Two

Geisya mengetuk pintu bercat putih di depannya. Padahal di sampingnya ada bel, tapi memang dasarnya Geisya itu gadis yang berpikiran terlalu ribet dan aneh. Jadi lebih memilih mengetuk pintu dari pada membunyikan bel rumah.

"Tok, tok, tok." Geisya menirukan bunyi ketukan tangannya di pintu.

"Kenapa lama banget si bukanya?" Dia mulai kesal sekarang.

"Tok, tok, tok. Assalamualaikum!!!" Geisya berteriak dengan keras. Berharap bahwa Mama atau orang yang di dalam mendengar.

Namun, tetap saja pintu itu tak terbuka. Harusnya Geisya sadar, bahwa ini bukanlah Rumah kecil yang tinggal tok, tok, tok orangnya langsung dengar. Tapi ini adalah Mansion yang besarnya nggak main-main!

Mau teriak sekencang mungkin nggak bakal ada yang denger! Ngetuk pintu sekeras apapun juga orang di dalam nggak akan keganggu. Orang mereka nggak denger, kecuali kalau nggak sengaja lewat di depan pintu!

Itu sebabnya para rumah orang kaya selalu ada belnya.

"Masuk aja deh." Geisya membuka pintu itu sedikit. Tapi kemudian berhenti dan kembali menutupnya. "Eh, tapi kalo Geisya langsung masuk sopan apa nggak ya?" tanyanya pada dirinya sendiri.

"Tapi ini kan rumahnya Papa Geisya. Jadi kalo Geisya nerobos masuk itu masih dalam ajaran sopan kan ya?" ucap Geisya polos.

"Dahlah trobos aja. Biasanya juga Geisya suka nerobos masuk rumah orang tapi nggak ngerasa bersalah tuh. Masa nerobos rumah sendiri dibilang nggak sopan? Kan nggak adil namanya," cerocos Geisya membuka pintu dengan kasar dan langsung berlari menuju ke dalam sambil menyeret kopernya.

"BANG VANO!!!"

Dia berteriak memanggil seorang pemuda dengan tubuh atletis yang sedang minum air dingin. Pemuda yang dipanggil Bang Vano, atau dengan nama lengkap Gevano Ananda Zibrano itu terbatuk hebat mendengar teriakan kencang dari Geisya. Matanya menatap tajam Geisya yang menyengir tak bersalah.

"Heheh, sorry, Bang!" Geisya menyengir sambil memberikan tanda peace.

"Dasar mulut toa! Pulang-pulang bukannya ucap salam malah teriak-teriak nggak jelas!" dengus Gevano dengan kesal.

Geisya menunduk dengan raut wajah bersalah. "Maaf, Bang! Lain kali Geisya sering-sering deh teriaknya. Biar Bang Vano kesedak, terus mati. HAHAHAH!!"

"BANGSAT!!"

"ABANG MULUTNYA!!!"

"MAAF, MA!!!"

Gadis itu berlari sambil tertawa. Dia berlari menuju ke arah papanya yang duduk di sofa sambil geleng-geleng kepala.

"Papa, Bang Vano tuh... nakal..." rengek Geisya manja.

Pria paruh baya dengan nama Rey Ardian Zibrano itu menatap anak gadisnya dengan alis terangkat sebelah, "kamu duluan yang mulai." Dia berujar sambil menyesap kopinya dengan tenang.

Geisya cemberut, lalu matanya menatap atensi sang Mama yang sedang berjalan berdampingan dengan seorang gadis cantik bertubuh mungil sambil membawa nampan berisi beberapa makanan ringan dan minuman.

"Mama---"

"Diem!"

Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik diusianya yang sudah tak muda lagi itu menyela rengekan putrinya. Dia masih sedikit sebal dengan anak gadisnya itu. Bagaimana bisa gadis itu pulang ke Jakarta sendirian tanpa mengabari satu pun orang di sini?

Geisya mendengus kesal. Dia semakin sebal saja Kenapa tidak ada yang membelanya! Dia ini baru pulang dari Rumah Kakek dan Nenek nya yang berada di Yogyakarta.

Tapi kenapa keluarganya tidak menyambutnya suka cita! Seolah dia ini anak yang tak diharapkan pulang. Geisya ingin menangis.

"Kenapa nggak ada yang belain Geisya sih!" kata Geisya dengan kesal.

"Mana mau Mama belain gadis nakal kayak kamu ini! Pulang ke Jakarta nggak ngasih kabar siapa-siapa! Untung aja Nenek kamu nelfon Mama! Coba kalau enggak?! Bisa beneran jantungan Mama kalau tau kamu tiba-tiba dateng ke sini sendirian tanpa ngasih kabar!" omel wanita berumur tiga puluh enam tahun tersebut.

Wanita yang menjadi Ibu dari dua itu tidak lah marah dengan putrinya. Dia hanya merasa khawatir saja. Bagaimana jika putrinya mengalami sesuatu di jalan? Dirampok misalnya. Siapa yang susah? Tentu saja dia ikut repot.

Ibu mana yang tidak cemas jika terjadi sesuatu pada putrinya. Apalagi Geisya ini masih berumur tiga belas tahun!

"Maaf, Mama," ucap Geisya penuh sesal.

Wanita dengan nama lengkap Kiara Dewi Erdogan itu menghembuskan nafas lelah. Dia menepuk kepala putrinya, "ya udah nggak papa. Yang penting sekarang kamu baik-baik aja Mama udah bersyukur."

Geisya tersenyum ceria menatap wajah cantik sang Mama. Matanya beralih menatap gadis mungil yang duduk anteng sambil meminum tehnya dengan tenang.

"Kak Zila, Bang Arga mana?"

Gadis yang dipanggil Zila atau lebih tepatnya Arzila Kanaya Megantara itu mendongak menatap Geisya. "Dia lagi nganterin ceweknya pulang. Bentar lagi pasti ke sini," jawabnya meletakkan tehnya di atas meja.

Arzila adalah Kakak perempuan dari Arga. Dia langsung ke sini begitu Mama Kiara bilang bahwa Geisya akan datang. Dia begitu merindukan sepupu perempuannya itu.

Zila sudah berumur sembilan belas tahun. Dia merupakan seorang Mahasiswi di Universitas Gunadarma Jakarta Selatan. Namun banyak yang mengira bahwa ia masihlah gadis SMA karena wajah Baby face-nya. Didukung pula dengan tubuhnya yang mungil. Dan tingkahnya yang kadang seperti anak kecil.

Gevano datang dari arah dapur. Dia duduk di samping sang Mama. Mencomot makanan yang disediakan oleh sang Bunda di atas meja.

"Eh, Bang. Katanya Bang Vano udah punya cewek ya?" tanya Geisya antusias. Dia sangat senang saat mendengar Kakak laki-lakinya itu punya kekasih.

Gevano hanya menanggapi dengan anggukan kepala.

"Nanti kenalin ke Geisya dong, Bang!!" pintanya semangat.

Gevano melirik adiknya, "kenapa gue harus kenalin cewek gue ke lo?"

"Ya karena Geisya adek Abang! Geisya juga pengen kenal lebih deket sama calon Kakak Ipar, heheh."

"Hmm. Kapan-kapan gue ajak lo ketemu sama dia."

"Besok aja, Bang! Gimana?!"

"Liat besok aja. Takutnya gue sibuk."

"Sibuk apa'an?"

"Bocil nggak perlu tau!" sarkas Gevano.

"Dih, sok sibuk!" cibir Geisya.

"Dan Geisya bukan bocil! Umur Geisya udah genap tiga belas tahun!" sinis Geisya.

"Tetep aja lo bocil," ejek Gevano.

"Ih bukan!! Dibilangin bukan bocil!!"

"Kalau bukan bocil apa? Bocah?"

"Abang!!!"

"Apa, cil?"

Rey dan Kiara pusing melihat kelakuan kedua anaknya. Selalu seperti ini. Jika tidak bertemu mereka rindu. Tapi giliran ketemu bukannya melepas rindu malah berdebat terus.

Sedangkan Arzila sudah pergi dari sana menuju ke halaman belakang untuk memetik bunga. Dia tidak ingin mendengar perdebatan adik kakak itu. Bisa pengang kupingnya lama-lama di sana. Jadi lebih baik menghindar saja.

Setelah perdebatan singkat itu, Geisya masuk ke dalam kamarnya yang didominasi oleh warna biru muda. Warna favoritnya.

"Huweee akhirnya Geisya bisa tidur di kamar ini lagi... Sungguh Adinda rindu dengan kasur hangat ini," ucapnya dramatis.

Dia memeluk lemari, meja belajar, pintu kamar mandi, bantal, guling, dan satu persatu boneka BT21 yang ia koleksi. Dan yang terakhir ia memeluk selimutnya sambil berguling-guling di atas kasur.

"Uhh, nyamannya."

"Kayaknya tidur siang enak. Hihihi," kikiknya.

"Eh, tapi Geisya belum mandi."

Ia mencium bau badannya sendiri. "Asem."

Geisya meringis jijik merasakan bau badannya yang bercampur keringat.

"Geisya mandi dulu deh. Terus tidur."

Geisya mengambil handuknya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk menyegarkan diri.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Apriani Soraya

Apriani Soraya

kok belum up thorr

2021-09-25

1

Tety Setianingsih

Tety Setianingsih

lanju lanju lanju thor

2021-09-22

4

Apriani Soraya

Apriani Soraya

lanjut thor

2021-09-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!