Ratna yang ia kenal simpel dan santai ini tiba-tiba bisa begitu ribet.
"Dek, nggak usah dibawa itu kan bisa beli di sana semua make up-nya. Mas beliin nanti," kata Tama.
"Tapi kalau nggak di bawa sayang Mas, kan aku nggak akan pulang dalam waktu lama," kata Ratna.
"Yasudah kalau make up sama skin care sayang ditinggal bajunya aja yang ditinggal atau sepatunya tinggal," kata Tama.
"Tapi kalau aku tinggal di sana aku nggak punya baju nanti," kata Ratna.
"Ya Allah Adiratna, suamimu ini mampu beliin kamu baju selusin juga. Udah dibawa seperlunya aja ya," kata Tama.
"Tapi kalau uangnya Mas habis biar belanjain aku keperluan rumah tangga gimana?"
"Ratna sini duduk sebelah Mas," Tama sudah tidak tahu harus bagaimana. Mungkin memang niat dia baik, dia ingin menghemat biaya karena untuk pernikahan dan pindahan saja sudah memakan banyak biaya. Tapi jujur Tama agak tersinggung.
"Dek Ratna, sayangku, istriku paling cantik, kamu itu punya suami penghasilannya besar. Mulai bulan depan juga tunjangan istri cair karena aku sudah daftarkan pernikahan kita ke kantor. Kalau cuma untuk nyenengin kamu dompetku nggak akan kempes. Kamu di sana juga mau kerja kan, kita sudah pernah bicarakan soal ini. Kamu hemat boleh, aku nggak melarang tapi jangan pelit sama diri sendiri. Mas nggak suka." kata Tama begitu tegas walau tidak menggunakan nada tinggi atau kalimat mengintimidasi.
Ratna sebagai anak pertama sebenarnya memiliki ego yang agak tinggi. Ratna juga merupakan gadis yang cenderung mendominasi pembicaraan jika bersama dengan orang, tapi dihadapan Tama dia bisa tunduk menunduk tanpa diminta. Bukan karena pekerjaannya yang kelewat menakutkan, tapi karena kharismanya bisa memberikan kesan jika Ratna harus patuh padanya. Intinya Ratna tidak menyesali keputusannya. Dia menikahi laki-laki yang tepat.
"Maaf ya Mas, kebiasaan," kata Ratna.
"Nggak papa, mulai sekarang Mas yang bertugas buat kasih tahu kamu mana benar mana salah. Jadi nurut sama Mas ya," kata Tama membuat Ratna mengangguk.
"Kalau misal Ratna salah kasih tahu ya, Mas. Kalau misal Ratna kelewatan Mas boleh kok marahin Ratna," katanya.
"Nggak. Insyaallah Mas nggak akan pakai nada tinggi sama kamu. Kalau sampai Mas kasar atau pakai nada tinggi sama kamu, kamu berhak marahin Mas balik. Kamu juga berhak ninggalin Mas," kata Tama lagi.
"Mbak Ratna..., om Tama..., kata Ibu makan malamnya sudah siap," panggil Sasa, adik tengahnya Ratna dari luar.
"Manggilnya jangan om bisa nggak? Kok kaya aku nikah sama om om banget," protes Ratna yang keluar dari kamarnya.
"Ya kan emang om om," kata Sasa.
"Sa..., gelut yuk," ajak Tama
"Hayo, mumpung tenda nikahan udah di bongkar halaman luas tuh," kata Sasa pada Tama.
Hubungan Tama bukan hanya baik dengan Ratna, tapi dia juga mampu dekat dengan kedua adiknya Ratna, Adisa Widiyatna dan Adinata Widiyatna. Hanya butuh beberapa kali pertemuan sampai Tama dekat dengan kedua adiknya Ratna itu. Apalagi Sasa si anak tengah. Sejak kenal dengan Tama keduanya jadi suka saling menggoda dan bahkan mereka punya nama julukan untuk satu sama lain.
"Heh bumbu micin nggak sadar diri kamu pacarnya juga om om," kata Tama.
"Dih nggak lah. Kan cuma beda 1 tahun, kalo om kan beda usia sama aku sampe 10 tahun wajad dong kalo kupanggil om," kata Sasa.
Ratna sudah lebih dulu pergi ke ruang makan dan duduk di kursi yang biasa dia pakai untuk makan. Hari ini Ibu masak ayam kecap dan sayur bayam makanya Ratna sangat bersemangat untuk makan. Apalagi ini adalah makan malam terakhirnya bersama keluarga sebelum dia berpisah karena harus menunaikan baktinya pada suami.
"Ya Allah dek, sambelnya kurang banyak itu," kata Tama melihat Ratna makan sampai kuah sayur bayamnya berwarna merah karena sambal.
"Sebanyak ini nggak akan bikin perutku sakit kok," kata Ratna.
"Suka-suka kamu aja lah," kata Tama.
"Mas mau makan pakai apa?"
"Apa aja asal kamu yang ambilin," kata Tama.
"Heleh bucin...," julid Sasa.
"Kan nggak ngaca, yang kemarin di acara nikahan lengket kemana-mana berdua siapa coba," kata Tama.
"Ya mumpung bisa bareng, udah berapa bulan dia nggak pulang udah kaya bang toyib," kata Sasa.
"Lucu asli, di duakan kok sama negara jelas Mbak Sasa kalah," kata Nata.
"Mbok pikir besok cewekmu nggak bakal kaya gitu?! Kalo sampe cewekmu ngga protes sama cita-citamu tak kasih apa maumu wis," kata Sasa.
"Ok. Deal ya," kata Nata.
"Nata masih SMP nggak usah pacar-pacaran dulu. Tak potong uang jajanmu nanti," kata Bapak.
"Nggak usah pacaran, Nat. Begitu kamu sarjana langsung gas pelaminan aja," kata Tama.
"Mas Tama...." Ratna hampir mencubit Tama tapi dia sudah lebih dulu menghindar.
"Iya iya yang kenalan langsung nikah. Mending sih tapi ketimbang si brengsek itu yang jadi kakak iparku," kata Sasa lagi.
"Sasa...," Ibu memperingatkan.
"Maaf bu."
Sejak bergabung dengan keluarga ini Tama merasakan lagi apa yang sudah lama dia rindukan. Kehangatan sebuah keluarga. Kehangatan dari senyum seorang ayah, hangatnya pelukan seorang ibu, ditambah di sini ada ramainya perdebatan saudara.
Tama memang tidak pernah memilik saudara itulah kenapa dia begitu menginginkan hidup di tengah-tengah keluarga yang ramai begini, tapi jika mengingat kondisinya dan Ratna dia tidak berani berharap banyak. Tama terlalu takut akan mengecewakan keluarga kecilnya, karena dia bukan Ayah yang selalu menghabiskan weekend untuk bermain game bersama anak tunggalnya atau Bapak yang selalu menyempatkan untuk makan malam bersama keluarganya.
"Mas, habis ini boleh minta temenin nggak?" tanya Ratna.
"Kemana?"
"Ambil jahitan di tempat tante Isti," kata Ratna.
"Ok, habis makan ya."
"Pakai mobil Bapak nih, kalau kalian mau jalan-jalan biar nggak kena angin malam. Pulangnya jangan kemalaman tapi, besok kalian kan sudah mau pergi," kata Bapak.
"Makasih Pak," kata Tama.
Selepas makan malam, Tama mengantar Ratna mengambil pesanannya setelah itu keduanya berkeliling alun-alun Purworejo. Tama memarkir mobilnya persis di sebelah alun-alun, tepatnya di depan masjid agung. Lalu keduanya berjalan menuju ke stand kuliner malam yang banyak berada di pojok alun-alun. Ratna membeli jagung susu sedangkan Tama memilih membeli es teh cup. Mereka kemudian berjalan-jalan keliling alun-alun.
"Mas, di Samarinda enak nggak?" tanya Ratna.
"Enak, tapi karena nggak ada kamu enaknya jadi nggak kerasa," kata Tama.
"Ih serius, aku masih belum percaya nih bakal jauh dari rumah," jawab Ratna.
"Enak nggak enak Mas akan usahakan biar enak. Kalau memang nanti kamu nggak betah di sana jangan sungkan untuk minta pulang. Mas nggak papa sendiri ketimbang nanti kamu malah nggak nyaman," kata Tama.
"Tapi aku nggak rela pergi jauh-jauh. Kalau kemarin kan kita baru pacaran tapi ini kan udah beda. Suka nggak suka aku harus suka. Ibu juga sering bilang gitu kok. Setelah seorang wanita menikah, dia bukan lagi anak dari orang tuanya. Dia bukan juga tanggung jawab orang tuanya tapi sepenuhnya milik suaminya. Ya kali aku malah enak-enakan di sini sedangkan Mas di sana sendirian, nggak ah lebih nggak tega bayangin kita jauh-jauhan," kata Ratna.
"Mas kan di Samarinda nggak selamanya Ratna, suatu saat nanti Mas akan pulang kok. Entah dapat tempat di Magelang atau di Jogja atau di mana pun itu nanti Mas pasti akan pulang ke Jawa," kata Tama.
"Nggak ah aku pengen ikut dulu, masa iya sih Mas baru nikah belum ada seminggu udah harus ditinggal jauh. Aku nggak bisa, aku nggak sekuat itu kayanya," kata Ratna.
"Sungguh aku nggak salah nikahin kamu dek, kamu adalah yang terbaik. Makasih ya sudah kasih kesempatan buat Mas," kata Tama yang kini memeluk Ratna dari belakang.
"Mas, malu di liatin orang-orang."
"Kamu tau nggak gimana caranya biar nggak malu pelukan di depan umum?" tanya Tama.
"Gimana caranya?"
Tama kemudian menarik handphonenya yang sedari tadi ada di dalam saku celana. Dia membuka aplikasi kamera kemudian memberikannya pada Ratna. Ratna yang mengerti langsung tersenyum, dia mengambil alih handphone suaminya dan keduanya sibuk berfoto.
Baru ini Ratna tidak mengeluhkan perbedaan postur tubuhnya dan Tama. Mereka memang benar-benar terlihat seperti kakak adik, apalagi Tama masih memanggilnya dengan sebutan "dek" dan Ratna dengan sebutan "mas" jadi orang tidak jijik melihat mereka berpelukan atau bergandengan tangan. Setidaknya mereka tidak akan dikira ABG baru kenal cinta yang baru pacaran seminggu panggilannya sudah ayah bunda.
Selesai foto-foto, Ratna mengembalikan handphone Tama. Dia agak kaget ketika melihat wallpaper Tama. Bukan wajahnya, bukan juga foto pernikahan mereka. Melainkan foto punggung Ratna yang mulai melajukan motornya menjauh. Kalau Ratna tidak salah, foto ini pasti dia ambil ketika mereka makan malam bersama secara dadakan di pertemuan ketiga mereka.
"Sejak detik itulah Mas merasa yakin kamulah orangnya, Na," kata Tama berbisik lembut di telinga Ratna.
"Tapi kenapa Mas nggak langsung chat aku aja kalau ketika itu Mas sudah suka sama aku?" tanya Ratna.
"Karena Mas masih lihat laki-laki lain di lockscreen kamu," kata Tama.
"Ternyata aku bodoh ya, andai aku nggak pasang foto itu jadi lockscreen handphone. Untung Mas nggak mundur, jadi aku nggak perlu mengutuk diri sendiri," kata Ratna.
"Nggak perlu menyesal, itu masa lalumu. Toh Mas yakin masa depanmu cuma sama Mas. Lagi pula yang fotonya ada di lockscreen belum tentu akan ada di buku nikah juga, iya kan?" kata Tama.
"Yang ada di buku nikahku, di dompetku, di rumahku, di hatiku dan di doaku cuma akan ada Mas seorang, nggak yang lain," kata Ratna membuat Tama sekali lagi jatuh cinta pada si mungil menggemaskan Adiratna.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Nah itu tau 😄😄👍👍
2024-03-22
0
Qaisaa Nazarudin
Waahh di skip,Udah nikah aja ya..😂😜
2024-03-22
0
Sugianto
tul..tul...betul
2021-12-29
0