Bima sampai di rumah sudah jam 5 sore. Ia sengaja meminta turun di persimpangan, malas pasti bakal banyak pertanyaan nantinya.
Sesampainya di gerbang. Satpam dan bodyguard sudah menyambutnya. Pasti papa udah pulang, pikirnya. Tersenyum ramah lalu masuk kedalam rumah. Rumah yang paling megah dan mewah di antara rumah yang lain di daerahnya.
Tap.. tap.. Suara langkah kakinya terdengar jelas, hening seperti tidak ada orang.
"Dari mana kamu!!" Bentak sang papa. Ternyata tanpa Bima sadari papa dan mamanya sudah menunggunya di sofa, tapi Bima tidak melihatnya.
"Dari rumah temen pa, belajar kelompok." Terpaksa berbohong, dari pada tidak selamat.
"Belajar kelompok ya? Sampai sesore ini?"
Menunduk, tidak berani menatap papanya.
"Lalu kenapa mama kamu telfon tidak kamu angkat?" Berdiri di hadapan Bima, dan melipat kedua tangannya.
"Tadi ponsel aku silent kan pa. Kan lagi belajar, jadi aku enggak tau."
"Bima. Dengar papa, mulai sekarang kamu harus kembali di antar jemput oleh supir, tidak ada alasan! Pilih di antar supir, atau homeschooling?"
"Pa." Mamanya mencoba membela Bima.
"Ma, jangan terus-terusan membela Bima. Liat, ini semua karena mama yang mau kan, bebasin Bima. Taunya apa? Dia ngelunjak ma!! Papa enggak mau dia salah bergaul nantinya." Masih terus menyudutkan Bima.
"Terserah papa!" Berlari menuju kamarnya. Dan mencampakkan tasnya secara asal.
Berdiri di balkon kamarnya, menatap langit senja.
Andai, andai aku terlahir dari keluarga biasa, seperti Maudy, aku rasa lebih asik. Aku hidup bergelimang harta, meski itu harta orang tuaku. Tapi aku tersiksa, tidak boleh bergaul, tidak boleh ini, tidak boleh itu. Semua, semua harus di atur. Kapan sih, aku bisa ngerasain seperti yang lain. Sepertinya papa enggak berlaku begitu sama mas Rio.
Bima menjadi anak yang serba salah. Berbeda dengan anak orang kaya yang lain, papanya mau semua permintaan nya di ikutin.
"Bima?" Pintu kamarnya terbuka, ia tau pasti mamanya lah yang akan mengejarnya ke kamar.
"Mama tau kamu juga ingin bermain, tapi Bim, kamu kan tau papa kamu gimana? Begini saja, jika kamu mau belajar kelompok, atau merasa sepi. Kamu boleh bawa teman kamu kesini, belajar disini." Bima langsung menoleh.
"Mama serius?"
Mengangguk dan tersenyum.
"Tapi ma, papa gimana?" Kembali murung.
"Nanti mama yang bilang. Ya udah, sekarang kamu mandi, nanti turun ya kita makan malam di bawah."
Hari-hari yang membosankan menurut Bima. Belajar, makan, tidur. Walaupun semua fasilitas lengkap, kolam renang juga ada, tapi tanpa teman bukankah itu juga akan terasa sunyi?
Ponselnya berdering, ia melihatnya setelah selesai mandi.
Maudy?
Bima mengurungkan niatnya untuk menjawab. Sungguh, setelah ibunya bilang kalau Maudy akan keluar negeri setelah tamat dari SMA, ada sedikit niatan Bima untuk menjauh. Tapi, jujur rasa sayangnya ini tak bisa di bohongi, walaupun masih di bilang cinta monyet, tapi menurut Bima tidak, dia tulus menyayangi Maudy.
Bima kembali meletakkan ponselnya, dan turun ke bawah untuk bergabung bersama keluarga.
Di rumah ini, Bima akrab dengan mas nya, yaitu Rio Senta Nugroho. Umur mereka berjarak delapan tahun, dulu sebelum Rio memegang perusahaan papanya seperti saat ini. Bima masih merasa di rumah ini tidak terlalu membosankan, karena masih ada masnya. Tetapi, setelah Rio sudah fokus dan memegang salah satu perusahaan papanya, untuk berbicara juga tidak sempat lagi. Rio selalu pulang larut malam, dan kembali bekerja pagi hari. Tentu itu semua kemauan papanya.
"Mas? Papa mana?" Bertanya pada Rio yang sedang fokus melihat laptop. Ya itulah, melanjutkan pekerjaannya di rumah. Bima yang bayangin aja udah pusing.
"Di ruang kerja, kenapa?"
Duduk di samping Rio.
"Kamu habis di marahin papa ya?" Tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
Bima memainkan pipinya, menggelembung kan dan mengempiskan.
Rio tau kalau Bima saat ini mencari perhatian, agar ia mau mendengarkan Bima cerita.
"Kenapa?" Akhirnya mengalihkan pandangannya, kini menatap Bima yang duduk di sampingnya.
"Mas, salah enggak sih kalau aku itu ingin bergaul dan tau dunia luar?"
Nah kan bener, baru mau bicara dia.
"Enggak sih, tapi kan kamu tau papa gimana."
Selalu aja bela papa! Kembali diam.
"Mas, aku ada suka sama cewek."
"Jangan pacaran dulu Bima!"
Nah kan, sama aja sama papa!
"Mas sibuk terus ya, udah enggak ada waktu lagi buat Bima ajak cerita." Berdiri dan melangkah meninggalkan Rio yang berkutat dengan pekerjaannya.
"Bima!" Panggilnya.
"Bima!" Panggilan kedua.
"Ini mas udah Selesai, ya udah sini kalau mau cerita." Yang ketiga. Jelas senyum mengembang di wajah Bima.
"Hehe."
"Jangan senyam-senyum. Mau cerita apa? Jangan bilang kalau kamu udah punya pacar?" Mengangguk.
"Bima? Mas aja belum punya, masak kamu duluan sih?"
"Mas, jangan kencang-kencang, nanti kedengaran papa!" Melihat ke kanan dan ke kiri.
"Terus, siapa pacar kamu?" Berbicara dengan suara pelan.
"Satu kelas aku mas, cantik anaknya, pinter lagi. Cuma buat semangat belajar aja, tapi aku beneran sayang sih."
"Coba mas mau lihat." Masih berbisik.
"Handphone aku di kamar mas. Gimana kalau besok aku ajak teman aku kesini? Kata mama boleh kan, nah nanti aku kasih tau yang mana orangnya. Mas kan kalau sabtu pulang cepat."
Rio tampak berpikir.
"Ok. Ada enggak temannya yang cantik?"
"Ada kok mas, nanti aku kenalin ya. Pasti dia bakal ikut."
Rio mengangguk setuju.
"Kalian ngapain bicara sambil bisik-bisik?" Suara yang sangat mengagetkan. Sontak Bima dan Rio menoleh, benar saja papanya sudah berdiri di belakang mereka. Sejak kapan kah papanya disana? Apa dia nguping? Ah enggak asik ni pak Adi.
"Enggak kok pa, lagi ngajarin Bima tentang bekerja di perusahaan."
"Untuk apa? Dia itu pemalu, apa bisa jadi pemimpin, tegas juga enggak. Dia bakal jadi sekertaris kamu nanti Rio. Biar belajar sama kamu, kalau udah bisa dia bakal pimpin perusahaan yang lain."
Jleb. Sakit hati Bima mendengarnya. Bukan masalah jabatan, terserah mau di jadiin tukang sapu jalan juga terserah, tapi jangan di jengkali begitu, pikir Bima.
Bakal aku buktikan pa! Aku begini kan karena papa sejak dulu tidak memperbolehkan aku keluar rumah, alhasil aku malu untuk berorganisasi seperti orang pada umumnya. Tapi aku bakal buktiin sama papa kalau aku bisa.
"Udah ke meja makan sekarang! Mama kalian udah nunggu disana. Kamu Rio, udah siap meriksa email yang papa kirim?"
"Sudah kok pa, ini tuh semua udah aku periksa ya, tinggal papa ACC aja, udah bener belum."
Dan pembahasan panjang kembali terdengar di telinga Bima. Bosan, jelas lah jangan di tanya.
Bima langsung pergi lebih dulu meninggalkan papanya dan juga Rio.
"Ma."
"Iya sayang, kenapa?"
"Tadi mama bilang kan, kalau aku boleh bawa teman kesini?" Mamanya mengangguk.
"Tapi teman Bima cewek ma, yang laki-laki enggak ada. Apa boleh ma? Kalau boleh Bima besok ajak mereka kesini."
"Boleh kok sayang. Tapi beneran cewek semua? Enggak ada yang laki-laki?"
Masih heran, takut mungkin kalau anaknya enggak normal, enggak tau aja kalau cewek itu adalah pacarnya.
"Nanti Bima ajak deh yang lain ma."
"Iya udah. Papa mana sih kok lama?"
"Masih ba-"
"Nah itu papa, kenapa lama sih pa? Tadi katanya lapar."
"Iya bahas kerjaan sedikit sama Rio."
Seharusnya aku yang di manja bukan Rio! Huh!
Meja makan terasa hening, memang begitu lah peraturan di rumah ini, ketika makan di larang berbicara, setelah selesai baru lah boleh, meskipun itu hal penting sekalipun. Karena bagi papanya, ketika makan waktunya perut mencerna dengan baik, jangan di gabungkan untuk berpikir, itu akan berpengaruh pada kesehatan, salah satunya kehilangan ***** makan.
"Ma, Bima duluan ya." Pamit setelah menghabiskan makanannya.
"Duduk dulu!" Ucap papanya dingin.
Mau apa lagi sih, batinnya.
"Udah kamu pikirkan tawaran papa tadi?" Menatap Bima dengan serius.
Itu bukan pilihan, bukan tawaran. Tapi kenyataan, apa sih, seharusnya bertanya tuh begini, Bima apa kamu siap nerima kenyataan? Itu baru benar. Masih berbicara dalam hati. Mana mungkin ia berani bicara langsung.
"Bima papa bicara sama kamu, kamu enggak bisa jawab?"
"Bima mau, tapi kalau belajar kelompoknya disini boleh kan pa?" Tawar menawar di mulai.
Rio merasa tidak percaya kalau Bima mulai berani melakukan hal itu. Sontak ia menatap Bima.
"Terserah, asal memang niatnya belajar."
Yes yes!!
"Beneran pa?" Untuk pertama kalinya keinginannya di dengar oleh papanya.
Papanya mengangguk. Mamanya pun tersenyum.
Jelas, padahal hal ini sudah lebih dulu mamanya bicarakan, tentu tak semudah saat Bima meminta ijin, masih ada sedikit perdebatan. Tapi mamanya mengancam kalau tidak di ijinkan ia akan membiarkan Bima untuk keluar rumah. Tentu papanya lebih tidak setuju, dan akhirnya memilih pilihan yang pertama.
Bima langsung berlari ke kamarnya, suasana hatinya sudah tidak mendung. Dengan cepat ia mengetik pesan, dan mengajak Kiki juga Maudy ke rumahnya besok, setelah pulang sekolah.
"Tapi ajak teman laki-laki ya, terserah kalian, asal jangan yang urak-urakan." Pesan terkirim.
Bima berbaring di tempat tidurnya, tangannya ia selipkan di atas kepala, sebagai pengganti bantal, semetara ponsel ia letakan di dada.
Ting. Tanda pesan masuk.
"Bim, aku mau bicara sama kamu."
Pesan singkat yang di kirim Maudy.
Panggilan masuk langsung Bima terima. Karena suasana hatinya saat ini sedang gembira, bahkan ia melupakan niatnya, yang sempat ingin menjauhi Maudy.
"Iya?" Memiringkan posisi tubuhnya.
"Kamu kenapa sih Bim? Semenjak bicara sama ibu kamu jadi beda."
Langsung ke intinya loh Maudy kalau bicara.
"Enggak, perasan kamu aja mungkin."
Mengelak lagi.
"Hem. Kamu udah makan?"
"Udah kok baru aja, kamu sendiri?"
Kok enggak manggil sayang sih. Batin Maudy di sebrang telfon.
Tapi Maudy mencoba mengesampingkan semua itu, saat ini selagi Bima masih mau bicara dengannya berarti tidak ada masalah. Toh, sebenarnya bukan hanya Bima yang terlalu cinta, Maudy juga, hanya saja perlakuannya berbeda, Maudy lebih sering menutupi rasa cemburunya, nah kalau Bima, jangan di tanya.
Obrolan berlanjut hingga larut, dan masing-masing dari mereka sudah menyatakan bahwa sudah mengantuk.
--
Keesokan paginya Bima berangkat benar-benar di antar oleh supir. Tentu itu mengundang tatapan dari para siswa yang lain, bahkan mobilnya jauh lebih mewah dari mobil yang sering di pakai siswa dan siswi di sekolah ini.
"Di antar supir sekarang Bim?" Bima menoleh, ternyata Andi yang menegurnya.
"Iya." Masih terus berjalan, Andi mencoba mensejajarkan langkahnya.
"Bim, kamu sayang enggak sama Maudy?" Langkahnya langsung terhenti, melirik Andi dengan tajam.
"Aku hanya bertanya kok Bim, kalau kamu keberatan menjawab yang enggak masalah. Soalnya aku juga suka sama Maudy, sejak lama!" Menggunakan nada penekanan di akhir kalimat. Ini yang membuat Bima malas untuk berinteraksi ke sembarang orang, hanya membuat sakit hati.
Kali ini, Bima yang terdiam dan Andi meninggalkan Bima yang mematung. Andi tersenyum penuh kemenangan.
Sabar Bim, toh buktinya walaupun dia bilang sejak lama, tetap kamu yang menang. Berbicara pada dirinya sendiri, memberi semangat untuk dirinya sendiri.
"Bim, udah sampai? Kok cepat, biasanya lama?" Tegur Kiki yang melihat Bima duduk sendiri.
"Iya, di antar supir." Menunduk, dan memandang kakinya yang ia ayunkan.
"Wah, naik jabatan dong, kalau gitukan beneran kamu sekarang anaknya pak Adi Nugroho." Tertawa di atas penderitaan Bima pagi ini.
"Enggak lucu lah Ki."
"Hei." Langsung duduk di samping Bima. Tapi Bima hanya melirik sekilas lalu membuang pandangannya.
"Baru sampai?" Tanpa menoleh ia berbicara.
"Iya, kamu dari tadi ya Bim?"
"Enggak juga."
"Aku ke kelas duluan ya Dy, Bim." Kiki pamit, ia merasa tidak enak, dan yakin juga kalau saat ini Bima lagi memendam sesuatu. Dan hanya ingin berbicara berdua bersama Maudy.
"Bima, kenapa sih sayang?" Mencoba berbicara lembut, dengan penekanan di kata 'sayang' agar Bima menoleh.
"Ah Sayang. Kenapa sih semua orang nyebelin." Merengek seperti anak kecil, nah kan padahal baru di panggil sayang.
Bahagia sekali jika punya pasangan seperti ini, kalau marah tinggal di panggil sayang aja udah luluh.
"Siapa sayang?" Sengaja mengulang agar Bima mau cerita.
Akan aku panggil berulang-ulang, supaya Bima mau ngomong sebenarnya dia kenapa. Biar lah, bucin juga enggak apa.
"Ada yang suka sama kamu, tapi kenapa harus ngomongnya sama aku? Supaya apa? Aku cemburu gitu, ah!! Padahal tanpa dia bilang juga aku selalu cemburu." Memanyunkan bibirnya. Dengan geram Maudy menarik ujung bibirnya dan di goyangkan ke kanan ke kiri.
"Siapa sih orangnya? Kok nekat banget."
"Ah enggak mau bilangnya, bikin sakit hati tau enggak."
Harus aku panggil sayang lagi nih kayaknya. Biar mau ngomong.
"Sayang, ayo bilang sama aku, siapa yang bilang begitu?"
Satu, dua, tiga.
"Andi, Andi yang bilang gitu tadi pagi sama aku sayang. Bener ya aku enggak suka loh kamu deket-deket sama dia. Sekarang OSIS udah seluruhnya adik kelas yang megang, jadi enggak ada alasan kamu untuk dekat lagi sama dia, titik! Aku enggak suka, titik!"
Maudy tertawa terpingkal-pingkal.
"Kok ketawa sih?"
Tanpa menjawab perkataan Bima, Maudy langsung berdiri. Siap untuk menghajar Andi. Jangan di tanya, Maudy memang terkenal galak, tomboi lagi. Siap-siap ya Andi.
"Andi mana?" Datang ke kelas Andi dan bertanya dengan salah satu murid yang berdiri disana.
"Tadi udah datang sih, tapi ke toilet deh kayaknya, kenapa Dy?"
"Enggak apa. Ya udah makasih ya."
Bima yang penasaran mengikuti Maudy ke manapun ia melangkah.
Sampai di toilet, memang benar, ada Andi disana, lagi tertawa sama teman-temannya.
"Andi." Tersenyum melambaikan tangan.
Wah, lebih cerah lagi senyum Andi dari pada Maudy, sepertinya ia sangat gembira pagi ini, di sapa duluan lagi sapa pujaan hati. Pujaan hati orang maksudnya.
"Ya Dy, kenapa?" Berjalan mendekat.
Tanpa aba-aba, Maudy langsung menarik kerah baju Andi, memekik lehernya. Andi yang bingung juga gelagapan.
"Kamu bilang apa ke Bima? Maksud kamu apa? Kalau suka sama aku ya suka aja, kenapa kalau suka sama aku bilangnya ke orang lain? Kamu bilang Bima kayak banci, ternyata kamu ya yang banci!!" Mendorong Andi sekuat mungkin hingga ia terjungkal. Temannya langsung menolong, tak berani membalas. Maudy menatap satu persatu teman Andi, dengan tatapan penuh amarah.
Lalu, dimana Bima tadi?
Bima tersenyum dengan senangnya, melihat Andi di perlakukan seperti itu.
Untungnya toilet masih sepi, kalau rame bakal ada yang ngadu ke guru, pasti itu!!
Maudy pergi meninggalkan Andi yang masih terduduk di lantai. Berjalan kembali ke kelas. Dengan cepat Bima juga ikut.
"Sayang." Berlari kecil mengejar Maudy.
"Hem."
"Udah Bim. Kamu diem dulu jangan ngomong, aku lagi netral kan emosiku."
Bima langsung terdiam, tak berani menegur ataupun berbicara, manut saja lah, pikirnya.
Pelajaran berlangsung, hikmat semua murid memulai belajarnya dengan baik. Bel istirahat, dan tak terasa juga bel pulang sekolah berbunyi.
Inilah waktunya Maudy berkunjung ke rumah Bima untuk yang pertama kalinya. Tapi, ia bersikap santai, bahkan kaki dan tangannya tidak bergetar seperti Bima yang akan datang kerumahnya.
Kiki mengajak Maudy ikut bersamanya, karena hari ini Kiki tidak di antar supir. Ia membawa mobilnya sendiri, semetara Bima harus pulang bersama supirnya.
Hanya mereka berdua, tidak ada laki-laki yang di ajak. Yang terpenting sekarang, mereka memikirkan alasan apa yang akan di katakan ketika di tanya, kenapa hanya ada dua wanita yang datang.
___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
🖤Rima Edi🖤
semangat thor
2022-03-18
1