Keegoisan papa

Bima sampai di rumah sudah jam 5 sore. Ia sengaja meminta turun di persimpangan, malas pasti bakal banyak pertanyaan nantinya.

Sesampainya di gerbang. Satpam dan bodyguard sudah menyambutnya. Pasti papa udah pulang, pikirnya. Tersenyum ramah lalu masuk kedalam rumah. Rumah yang paling megah dan mewah di antara rumah yang lain di daerahnya.

Tap.. tap.. Suara langkah kakinya terdengar jelas, hening seperti tidak ada orang.

"Dari mana kamu!!" Bentak sang papa. Ternyata tanpa Bima sadari papa dan mamanya sudah menunggunya di sofa, tapi Bima tidak melihatnya.

"Dari rumah temen pa, belajar kelompok." Terpaksa berbohong, dari pada tidak selamat.

"Belajar kelompok ya? Sampai sesore ini?"

Menunduk, tidak berani menatap papanya.

"Lalu kenapa mama kamu telfon tidak kamu angkat?" Berdiri di hadapan Bima, dan melipat kedua tangannya.

"Tadi ponsel aku silent kan pa. Kan lagi belajar, jadi aku enggak tau."

"Bima. Dengar papa, mulai sekarang kamu harus kembali di antar jemput oleh supir, tidak ada alasan! Pilih di antar supir, atau homeschooling?"

"Pa." Mamanya mencoba membela Bima.

"Ma, jangan terus-terusan membela Bima. Liat, ini semua karena mama yang mau kan, bebasin Bima. Taunya apa? Dia ngelunjak ma!! Papa enggak mau dia salah bergaul nantinya." Masih terus menyudutkan Bima.

"Terserah papa!" Berlari menuju kamarnya. Dan mencampakkan tasnya secara asal.

Berdiri di balkon kamarnya, menatap langit senja.

Andai, andai aku terlahir dari keluarga biasa, seperti Maudy, aku rasa lebih asik. Aku hidup bergelimang harta, meski itu harta orang tuaku. Tapi aku tersiksa, tidak boleh bergaul, tidak boleh ini, tidak boleh itu. Semua, semua harus di atur. Kapan sih, aku bisa ngerasain seperti yang lain. Sepertinya papa enggak berlaku begitu sama mas Rio.

Bima menjadi anak yang serba salah. Berbeda dengan anak orang kaya yang lain, papanya mau semua permintaan nya di ikutin.

"Bima?" Pintu kamarnya terbuka, ia tau pasti mamanya lah yang akan mengejarnya ke kamar.

"Mama tau kamu juga ingin bermain, tapi Bim, kamu kan tau papa kamu gimana? Begini saja, jika kamu mau belajar kelompok, atau merasa sepi. Kamu boleh bawa teman kamu kesini, belajar disini." Bima langsung menoleh.

"Mama serius?"

Mengangguk dan tersenyum.

"Tapi ma, papa gimana?" Kembali murung.

"Nanti mama yang bilang. Ya udah, sekarang kamu mandi, nanti turun ya kita makan malam di bawah."

Hari-hari yang membosankan menurut Bima. Belajar, makan, tidur. Walaupun semua fasilitas lengkap, kolam renang juga ada, tapi tanpa teman bukankah itu juga akan terasa sunyi?

Ponselnya berdering, ia melihatnya setelah selesai mandi.

Maudy?

Bima mengurungkan niatnya untuk menjawab. Sungguh, setelah ibunya bilang kalau Maudy akan keluar negeri setelah tamat dari SMA, ada sedikit niatan Bima untuk menjauh. Tapi, jujur rasa sayangnya ini tak bisa di bohongi, walaupun masih di bilang cinta monyet, tapi menurut Bima tidak, dia tulus menyayangi Maudy.

Bima kembali meletakkan ponselnya, dan turun ke bawah untuk bergabung bersama keluarga.

Di rumah ini, Bima akrab dengan mas nya, yaitu Rio Senta Nugroho. Umur mereka berjarak delapan tahun, dulu sebelum Rio memegang perusahaan papanya seperti saat ini. Bima masih merasa di rumah ini tidak terlalu membosankan, karena masih ada masnya. Tetapi, setelah Rio sudah fokus dan memegang salah satu perusahaan papanya, untuk berbicara juga tidak sempat lagi. Rio selalu pulang larut malam, dan kembali bekerja pagi hari. Tentu itu semua kemauan papanya.

"Mas? Papa mana?" Bertanya pada Rio yang sedang fokus melihat laptop. Ya itulah, melanjutkan pekerjaannya di rumah. Bima yang bayangin aja udah pusing.

"Di ruang kerja, kenapa?"

Duduk di samping Rio.

"Kamu habis di marahin papa ya?" Tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.

Bima memainkan pipinya, menggelembung kan dan mengempiskan.

Rio tau kalau Bima saat ini mencari perhatian, agar ia mau mendengarkan Bima cerita.

"Kenapa?" Akhirnya mengalihkan pandangannya, kini menatap Bima yang duduk di sampingnya.

"Mas, salah enggak sih kalau aku itu ingin bergaul dan tau dunia luar?"

Nah kan bener, baru mau bicara dia.

"Enggak sih, tapi kan kamu tau papa gimana."

Selalu aja bela papa! Kembali diam.

"Mas, aku ada suka sama cewek."

"Jangan pacaran dulu Bima!"

Nah kan, sama aja sama papa!

"Mas sibuk terus ya, udah enggak ada waktu lagi buat Bima ajak cerita." Berdiri dan melangkah meninggalkan Rio yang berkutat dengan pekerjaannya.

"Bima!" Panggilnya.

"Bima!" Panggilan kedua.

"Ini mas udah Selesai, ya udah sini kalau mau cerita." Yang ketiga. Jelas senyum mengembang di wajah Bima.

"Hehe."

"Jangan senyam-senyum. Mau cerita apa? Jangan bilang kalau kamu udah punya pacar?" Mengangguk.

"Bima? Mas aja belum punya, masak kamu duluan sih?"

"Mas, jangan kencang-kencang, nanti kedengaran papa!" Melihat ke kanan dan ke kiri.

"Terus, siapa pacar kamu?" Berbicara dengan suara pelan.

"Satu kelas aku mas, cantik anaknya, pinter lagi. Cuma buat semangat belajar aja, tapi aku beneran sayang sih."

"Coba mas mau lihat." Masih berbisik.

"Handphone aku di kamar mas. Gimana kalau besok aku ajak teman aku kesini? Kata mama boleh kan, nah nanti aku kasih tau yang mana orangnya. Mas kan kalau sabtu pulang cepat."

Rio tampak berpikir.

"Ok. Ada enggak temannya yang cantik?"

"Ada kok mas, nanti aku kenalin ya. Pasti dia bakal ikut."

Rio mengangguk setuju.

"Kalian ngapain bicara sambil bisik-bisik?" Suara yang sangat mengagetkan. Sontak Bima dan Rio menoleh, benar saja papanya sudah berdiri di belakang mereka. Sejak kapan kah papanya disana? Apa dia nguping? Ah enggak asik ni pak Adi.

"Enggak kok pa, lagi ngajarin Bima tentang bekerja di perusahaan."

"Untuk apa? Dia itu pemalu, apa bisa jadi pemimpin, tegas juga enggak. Dia bakal jadi sekertaris kamu nanti Rio. Biar belajar sama kamu, kalau udah bisa dia bakal pimpin perusahaan yang lain."

Jleb. Sakit hati Bima mendengarnya. Bukan masalah jabatan, terserah mau di jadiin tukang sapu jalan juga terserah, tapi jangan di jengkali begitu, pikir Bima.

Bakal aku buktikan pa! Aku begini kan karena papa sejak dulu tidak memperbolehkan aku keluar rumah, alhasil aku malu untuk berorganisasi seperti orang pada umumnya. Tapi aku bakal buktiin sama papa kalau aku bisa.

"Udah ke meja makan sekarang! Mama kalian udah nunggu disana. Kamu Rio, udah siap meriksa email yang papa kirim?"

"Sudah kok pa, ini tuh semua udah aku periksa ya, tinggal papa ACC aja, udah bener belum."

Dan pembahasan panjang kembali terdengar di telinga Bima. Bosan, jelas lah jangan di tanya.

Bima langsung pergi lebih dulu meninggalkan papanya dan juga Rio.

"Ma."

"Iya sayang, kenapa?"

"Tadi mama bilang kan, kalau aku boleh bawa teman kesini?" Mamanya mengangguk.

"Tapi teman Bima cewek ma, yang laki-laki enggak ada. Apa boleh ma? Kalau boleh Bima besok ajak mereka kesini."

"Boleh kok sayang. Tapi beneran cewek semua? Enggak ada yang laki-laki?"

Masih heran, takut mungkin kalau anaknya enggak normal, enggak tau aja kalau cewek itu adalah pacarnya.

"Nanti Bima ajak deh yang lain ma."

"Iya udah. Papa mana sih kok lama?"

"Masih ba-"

"Nah itu papa, kenapa lama sih pa? Tadi katanya lapar."

"Iya bahas kerjaan sedikit sama Rio."

Seharusnya aku yang di manja bukan Rio! Huh!

Meja makan terasa hening, memang begitu lah peraturan di rumah ini, ketika makan di larang berbicara, setelah selesai baru lah boleh, meskipun itu hal penting sekalipun. Karena bagi papanya, ketika makan waktunya perut mencerna dengan baik, jangan di gabungkan untuk berpikir, itu akan berpengaruh pada kesehatan, salah satunya kehilangan ***** makan.

"Ma, Bima duluan ya." Pamit setelah menghabiskan makanannya.

"Duduk dulu!" Ucap papanya dingin.

Mau apa lagi sih, batinnya.

"Udah kamu pikirkan tawaran papa tadi?" Menatap Bima dengan serius.

Itu bukan pilihan, bukan tawaran. Tapi kenyataan, apa sih, seharusnya bertanya tuh begini, Bima apa kamu siap nerima kenyataan? Itu baru benar. Masih berbicara dalam hati. Mana mungkin ia berani bicara langsung.

"Bima papa bicara sama kamu, kamu enggak bisa jawab?"

"Bima mau, tapi kalau belajar kelompoknya disini boleh kan pa?" Tawar menawar di mulai.

Rio merasa tidak percaya kalau Bima mulai berani melakukan hal itu. Sontak ia menatap Bima.

"Terserah, asal memang niatnya belajar."

Yes yes!!

"Beneran pa?" Untuk pertama kalinya keinginannya di dengar oleh papanya.

Papanya mengangguk. Mamanya pun tersenyum.

Jelas, padahal hal ini sudah lebih dulu mamanya bicarakan, tentu tak semudah saat Bima meminta ijin, masih ada sedikit perdebatan. Tapi mamanya mengancam kalau tidak di ijinkan ia akan membiarkan Bima untuk keluar rumah. Tentu papanya lebih tidak setuju, dan akhirnya memilih pilihan yang pertama.

Bima langsung berlari ke kamarnya, suasana hatinya sudah tidak mendung. Dengan cepat ia mengetik pesan, dan mengajak Kiki juga Maudy ke rumahnya besok, setelah pulang sekolah.

"Tapi ajak teman laki-laki ya, terserah kalian, asal jangan yang urak-urakan." Pesan terkirim.

Bima berbaring di tempat tidurnya, tangannya ia selipkan di atas kepala, sebagai pengganti bantal, semetara ponsel ia letakan di dada.

Ting. Tanda pesan masuk.

"Bim, aku mau bicara sama kamu."

Pesan singkat yang di kirim Maudy.

Panggilan masuk langsung Bima terima. Karena suasana hatinya saat ini sedang gembira, bahkan ia melupakan niatnya, yang sempat ingin menjauhi Maudy.

"Iya?" Memiringkan posisi tubuhnya.

"Kamu kenapa sih Bim? Semenjak bicara sama ibu kamu jadi beda."

Langsung ke intinya loh Maudy kalau bicara.

"Enggak, perasan kamu aja mungkin."

Mengelak lagi.

"Hem. Kamu udah makan?"

"Udah kok baru aja, kamu sendiri?"

Kok enggak manggil sayang sih. Batin Maudy di sebrang telfon.

Tapi Maudy mencoba mengesampingkan semua itu, saat ini selagi Bima masih mau bicara dengannya berarti tidak ada masalah. Toh, sebenarnya bukan hanya Bima yang terlalu cinta, Maudy juga, hanya saja perlakuannya berbeda, Maudy lebih sering menutupi rasa cemburunya, nah kalau Bima, jangan di tanya.

Obrolan berlanjut hingga larut, dan masing-masing dari mereka sudah menyatakan bahwa sudah mengantuk.

--

Keesokan paginya Bima berangkat benar-benar di antar oleh supir. Tentu itu mengundang tatapan dari para siswa yang lain, bahkan mobilnya jauh lebih mewah dari mobil yang sering di pakai siswa dan siswi di sekolah ini.

"Di antar supir sekarang Bim?" Bima menoleh, ternyata Andi yang menegurnya.

"Iya." Masih terus berjalan, Andi mencoba mensejajarkan langkahnya.

"Bim, kamu sayang enggak sama Maudy?" Langkahnya langsung terhenti, melirik Andi dengan tajam.

"Aku hanya bertanya kok Bim, kalau kamu keberatan menjawab yang enggak masalah. Soalnya aku juga suka sama Maudy, sejak lama!" Menggunakan nada penekanan di akhir kalimat. Ini yang membuat Bima malas untuk berinteraksi ke sembarang orang, hanya membuat sakit hati.

Kali ini, Bima yang terdiam dan Andi meninggalkan Bima yang mematung. Andi tersenyum penuh kemenangan.

Sabar Bim, toh buktinya walaupun dia bilang sejak lama, tetap kamu yang menang. Berbicara pada dirinya sendiri, memberi semangat untuk dirinya sendiri.

"Bim, udah sampai? Kok cepat, biasanya lama?" Tegur Kiki yang melihat Bima duduk sendiri.

"Iya, di antar supir." Menunduk, dan memandang kakinya yang ia ayunkan.

"Wah, naik jabatan dong, kalau gitukan beneran kamu sekarang anaknya pak Adi Nugroho." Tertawa di atas penderitaan Bima pagi ini.

"Enggak lucu lah Ki."

"Hei." Langsung duduk di samping Bima. Tapi Bima hanya melirik sekilas lalu membuang pandangannya.

"Baru sampai?" Tanpa menoleh ia berbicara.

"Iya, kamu dari tadi ya Bim?"

"Enggak juga."

"Aku ke kelas duluan ya Dy, Bim." Kiki pamit, ia merasa tidak enak, dan yakin juga kalau saat ini Bima lagi memendam sesuatu. Dan hanya ingin berbicara berdua bersama Maudy.

"Bima, kenapa sih sayang?" Mencoba berbicara lembut, dengan penekanan di kata 'sayang' agar Bima menoleh.

"Ah Sayang. Kenapa sih semua orang nyebelin." Merengek seperti anak kecil, nah kan padahal baru di panggil sayang.

Bahagia sekali jika punya pasangan seperti ini, kalau marah tinggal di panggil sayang aja udah luluh.

"Siapa sayang?" Sengaja mengulang agar Bima mau cerita.

Akan aku panggil berulang-ulang, supaya Bima mau ngomong sebenarnya dia kenapa. Biar lah, bucin juga enggak apa.

"Ada yang suka sama kamu, tapi kenapa harus ngomongnya sama aku? Supaya apa? Aku cemburu gitu, ah!! Padahal tanpa dia bilang juga aku selalu cemburu." Memanyunkan bibirnya. Dengan geram Maudy menarik ujung bibirnya dan di goyangkan ke kanan ke kiri.

"Siapa sih orangnya? Kok nekat banget."

"Ah enggak mau bilangnya, bikin sakit hati tau enggak."

Harus aku panggil sayang lagi nih kayaknya. Biar mau ngomong.

"Sayang, ayo bilang sama aku, siapa yang bilang begitu?"

Satu, dua, tiga.

"Andi, Andi yang bilang gitu tadi pagi sama aku sayang. Bener ya aku enggak suka loh kamu deket-deket sama dia. Sekarang OSIS udah seluruhnya adik kelas yang megang, jadi enggak ada alasan kamu untuk dekat lagi sama dia, titik! Aku enggak suka, titik!"

Maudy tertawa terpingkal-pingkal.

"Kok ketawa sih?"

Tanpa menjawab perkataan Bima, Maudy langsung berdiri. Siap untuk menghajar Andi. Jangan di tanya, Maudy memang terkenal galak, tomboi lagi. Siap-siap ya Andi.

"Andi mana?" Datang ke kelas Andi dan bertanya dengan salah satu murid yang berdiri disana.

"Tadi udah datang sih, tapi ke toilet deh kayaknya, kenapa Dy?"

"Enggak apa. Ya udah makasih ya."

Bima yang penasaran mengikuti Maudy ke manapun ia melangkah.

Sampai di toilet, memang benar, ada Andi disana, lagi tertawa sama teman-temannya.

"Andi." Tersenyum melambaikan tangan.

Wah, lebih cerah lagi senyum Andi dari pada Maudy, sepertinya ia sangat gembira pagi ini, di sapa duluan lagi sapa pujaan hati. Pujaan hati orang maksudnya.

"Ya Dy, kenapa?" Berjalan mendekat.

Tanpa aba-aba, Maudy langsung menarik kerah baju Andi, memekik lehernya. Andi yang bingung juga gelagapan.

"Kamu bilang apa ke Bima? Maksud kamu apa? Kalau suka sama aku ya suka aja, kenapa kalau suka sama aku bilangnya ke orang lain? Kamu bilang Bima kayak banci, ternyata kamu ya yang banci!!" Mendorong Andi sekuat mungkin hingga ia terjungkal. Temannya langsung menolong, tak berani membalas. Maudy menatap satu persatu teman Andi, dengan tatapan penuh amarah.

Lalu, dimana Bima tadi?

Bima tersenyum dengan senangnya, melihat Andi di perlakukan seperti itu.

Untungnya toilet masih sepi, kalau rame bakal ada yang ngadu ke guru, pasti itu!!

Maudy pergi meninggalkan Andi yang masih terduduk di lantai. Berjalan kembali ke kelas. Dengan cepat Bima juga ikut.

"Sayang." Berlari kecil mengejar Maudy.

"Hem."

"Udah Bim. Kamu diem dulu jangan ngomong, aku lagi netral kan emosiku."

Bima langsung terdiam, tak berani menegur ataupun berbicara, manut saja lah, pikirnya.

Pelajaran berlangsung, hikmat semua murid memulai belajarnya dengan baik. Bel istirahat, dan tak terasa juga bel pulang sekolah berbunyi.

Inilah waktunya Maudy berkunjung ke rumah Bima untuk yang pertama kalinya. Tapi, ia bersikap santai, bahkan kaki dan tangannya tidak bergetar seperti Bima yang akan datang kerumahnya.

Kiki mengajak Maudy ikut bersamanya, karena hari ini Kiki tidak di antar supir. Ia membawa mobilnya sendiri, semetara Bima harus pulang bersama supirnya.

Hanya mereka berdua, tidak ada laki-laki yang di ajak. Yang terpenting sekarang, mereka memikirkan alasan apa yang akan di katakan ketika di tanya, kenapa hanya ada dua wanita yang datang.

 

___

Terpopuler

Comments

🖤Rima Edi🖤

🖤Rima Edi🖤

semangat thor

2022-03-18

1

lihat semua
Episodes
1 Pengenalan tokoh
2 Kunjungan pertama
3 Keegoisan papa
4 Berkunjung kerumah Bima
5 Hukuman untuk Bima
6 Air mata Maudy
7 Menjauhi Bima
8 Peluk aku
9 Suasana baru
10 Bapak Adi Nugroho
11 Hadir ke acara tunangan
12 Kabar duka
13 Kebohongan Maudy
14 Aku cinta kamu
15 Menjadi remaja sesungguhnya
16 Gara-gara mimpi
17 Lagi-lagi Bima
18 Bala bantuan untuk Bima
19 Hanya milikku
20 Mencoba berdamai dengan papa
21 studi tour
22 studi tour 2
23 Maafkan aku ayah
24 Tangis di perpisahan
25 Hari tanpa Bima
26 Apa ini kejutan?
27 Permintaan Bima
28 Kado terindah
29 Malam terakhir Maudy
30 Perpisahan vs Pernikahan
31 Kehidupan di luar negeri
32 Aku bosan
33 Hari yang di tunggu
34 Akibat jual mahal
35 Penuh dengan drama
36 Penuh dengan drama part 2
37 Bima, aku rindu
38 Apakah ini perpisahan?
39 Bukan Bima
40 Kabar baik atau duka
41 Bertemu lagi
42 Pelukan hangat
43 Pelukan hangat 2
44 Terimakasih kabut
45 Pertunangan yang mendadak
46 Kesakitan ini nyata
47 Kecemburuan!
48 Perasaan mama
49 Kemurkahan papa
50 Kemurkahan papa 2
51 Selamat tinggal negara persinggahan
52 Bukan kejutan
53 Luna mati kutu
54 Scandal atau sandal?
55 Aku juga sudah menolak
56 Masih tentang sandal
57 Lamaran???
58 Semuanya berjuta-juta?
59 Akhirnya aku di lamar
60 Berkunjung kembali
61 Maaf
62 Balas dendam
63 Balas dendam 2
64 Nikah???
65 Jadi malam itu sama-sama mabuk
66 Aku mau nikah
67 Jadi, Ilham itu kucing??
68 Datang ke pernikahan mantan
69 Fitting baju
70 Curiga
71 Haruskah batal nikah?
72 Papa setuju??
73 Tentang papa
74 Tiga hari lagi
75 Motor baru untuk Tisha
76 Sudah sah!!
77 Siang pertama bukan malam pertama
78 Siapa Winda?
79 Bulan madu
80 Bulan madu 2
81 Bulan madu 3
82 Emosi Bima
83 Dia istriku!
84 Gara-gara mobil
85 Kenapa harus ada dia??
86 Salah siapa?
87 Harus patuh
88 Kamar baru
89 Sensitif
90 Maudy jatuh sebuah keberuntungan
91 Berita gembira seluruh karyawan
92 Kelicikan Bima
93 Sun dan Ilham
94 Resepsi
95 Ada dua janin
96 Ayah sakit
97 Kemana Kiki?
98 Pergi atau tidak
99 Bima tau semuanya
100 Wanita penganggu
101 Bima hilang
102 Tragedi kecelakaan pesawat (Bima di temukan)
103 Doa untuk Bima
104 Kebaikan keluarga bapak Adi
105 Bima mulai pulih
106 Kepulangan Bima
107 Jangan memaksakan keadaan
108 Bima mulai panik
109 Aku cemburu
110 Edi si rambut klimis
111 Sembuh total
112 Baby Wini
113 Hari pertama di kantor
114 Hari pertama di kantor 2
115 Acara tujuh bulan
116 Bimbang
117 Pulang kerumah ibu
118 Terpaksa tidur di hotel
119 Harusnya Revan ikut
120 Kenapa semua lelaki sama?
121 Siapa yang salah?
122 Usaha Bima
123 Drama untuk mertua
124 Hantunya Bima
125 Jadi begitu
126 Kabar duka
127 Hubungan rumit
128 Hubungan rumit 2
129 Hubungan rumit 3
130 Bima sakit
131 Baby Endah dan Gio
132 Revan atau Niko?
133 Resiko seorang papa
134 Siapa R?
135 Orang baik
136 Kenangan membuat sakit
137 Aku milikmu
138 Kedua pasangan bulan madu
139 Selamat jalan mantan
140 Bahagia! Finally
141 Bonus chapter
142 Haiiiiii ada yang baru niiihh
Episodes

Updated 142 Episodes

1
Pengenalan tokoh
2
Kunjungan pertama
3
Keegoisan papa
4
Berkunjung kerumah Bima
5
Hukuman untuk Bima
6
Air mata Maudy
7
Menjauhi Bima
8
Peluk aku
9
Suasana baru
10
Bapak Adi Nugroho
11
Hadir ke acara tunangan
12
Kabar duka
13
Kebohongan Maudy
14
Aku cinta kamu
15
Menjadi remaja sesungguhnya
16
Gara-gara mimpi
17
Lagi-lagi Bima
18
Bala bantuan untuk Bima
19
Hanya milikku
20
Mencoba berdamai dengan papa
21
studi tour
22
studi tour 2
23
Maafkan aku ayah
24
Tangis di perpisahan
25
Hari tanpa Bima
26
Apa ini kejutan?
27
Permintaan Bima
28
Kado terindah
29
Malam terakhir Maudy
30
Perpisahan vs Pernikahan
31
Kehidupan di luar negeri
32
Aku bosan
33
Hari yang di tunggu
34
Akibat jual mahal
35
Penuh dengan drama
36
Penuh dengan drama part 2
37
Bima, aku rindu
38
Apakah ini perpisahan?
39
Bukan Bima
40
Kabar baik atau duka
41
Bertemu lagi
42
Pelukan hangat
43
Pelukan hangat 2
44
Terimakasih kabut
45
Pertunangan yang mendadak
46
Kesakitan ini nyata
47
Kecemburuan!
48
Perasaan mama
49
Kemurkahan papa
50
Kemurkahan papa 2
51
Selamat tinggal negara persinggahan
52
Bukan kejutan
53
Luna mati kutu
54
Scandal atau sandal?
55
Aku juga sudah menolak
56
Masih tentang sandal
57
Lamaran???
58
Semuanya berjuta-juta?
59
Akhirnya aku di lamar
60
Berkunjung kembali
61
Maaf
62
Balas dendam
63
Balas dendam 2
64
Nikah???
65
Jadi malam itu sama-sama mabuk
66
Aku mau nikah
67
Jadi, Ilham itu kucing??
68
Datang ke pernikahan mantan
69
Fitting baju
70
Curiga
71
Haruskah batal nikah?
72
Papa setuju??
73
Tentang papa
74
Tiga hari lagi
75
Motor baru untuk Tisha
76
Sudah sah!!
77
Siang pertama bukan malam pertama
78
Siapa Winda?
79
Bulan madu
80
Bulan madu 2
81
Bulan madu 3
82
Emosi Bima
83
Dia istriku!
84
Gara-gara mobil
85
Kenapa harus ada dia??
86
Salah siapa?
87
Harus patuh
88
Kamar baru
89
Sensitif
90
Maudy jatuh sebuah keberuntungan
91
Berita gembira seluruh karyawan
92
Kelicikan Bima
93
Sun dan Ilham
94
Resepsi
95
Ada dua janin
96
Ayah sakit
97
Kemana Kiki?
98
Pergi atau tidak
99
Bima tau semuanya
100
Wanita penganggu
101
Bima hilang
102
Tragedi kecelakaan pesawat (Bima di temukan)
103
Doa untuk Bima
104
Kebaikan keluarga bapak Adi
105
Bima mulai pulih
106
Kepulangan Bima
107
Jangan memaksakan keadaan
108
Bima mulai panik
109
Aku cemburu
110
Edi si rambut klimis
111
Sembuh total
112
Baby Wini
113
Hari pertama di kantor
114
Hari pertama di kantor 2
115
Acara tujuh bulan
116
Bimbang
117
Pulang kerumah ibu
118
Terpaksa tidur di hotel
119
Harusnya Revan ikut
120
Kenapa semua lelaki sama?
121
Siapa yang salah?
122
Usaha Bima
123
Drama untuk mertua
124
Hantunya Bima
125
Jadi begitu
126
Kabar duka
127
Hubungan rumit
128
Hubungan rumit 2
129
Hubungan rumit 3
130
Bima sakit
131
Baby Endah dan Gio
132
Revan atau Niko?
133
Resiko seorang papa
134
Siapa R?
135
Orang baik
136
Kenangan membuat sakit
137
Aku milikmu
138
Kedua pasangan bulan madu
139
Selamat jalan mantan
140
Bahagia! Finally
141
Bonus chapter
142
Haiiiiii ada yang baru niiihh

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!