Hukuman untuk Bima

"Jadi itu yang namanya Maudy toh " Manggut-manggut dan senyum yang khas dari wajah Rio.

"Hem." Mengetik pesan di ponselnya. Tentu yang akan ia kirimkan untuk Maudy.

"Jangan kaku banget lah Bim. Cantik loh pacar kamu, natural gitu. Hati-hati loh Bim." Melirik sekilas adiknya yang masih cuek.

"Kalau seandainya Maudy mau sama mas gimana?" Nah, pertanyaan ini yang berhasil mengalihkan Bima.

Tapi kali ini belum menjawab hanya menatap tajam lewat sorot matanya. Sontak Rio tertawa dan memukul kemudi berkali-kali.

Bima langsung menekan layar ponselnya yang bertuliskan 'panggil'.

Tak lama terdengar suara Maudy.

"Iya Bim? Kenapa?"

Wah langsung melakukan video call loh si Bima nya. Mau ngapain coba.

"Kangen sayang." Dengan khas suara manjanya.

"Lebay tau gak Bim!" Protes si jomblo.

"Ya ampun Bima, belum juga ada lima menit. Gimana nanti kalau di tinggal pergi."

"Pergi? Kamu mau pergi kemana?"

Bima berpura-pura tidak tau, padahal hanya memancing Maudy untuk jujur.

"Enggak lah, maksudnya tuh kalau aku pergi liburan gitu."

Belum jujur juga ternyata. Batinnya.

"Sayang, mas Rio rese. Masak katanya kamu mau sama dia."

Kembali bermanja-manja.

"Hahaha, ada saja. Mana dia?"

Dahi Bima nampak berkerut.

"Siapa?"

"Mas Rionya lah Bima" Masih belum menyadari kalau suara Bima sudah berubah dingin.

"Halo Maudy?" Merebut ponsel yang Bima pegang, dan melambaikan tangannya seperti anak kecil.

"Hei mas." Senyuman yang tersungging nampak ragu di berikan oleh Maudy. Bima duduk dan melipat kedua tangannya.

"Siniin enggak mas handphone aku?"

Suaranya berubah dingin.

"Maudy, nih pacar kamu ngambek, udah ya."

Maudy hanya menjawab dengan senyuman.

Setelah ponsel kembali Bima pegang.

"Bim?"

"Udah, kamu istirahat ya. Jangan lupa makan." Langsung Bima matikan sambungan telepon nya.

"Bima. Ubah sifat kamu yang terlalu over, nanti Maudy bisa bosan loh. Mas cuma ingetin kamu aja."

Bima belum merespon, bahkan sengaja tak mendengarkan.

"Terserah kamu lah, mas kasih tau yang benar. Cewek tuh ya Bim, suka memang kalau pacarnya cemburu, tapi enggak segitunya juga lah. Masak ngomong sama mas aja kamu marah, gimana dia mau dekat sama keluarga kita kalau kamu terlalu ngekang dia begitu. Ingat loh Bim, ayahnya belum tentu sebegitu nya sama Maudy."

"Udah ah diem rese."

Padahal batinnya. Iya sih bener juga, tapi aku memang terlalu takut kehilangan Maudy saat ini. Takut sekali malah, karena hanya dia yang selalu mampu buat aku tersenyum dan semangat, dia itu wanita kedua selain mama saat ini yang ada di hati aku, kalau papa sih masih kalah jauh buatku. Ah, tapi aku yakin Maudy enggak akan merasa keberatan sama sifat ku yang begini.

"Woii! Melamun kan. Udah sampai kita, tuh ada papa di depan. Haha tadi kamu enggak ijin sama papa kan?"

Bima menggeleng.

"Udah turun, bilang aja kalau emang mas yang suruh kamu ikut."

"Beneran mas bilang gitu juga nanti ya."

Rio hanya mengacungkan jempolnya.

"Kamu dari mana Bima?" Suara berat dari papanya sudah terdengar.

"Tadi aku ikut mas Rio nganter teman aku pa, mas Rio juga kok yang ngajak, lagian juga kan mas Rio canggung karena itu kan temannya Bima pa." Kali ini, kebohongannya berhasil dan lancar. Papanya diam tidak menjawab dan kembali masuk ke rumah.

"Gimana Bim? Papa marah?"

Setelah menyerahkan kunci mobilnya kepada penjaga rumah, Rio dan Bima masuk ke dalam rumah.

"Aman kok mas."

Kembali ke kamar masing-masing. Rio yang memang anak pertama, sangat di perlakukan berbeda, jika Bima terlalu banyak aturan di hidupnya, sementara Rio? Dari waktu sekolah juga tidak di perlakukan seperti Bima. Kenapa? Tentu semua itu memiliki alasan tersendiri untuk papa dan mamanya.

Jadi, Bima itu dulu pernah kejang saat panas tinggi. Dan dokter mengatakan hanya keajaiban yang bisa menolong Bima. Nah, setelah itu, papanya terlalu over, penjagaan Bima harus ekstra ketat. Tapi, menurut mamanya itu semua sudah kelewatan, karena apa? Bahkan saat usia Bima sudah menginjak 18 tahun sekarang ini, papanya masih saja menganggap Bima seperti anak kecil, yang tidak boleh keluar rumah lah, yang begini lah, begitu lah. Semua papanya lakukan hanya karena takut kehilangan anaknya itu. Jadi kesimpulannya Bima itu aslinya sangat mirip sifatnya dengan papanya. Terlalu takut kehilangan sesuatu yang dia punya. Sama ya? Kalau Rio, enjoy. Sifat Bima yang pemalu dan kaku, kalau orang-orang bilang sih dingin, padahal enggak hanya karena dia itu terlalu pemalu. Jadi, orang-orang mengira dia sombong. Dan itu jelas turunan sifat dari mamanya. Tapi itu dulu, sewaktu mamanya juga masih seusia Bima, setelah mengenal dunia luar, mamanya perlahan ya berubah, hanya perlu sering berinteraksi dengan orang-orang di luar, itu kuncinya.

"Bima, ayo turun nak. Makan malam, papa udah nunggu."

Teriak mamanya dari luar pintu kamarnya.

"Ya ma, sebentar lagi."

Masih asik sendiri dengan game yang ia mainkan.

Pindah ke pintu kamar satunya.

"Rio, turun makan malam."

Ceklek. Suara pintu udah ke buka.

"Ma, harusnya mama bisa kan suru salah satu pembantu kita buat manggil Bima sama Rio. Kenapa harus mama lah yang panggil." Menggandeng tangan mamanya.

"Enggak sabar aja mama rasanya." Kembali mengelus hangat tangan anaknya yang melingkar.

"Bima mana?" Setelah melihat hanya Rio yang ikut turun ke bawah.

"Sebentar lagi katanya pa."

Menarik kursi dan duduk di samping suaminya.

"Kebiasaan deh, kalau makan selalu di tunda-tunda." Menggerutu.

"Bi, tolong panggilkan Bima di kamar suru turun sekarang." Ucap papanya kepada pembantu yang menghidangkan makanan di meja makan.

"Iya tuan." Mengangguk sopan lalu berjalan ke arah kamar bima.

Setelah sampai di pintu kamar, pembantunya mendengar suara Bima yang tertawa cekikikan. Entah apa yang ia perbuat di dalam kamar selain bermain game.

Mengetuk pintu.

"Den Bima, suru papa nya turun sekarang."

Belum ada jawaban.

"Den, den Bima." Kembali mengetuk, dan berulang-ulang. Ternyata Bima sedang menggunakan earphone. Pantas ia tak mendengar. Suara pembantunya terlalu lembut sih.

Turun kembali dan menghadap majikannya.

"Maaf tuan, den Bima enggak mendengar kalau bibi panggil."

"Ngapain dia sih ma sebenarnya. Ya udah bi, makasih ya. Bibi kembali ke dapur aja." Melihat ke arah tangga, belum juga muncul Bima.

"Tadi mama panggil Bima nyahut enggak sih ma?" Mulai deh kan papanya.

"Iya dia jawab kok pa, Bima bilang sebentar lagi. Mungkin lagi di kamar mandi, makannya enggak dengar pas bibi manggil."

Mencoba menetralisir keadaan.

Tak sabar, papanya langsung berdiri dan berjalan menaiki tangga, ia sendiri yang akan memanggil Bima. Sungguh ketat peraturan di rumah ini, jika waktunya makan ya harus makan, tidur ya tidur. Begitu juga dengan peraturan yang lain. Semua harus tepat waktu, dan itu lah sebabnya kenapa papanya selalu sukses dalam menjalankan bisnis, tegas dan On time.

"Bima!!" Berteriak dan menggedor pintu kamarnya. Bima masih asik bermain game dengan menggunakan earphone.

Ternyata pintu kamarnya tidak di kunci, langsung saja papanya masuk.

"Bima!!" Bentaknya dengan suara yang menggema di kamar.

Bima yang masih duduk di atas tempat tidur, langsung tersentak.

"Papa." Bergetar. Takut, iya Bima takut kalau papanya marah.

"Semua nunggu di meja makan, hanya nunggu kamu. Kamu disini malah tenang-tenang aja, papa udah bilang kan sama kamu, kalau waktunya makan ya makan!" Masih dengan suara yang meninggi.

"Maaf pa." Menunduk.

"Turun kamu sekarang, sini Handphone kamu."

"Jangan pa. Iya ini aku simpan."

"Bima!!" Kembali membentak. Berjalan dan merebutnya dari tangan Bima.

"Pa." Tidak perduli dan melangkah keluar dengan membawa ponsel miliknya.

Dengan langkah yang malas Bima menuruni anak tangga.

Kalau papa baca pesan yang ada di ponsel aku gimana? Bakal ketahuan aku, ah!!

Bima menarik kursi dan siap untuk duduk. Rasanya untuk makan ia juga sudah tidak *****. Rio hanya meliriknya, ia tau pasti ponsel yang dibawa papanya tadi adalah ponsel adiknya.

Kasian kamu, tapi salah kamu sendiri sih. Udah tau papa begitu masih aja enggak bisa pahami. Nurut gitu loh Bim, nurut. Enggak bisa banget ngambil hati papa. Manja dikit, terus minta pasti di kasih papa.

Bima hanya mengaduk-aduk makanannya dengan sendok, untuk memasukan sesuap nasi pun ia malas.

"Bima, di makan makannya." Papanya langsung melirik, kan sudah di bilang jangan ada yang berbicara ketika makan, kecuali papanya sendiri yang melakukan. Tidak adil ya, bahkan sangat.

Bima hanya diam tak menjawab. Kali ini ia berusaha membuka mulutnya dan menyuapkan nasi ke mulutnya sendiri.

Setelah selesai makan, tanpa berkata lagi papanya bangkit dari duduknya.

"Pa." Panggilnya dengan setengah merengek.

"Ponsel Bima pa."

Nah dikit lagi Bim, rayu lah rayu, pasti di kasih papa. Batin Rio memberi semangat.

Berhenti melangkah dan berbalik.

"Seminggu." Hanya itu yang papanya ucapkan.

Yah, gagal deh Bim.

Menunduk tapi sesekali mencuri pandang raut wajah adiknya.

"Ma." Menatap dengan wajah yang melas.

Hanya helaan nafas yang menjadi jawaban dari mamanya.

"Jangan panggil mas Bim, mas enggak berani." Tau saja dia kalau kali ini Bima akan minta bantuannya.

Bima pasrah, pasrah saat ini. Rumah yang sangat besar dan di penuhi penjaga, tidak ada teman, tidak ada ponsel.

Aku harus apa sekarang? Dan, kalau Maudy nelpon gimana? Mama beneran enggak mau bantu aku kali ini. Kalau aku nekat memohon pasti papa akan tetap dengan pendiriannya. Bahkan bisa ditambah jadi satu bulan.

Bima kembali berjalan masuk ke kamar. Menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Berbagai macam opini masuk ke dalam pikirannya, dan tak lama ia terlelap dengan TV beserta lampu yang masih menyala.

Ia kembali terbangun tetap jam 11 malam. Berjalan menuju meja kamar, dan meneguk habis satu gelas air.

Kemudian ia keluar kamarnya, melihat lampu kamar mas nya masih menyala. Itu tandanya sang pemilik kamar belum tidur.

"Mas, mas." Mengetuk pintu berulang-ulang.

"Apa sih Bim?" Membuka pintu kamarnya.

"Mas, aku pinjam ponsel kamu sebentar, aku mau kasih kabar ke Maudy kalau ponsel aku disita papa." Merengek meminta bantuan.

"Tolong lah mas."

"Huh." Menghela nafas berat. "Masuk."

Akhirnya, batin Bima.

"Kodenya mas."

"Tanggal lahir mas." Tidak mengalihkan pandangannya dari film Box Office kesukaannya.

Dengan cepat Bima mengetik pesan. Untungnya ia hapal nomor milik Maudy.

"Sayang, ini aku Bima. Handphone di sita papa selama seminggu karena tadi aku buat salah. Jangan kirim pesan atau menghubungi nomor aku dulu ya. Ini nomor mas Rio, jangan di simpan!! Aku pasti bakal rindu kamu. Salam cinta Bima, emuah."

Langsung centang dua, bahkan nampak jika sudah di baca oleh Maudy, wah berarti Maudy juga belum tidur.

Ting. Bunyi pesan masuk.

"Terlambat Bim!" Maudy membalas, dengan emoticon menangis.

"Maksudnya, terlambat apa sayang?"

Bima panik.

"Aku udah hubungin nomor kamu, bahkan berkali-kali."

Gimana ini? Kalau di baca papa gimana, ah!!!

Panik sendiri, bingung sendiri, jelas Rio tak perduli. Hanya fokus dengan tontonannya.

"Ya udah, kamu tidur aja ya, udah malam, aku juga mau tidur, ini mau aku kembalikan sama mas Rio. Semoga aja papa enggak ada niatan buka pesan aku."

"Iya, Hem bilang makasih ya sama mas Rio udah ngasih pinjam ponselnya ke kamu."

Jelas tidak akan Bima sampaikan, mana mungkin lah. Padahal harusnya ya di sampaikan, dasar Bima.

"Nih mas. Makasih ya."

Menyerahkan kembali ponsel milik Rio.

"Udah gitu aja? Enggak ada acara tangis tangisan?"

"Ini mau nangis, tapi tunggu masuk kamar dulu." Berjalan keluar kamar.

"Dasar bucin!" Sambil menggelengkan kepalanya.

_ _

"Ki, Bima udah datang belum?" Melihat ke sekeliling sekolah.

"Belum ada keliatan sih, kenapa?" Tanpa mengalihkan pandangannya dari kaca kecil yang selalu ia bawa. Jelas Kiki berbeda dengan Maudy, Kiki adalah orang yang selalu memperhatikan penampilannya setiap waktu, terutama pada wajahnya. Walau bagaimanapun, tetap saja pesona Maudy selalu mengalahkan Kiki. Bening gimana gitu.

"Kacaan Mulu, kayak ada yang naksir aja."

"Sstt. Berisik!"

"Eh, kenapa kamu ninggalin aku waktu di rumah Bima? Tanpa pamit lagi. Lain kali enggak mau ah pergi kalau gitu." Akting marah ni ceritanya.

"Maaf lah Maudy ku sayang. Kan, kem-"

"Yang boleh panggil Maudy sayang cuma aku ya!" Wah yang ditunggu tiba. Maudy langsung menoleh saat namanya disebut.

"Ah bucin, bucin, bucin!!" Kiki menggerutu.

Untung ada Bima juga sih, bisa ngalihkan pembicaraan. Jujur aja , aku kurang suka sama papanya.

"Bima?" Wajah cerah saat melihat Bima tak mampu Maudy tutupi. Tampaknya ia sangat khawatir tak mendengar kabar Bima walau hanya dengan hitungan jam.

"Cie senang ya liat aku?" Menggoda Maudy.

"Iya, aku khawatir tau. Kirain kamu marah enggak mau balas pesan aku."

"Emang."

"Benar marah sama aku?"

"Enggak lah, kita duduk disana ya?" Menunjuk salah satu kursi kayu yang ada di taman sekolah.

Berjalan meninggalkan Kiki yang masih sibuk dengan wajah nya di depan kaca.

"Yah, aku ditinggal." Setelah melihat tinggal ia seorang diri.

"Kenapa sampai bisa di sita papa sih Bim?"

Kemudian duduk.

"Iya." Kemudian Bima menceritakan kejadian tadi malam, ia mengakui kalau memang ia lah yang salah.

"Ya udah. Enggak apa, nanti kan bakal di kembalikan papa kamu."

Kiki melihat Maudy yang berbincang dengan Bima, tertawa lepas dan itu membuatnya kembali mengingat perkataan om Adi.

Kalau Maudy mendengar dan tau bahwa papanya bilang, sangat senang jika suatu waktu memiliki menantu seperti ku, apa lagi kalau orang nya adalah aku. Ia akan merasa sangat senang, bagaimana perasaan Maudy nantinya. Tapi aku pastikan semua akan aku tutup rapat-rapat. Dan untungnya kemarin papa nelpon kalau aku harus segera pulang karena papa udah pulang dari luar kota, bisa menyelamatkan aku dari situasi yang tidak aku suka. Aku enggak suka aja, kalau ada orang yang apa-apa selalu memandang materi. Huft, aku doakan lah semoga Maudy dan Bima bisa langgeng.

Batin Kiki, sambil berjalan mendekat ke arah Maudy dan Bima.

Memang sih papanya Bima bilang akan senang jika punya menantu seperti Kiki, dan anaknya bukan hanya Bima. Tapi Kiki yakin, arah perkataannya jelas mengarah kalau ia harus bersama Bima. Bahkan ia selalu menyinggung masalah itu ketika bicara kemarin, tidak ada menyebut nama Rio sekalipun. Bukan kah itu maksudnya sudah jelas ia bermaksud menjodohkan Bima dengan Kiki suatu waktu.

Itu yang membuat Bima tidak suka dengan sifat papanya. Yang dipikirkan hanya harta dan harta. Tidak pernah memikirkan perasaan anaknya.

Bel berbunyi tanda pelajaran akan di mulai, Kiki dengan buru-buru mengajak Bima dan Maudy masuk ke kelas. Karena guru di mata pelajaran pertama terkenal killer. Takut telat sedetik saja, bisa di hukum.

_-

Terpopuler

Comments

🖤Rima Edi🖤

🖤Rima Edi🖤

terlalu sayang

2022-03-19

1

Putrii Marfuah

Putrii Marfuah

bapaknya terlalu posesif, anak jadi minder gak punya kepercayaan diri. kasihan Bima

2021-10-12

0

KumiKimut

KumiKimut

lanjut

2021-09-20

1

lihat semua
Episodes
1 Pengenalan tokoh
2 Kunjungan pertama
3 Keegoisan papa
4 Berkunjung kerumah Bima
5 Hukuman untuk Bima
6 Air mata Maudy
7 Menjauhi Bima
8 Peluk aku
9 Suasana baru
10 Bapak Adi Nugroho
11 Hadir ke acara tunangan
12 Kabar duka
13 Kebohongan Maudy
14 Aku cinta kamu
15 Menjadi remaja sesungguhnya
16 Gara-gara mimpi
17 Lagi-lagi Bima
18 Bala bantuan untuk Bima
19 Hanya milikku
20 Mencoba berdamai dengan papa
21 studi tour
22 studi tour 2
23 Maafkan aku ayah
24 Tangis di perpisahan
25 Hari tanpa Bima
26 Apa ini kejutan?
27 Permintaan Bima
28 Kado terindah
29 Malam terakhir Maudy
30 Perpisahan vs Pernikahan
31 Kehidupan di luar negeri
32 Aku bosan
33 Hari yang di tunggu
34 Akibat jual mahal
35 Penuh dengan drama
36 Penuh dengan drama part 2
37 Bima, aku rindu
38 Apakah ini perpisahan?
39 Bukan Bima
40 Kabar baik atau duka
41 Bertemu lagi
42 Pelukan hangat
43 Pelukan hangat 2
44 Terimakasih kabut
45 Pertunangan yang mendadak
46 Kesakitan ini nyata
47 Kecemburuan!
48 Perasaan mama
49 Kemurkahan papa
50 Kemurkahan papa 2
51 Selamat tinggal negara persinggahan
52 Bukan kejutan
53 Luna mati kutu
54 Scandal atau sandal?
55 Aku juga sudah menolak
56 Masih tentang sandal
57 Lamaran???
58 Semuanya berjuta-juta?
59 Akhirnya aku di lamar
60 Berkunjung kembali
61 Maaf
62 Balas dendam
63 Balas dendam 2
64 Nikah???
65 Jadi malam itu sama-sama mabuk
66 Aku mau nikah
67 Jadi, Ilham itu kucing??
68 Datang ke pernikahan mantan
69 Fitting baju
70 Curiga
71 Haruskah batal nikah?
72 Papa setuju??
73 Tentang papa
74 Tiga hari lagi
75 Motor baru untuk Tisha
76 Sudah sah!!
77 Siang pertama bukan malam pertama
78 Siapa Winda?
79 Bulan madu
80 Bulan madu 2
81 Bulan madu 3
82 Emosi Bima
83 Dia istriku!
84 Gara-gara mobil
85 Kenapa harus ada dia??
86 Salah siapa?
87 Harus patuh
88 Kamar baru
89 Sensitif
90 Maudy jatuh sebuah keberuntungan
91 Berita gembira seluruh karyawan
92 Kelicikan Bima
93 Sun dan Ilham
94 Resepsi
95 Ada dua janin
96 Ayah sakit
97 Kemana Kiki?
98 Pergi atau tidak
99 Bima tau semuanya
100 Wanita penganggu
101 Bima hilang
102 Tragedi kecelakaan pesawat (Bima di temukan)
103 Doa untuk Bima
104 Kebaikan keluarga bapak Adi
105 Bima mulai pulih
106 Kepulangan Bima
107 Jangan memaksakan keadaan
108 Bima mulai panik
109 Aku cemburu
110 Edi si rambut klimis
111 Sembuh total
112 Baby Wini
113 Hari pertama di kantor
114 Hari pertama di kantor 2
115 Acara tujuh bulan
116 Bimbang
117 Pulang kerumah ibu
118 Terpaksa tidur di hotel
119 Harusnya Revan ikut
120 Kenapa semua lelaki sama?
121 Siapa yang salah?
122 Usaha Bima
123 Drama untuk mertua
124 Hantunya Bima
125 Jadi begitu
126 Kabar duka
127 Hubungan rumit
128 Hubungan rumit 2
129 Hubungan rumit 3
130 Bima sakit
131 Baby Endah dan Gio
132 Revan atau Niko?
133 Resiko seorang papa
134 Siapa R?
135 Orang baik
136 Kenangan membuat sakit
137 Aku milikmu
138 Kedua pasangan bulan madu
139 Selamat jalan mantan
140 Bahagia! Finally
141 Bonus chapter
142 Haiiiiii ada yang baru niiihh
Episodes

Updated 142 Episodes

1
Pengenalan tokoh
2
Kunjungan pertama
3
Keegoisan papa
4
Berkunjung kerumah Bima
5
Hukuman untuk Bima
6
Air mata Maudy
7
Menjauhi Bima
8
Peluk aku
9
Suasana baru
10
Bapak Adi Nugroho
11
Hadir ke acara tunangan
12
Kabar duka
13
Kebohongan Maudy
14
Aku cinta kamu
15
Menjadi remaja sesungguhnya
16
Gara-gara mimpi
17
Lagi-lagi Bima
18
Bala bantuan untuk Bima
19
Hanya milikku
20
Mencoba berdamai dengan papa
21
studi tour
22
studi tour 2
23
Maafkan aku ayah
24
Tangis di perpisahan
25
Hari tanpa Bima
26
Apa ini kejutan?
27
Permintaan Bima
28
Kado terindah
29
Malam terakhir Maudy
30
Perpisahan vs Pernikahan
31
Kehidupan di luar negeri
32
Aku bosan
33
Hari yang di tunggu
34
Akibat jual mahal
35
Penuh dengan drama
36
Penuh dengan drama part 2
37
Bima, aku rindu
38
Apakah ini perpisahan?
39
Bukan Bima
40
Kabar baik atau duka
41
Bertemu lagi
42
Pelukan hangat
43
Pelukan hangat 2
44
Terimakasih kabut
45
Pertunangan yang mendadak
46
Kesakitan ini nyata
47
Kecemburuan!
48
Perasaan mama
49
Kemurkahan papa
50
Kemurkahan papa 2
51
Selamat tinggal negara persinggahan
52
Bukan kejutan
53
Luna mati kutu
54
Scandal atau sandal?
55
Aku juga sudah menolak
56
Masih tentang sandal
57
Lamaran???
58
Semuanya berjuta-juta?
59
Akhirnya aku di lamar
60
Berkunjung kembali
61
Maaf
62
Balas dendam
63
Balas dendam 2
64
Nikah???
65
Jadi malam itu sama-sama mabuk
66
Aku mau nikah
67
Jadi, Ilham itu kucing??
68
Datang ke pernikahan mantan
69
Fitting baju
70
Curiga
71
Haruskah batal nikah?
72
Papa setuju??
73
Tentang papa
74
Tiga hari lagi
75
Motor baru untuk Tisha
76
Sudah sah!!
77
Siang pertama bukan malam pertama
78
Siapa Winda?
79
Bulan madu
80
Bulan madu 2
81
Bulan madu 3
82
Emosi Bima
83
Dia istriku!
84
Gara-gara mobil
85
Kenapa harus ada dia??
86
Salah siapa?
87
Harus patuh
88
Kamar baru
89
Sensitif
90
Maudy jatuh sebuah keberuntungan
91
Berita gembira seluruh karyawan
92
Kelicikan Bima
93
Sun dan Ilham
94
Resepsi
95
Ada dua janin
96
Ayah sakit
97
Kemana Kiki?
98
Pergi atau tidak
99
Bima tau semuanya
100
Wanita penganggu
101
Bima hilang
102
Tragedi kecelakaan pesawat (Bima di temukan)
103
Doa untuk Bima
104
Kebaikan keluarga bapak Adi
105
Bima mulai pulih
106
Kepulangan Bima
107
Jangan memaksakan keadaan
108
Bima mulai panik
109
Aku cemburu
110
Edi si rambut klimis
111
Sembuh total
112
Baby Wini
113
Hari pertama di kantor
114
Hari pertama di kantor 2
115
Acara tujuh bulan
116
Bimbang
117
Pulang kerumah ibu
118
Terpaksa tidur di hotel
119
Harusnya Revan ikut
120
Kenapa semua lelaki sama?
121
Siapa yang salah?
122
Usaha Bima
123
Drama untuk mertua
124
Hantunya Bima
125
Jadi begitu
126
Kabar duka
127
Hubungan rumit
128
Hubungan rumit 2
129
Hubungan rumit 3
130
Bima sakit
131
Baby Endah dan Gio
132
Revan atau Niko?
133
Resiko seorang papa
134
Siapa R?
135
Orang baik
136
Kenangan membuat sakit
137
Aku milikmu
138
Kedua pasangan bulan madu
139
Selamat jalan mantan
140
Bahagia! Finally
141
Bonus chapter
142
Haiiiiii ada yang baru niiihh

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!