Rumah bergaya minimalis, tidak terlalu besar. Halaman tampak bersih, bunga tersusun dengan rapih. Sangat bisa di baca kalau sang pemilik rumah sangat rajin. Teras yang unik, di bawahnya terdapat kolam ikan, walau pun Bima anak orang kaya raya, tetapi ia juga takjub melihat rumah Maudy. Berbeda dengan rumah lainnya.
Pasti ibunya galak!
"Bim, ayo?" Ajak Kiki yang melihat Bima melamun. Maudy lebih dulu masuk kerumahnya dan memberi tau ibunya kalau teman-temannya sudah datang.
"Kita balik aja yuk. Aku malu!"
"Bim, gila kamu ya!" Setengah berbisik.
"Kalian nunggu apa? Ayo masuk." Maudy berdiri dengan tangan yang bertengger di pinggang.
Nah kan, anaknya aja galak pasti ibunya juga. Bergumam sendiri.
"Assalamu'alaikum." Dengan kompak mengucap salam.
"Walaikumsalam. Kiki, apa kabar?" Menyambut kedatangan Kiki. Lalu Bima? Ya jelas hanya nunduk.
"Sehat, Tante sediri gimana?"
"Alhamdulillah, sehat juga. Tante udah buat cemilan buat kalian, ayo di makan." Tawarnya ramah.
"Makasih banyak Tante, repot-repot segala." Mencoba jaim.
Jelas kan, aku di kacangin. Mau ngomong juga bingung, mau ngomong apa coba?
"Tante tinggal ke belakang dulu ya." Pamit, dan tersenyum ramah.
Maudy mengganti bajunya terlebih dahulu. Dengan memakai celana Jogger selutut, kaus lengan tiga perempat. Dan rambut ia kuncir tinggi. Menampakan leher jenjangnya yang putih dan mulus.
"Bu, masak apa? Biar mereka juga ikut makan, lagian laper belum pada makan pulang sekolah."
"Ini masak daging rendang, sama tauco udang. Sebentar lagi matang, sengaja ibu masaknya agak siang, supaya bisa menyantap pas lagi hangat." Mengaduk masakan yang sudah hampir matang.
"Wah, mantap." Mengacungkan kedua jempol nya.
Kini Maudy yang sibuk dengan membuat es serut untuk di hidangkan kepada tamu, eh pada pacar yang baru sekali ini datang kerumah tentunya.
"Sst. Maudy!" Melirik ke arah depan, berharap temannya tidak mendengar.
"Apasih bu?"
"Itu siapa? Laki-laki yang ikut datang." Tanya ibunya penasaran.
"Oh itu, Bima bu. Bima anaknya Adi Nugroho, yang punya mall dan perusahaan terbesar di kota dan negeri ini." Menjawab dengan santai, dan mengaduk es yang siap di hidangkan.
"Apa? Masak sih? Kok nunduk mulu? Emang ibu seram ya?" Memegang wajahnya yang masih mulus walau di usia 40 tahun.
"Haha, enggak lah bu. Ibu cantik, enggak seram kok, cuma galak." Ibunya bersiap melempar bawang. "Dia pemalu bu orangnya, dan dia pacar Maudy loh." Berbisik lalu pergi meninggalkan ibunya, dengan mulut terbuka. Tak percaya dengan perkataan anaknya.
"Maudy jangan macam-macam. Nanti ayah kamu tau, bisa di pasung kamu."
Maudy hanya tersenyum mendengar ucapan ibunya.
Maudy berdehem karena kedatangannya tak disadari oleh dua manusia yang asik dengan ponselnya masing-masing.
"Ehem."
Melirik ke arah Bima. Mencoba melihat sang pujaan hati lagi melihat apa di ponselnya.
"Eh, tuan rumah udah datang. Wah ada es serut." Kiki bersemangat.
"Norak orang kaya lihat es serut aja udah girang."
"Ya ampun Dy, wajar lah. Kalau di rumah mana mungkin boleh minum begini sama papa aku." Langsung menuangkan satu gelas penuh untuknya.
Maudy juga menuangkan ke gelas untuk Bima.
"Bim?" Panggilnya melihat Bima yang masih acuh.
"Di minum dulu ini. Apa kamu enggak haus akan di interogasi ibu nanti." Melirik Kiki yang tersenyum sambil meneguk minumannya.
"Sayang, jangan gitu aku gerogi."
"Sayang? Siapa yang namanya sayang?" Ibu Irma datang membawa mangkuk berisi daging rendang dan tauco. Masih mengepul asap tanda bahwa makanan baru matang.
Ha? Bagaimana ini.
"Hehe, enggak bu." Bima yang nafasnya naik turun tidak teratur.
Ikut duduk dengan anak remaja. Tepatnya duduk di samping Maudy yang berhadapan langsung oleh Bima.
"Cie manggilnya udah ibu." Kiki mulai dengan jurus kompornya.
Maudy membulatkan matanya dan menatap Kiki. Karena ia tau, Bima mulai berkeringat dingin.
"Ya udah ayo makan." Mengalihkan perhatian, agar ibunya tidak membahas lagi.
"Nama kamu siapa?" Ternyata salah, bahkan ibu sudah tau, tapi masih bertanya.
"Saya ya bu? Eh Tante." Menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Enggak apa-apa kalau mau panggil ibu, biar lebih akrab dan romantis." Tersenyum.
Ibu ngomong apa sih. Batin Maudy.
"Saya Bima bu."
"Kata Maudy kamu anaknya pak Adi Nugroho ya? Yang punya mall dan perusahaan otomotif dan rokok?"
Ya ampun sayang, sebenarnya kamu bilang apa sih ke ibu kamu.
"Iya bu."
"Oh. Kenapa mau bergaul dengan Maudy yang hanya anak seorang PNS?" Masih lanjut sesi tanya jawab. Keburu makanannya dingin toh bu.
Kiki dan Maudy hanya saling lirik.
"Aku enggak pernah memandang itu semua bu. Bagiku selama temannya menyenangkan kenapa tidak?" Kali ini ia menjawab dengan santai.
"Teman? Tapi kata Maudy kamu pacarnya?"
Kiki, Maudy, dan Bima kaget. Bima menarik nafasnya, dadanya mulai sesak.
"Bu, udah lah. Ayo kita makan." Maudy mencoba untuk menegur ibunya dengan mengalihkan pembicaraan.
"Ya udah. Eh iya piringnya belum di bawa. Ibu ambil dulu ya." Berdiri meninggalkan mereka.
Ting..
Bunyi pesan di ponsel Maudy.
"Kamu nyebelin hari ini, nyebelin banget."
Ternyata Bima yang mengirim pesan.
"Kamu suka kan?" Maudy membalas, menggunakan emoticon cium di ujung kalimat.
"Iya aku suka! Sangking sukanya, aku enggak suka ada yang deketin kamu, pertama Andi, lalu abang-abang tadi yang didepan rumah kamu. Ah nyebelin!! Mau cium."
Mengirim lagi.
"Nanti aku cium di depan ibu ya." Membalas lagi.
Terus saja sampai ibunya kembali dengan membawa nasi dan piring. Barulah mereka meletakkan ponselnya.
Memakan dengan hening, ada yang jaim? Siapa? Bima lah. Makannya sedikit banget, baru sekali suap, minum, begitu seterusnya. Maudy tau kalau masakan ibu ini pedas, makannya Bima lebih dulu mengabiskan air dari pada nasinya. Untungnya bersikap sok jaim, kalau ngambil banyak bisa keluar api telinga Bima.
"Bima kenapa? Masakan ibu pedas ya?" Tanya ibu Irma.
"Hehe, iya bu. Bima suka pedas kok bu."
Bohong dia Bu!
Kembali melanjutkan makannya. Setelah selesai Kiki membantu membereskan piring, dan segera mencucinya. Bersama Maudy mereka berjalan ke belakang, meninggalkan ibu dan Bima.
"Bima?" Panggil ibunya Maudy.
"Eh iya bu." Masih tersenyum dengan wajah yang memerah.
"Kamu memang dekat dengan Maudy?" Masih diam, dan menunduk.
"Ibu enggak apa kok. Asalkan kalian tau batasan, sebenarnya Maudy itu belum boleh pacaran, tapi nyatanya ia juga tetap fokus belajar. Jadi ibu enggak masalah. Lagian kalau kamu siap dengan Maudy, berarti kamu juga harus siap di tinggal nantinya." Mencoba menjelaskan dengan nada selembut mungkin.
"Ditinggal, maksud ibu? Maaf bu aku lancang bertanya."
"Hem, iya. Adik ibu yang paling kecil kan ada di luar negeri, disana kehidupannya lumayan, dia punya usaha. Dan sejak SMP om nya sudah berjanji akan membiayai kuliah Maudy, tapi dengan syarat Maudy harus tinggal disana, sekalian bantu-bantu usaha restorannya. Karena Maudy juga tidak menolak, tentu kami mendukung. Lagian, kalian juga kan masih muda, perjalanan juga masih panjang."
Bima sangat syok mendengarnya.
"Iya bu aku ngerti kok."
"Kamu kalau mau main kesini enggak apa lagi, anggap aja ibu seperti ibu mu. Dulu, ibu juga pernah bekerja di kantor papa kamu, tapi karena ibu mulai hamil adiknya Maudy, ibu mengundurkan diri, itu juga kemauan ayahnya."
"Wah, jadi ibu pernah bekerja disana?" Ibu Irma mengangguk dan tersenyum.
Entah apa yang mengubah Bima dalam hitungan menit ini, ia merasa nyaman berbicara dengan bu Irma. Seperti bicara dengan mamanya sendiri. Banyak pembahasan yang ia bicarakan, mulai dari papanya yang suka ngatur, yang begini yang begitu, sehingga sulit untuk Bima menemukan teman yang tepat. Sejak SD setiap pulang sekolah harus di jemput supir, langsung pulang ke rumah belajar. Tidak ada kata bermain seperti yang lain. Setelah menginjak SMA barulah ia berani berontak, tidak ada supir yang mengantar.
Karena ia juga enggak mau, siswa yang lain tau kalau dia adalah anak dari Adi Nugroho.
Setiap pulang sekolah, sampai saat ini. Selalu di larang kemana pun. Dan hari ini, Bima akan menanggung resiko akan di marahi lagi. Tapi dia berdoa semoga papanya tidak makan siang di rumah. Jadi enggak tau kalau Bima pulang telat.
"Jadi begitu, pantas saja kamu susah bergaul, pemalu." Manggut-manggut setelah tau kenyataan yang di ceritakan oleh Bima.
"Kalau sifat ku yang pemalu sih katanya nurun mama bu."
"Cie yang ngobrol sama calon." Ternyata Kiki dan Maudy telah kembali dari dapur.
"Eh iya. Ya udah ibu mau keluar ya sebentar, ada yang mau di beli. Kalian nanti aja pulangnya." Pamit untuk pergi ke pasar.
"Hati-hati Tante." Kiki melambaikan tangan.
"Heh Bim, masak enggak bilang hati-hati sih ke calon." Ejeknya.
"Apaan sih Ki." Mereka berbincang, membahas guru dan murid yang ada di sekolah, mana yang menurut mereka baik dan mana yang tak baik.
Bima hanya diam, tak ikut berkomentar, wajahnya sendu.
"Kamu kenapa sih Bim?" Maudy menegur.
"Enggak apa kok. Oh iya Ki, kamu masih lama disini? Aku balik duluan ya?" Maudy menatap tidak suka.
"Dasar anak mama!" Celetuk Kiki.
"Kamu kan tau Ki, keluarga aku gimana!" Tak terima di ejek dengan sebutan itu.
"Aku pamit ya, nanti sampaikan salam ku sama ibu." Berdiri dan mengambil tasnya. Berjalan keluar dan kembali menggunakan sepatu sekolahnya.
"Bim tunggu." Menarik tangan Bima.
"Apa ibuku ada ngomong sesuatu yang nyakitin kamu ya? Maaf ya, ibu memang begitu, tapi hatinya baik kok." Raut wajah khawatir jelas terpancar dari wajah Maudy.
"Enggak ada kok, udah. Nanti kamu jangan keluar lagi ya, langsung istirahat aja di dalam. Jangan ikut gabung sama mereka yang disana." Menunjuk sekumpulan anak lajang yang bermain gitar.
"Iya,iya. Tapi Bim. Tunggu lah sebentar lagi!!" Merengek dan menggoyangkan lengan Bima.
"Woy Bim. Kamu mau pulang naik apa? Enggak asik banget sih, nanti aku antar kamu pulang lah. Sebentar lagi supir aku jemput." Kiki berdiri di depan pintu.
Bima terdiam nampak menimang permintaan orang yang di sayang dan teman yang di sayang.
Tanpa menjawab kembali membuka sepatunya dan masuk ke dalam. Meninggalkan Maudy dan Kiki yang masih terdiam.
"Kenapa?" Tanya Kiki tanpa bersuara, hanya mengode dengan mulutnya.
Maudy menggelengkan kepalanya.
Jam menunjukan pukul setengah 2 siang. Mereka yang menguap karena mengantuk, sehabis makan, belum lagi cemilan yang di sediakan.
Maudy berinisiatif mengambil bantal sofa, dan melemparnya untuk mereka kenakan mengganjal kepala. Sama-sama terdiam dan berbaring sesuka hati, di karpet lembut milik Maudy. Kipas angin sengaja ia arahkan dan tak di putar, membuat mata semakin menutup dengan rapat.
Dua jam kemudian ibu pulang dari pasar membawa dua plastik penuh berisi sayur dan kebutuhan dapur lainnya.
"Ya ampun. Pada tidur ternyata." Kembali berjalan masuk dan ke dapur menyusun belanjaannya.
Sungguh nyenyak yang tidur. Sampai sore belum bangun juga.
"Bu, ayah pulang." Ucap ayahnya yang baru saja hendak masuk ke dalam. Setelah beberapa langkah masuk.
"Ya ampun, anak siapa ini pada terlantar disini." Masuk dan mencari keberadaan istrinya.
"Bu, itu siapa yang tidur? Kok ada laki-laki juga?" Tanyanya. Menyerahkan tas kerjanya kepada istri tercinta.
"Sstt. Ayah, sini deh." Ibu mulai menceritakan siapa Bima dan tentunya hubungannya dengan anaknya, awalnya ayahnya merasa risau kalau Maudy sudah mulai berani pacaran. Tapi ibu mengingatkan bahwa tak sampai setahun lagi Maudy akan berangkat keluar negeri.
"Jadi dia anak bapak Adi Nugroho?" Masih tidak percaya.
"Iya yah."
"Peringatkan sama Maudy bu. Jangan terlalu dekat, masih sekolah."
Berjalan memasuki kamar mandi, untuk membersihkan diri.
Mereka yang tertidur menggeliat, mencium aroma masakan yang sedang di masak oleh ibu Irma.
Bima terbangun dan melihat jam di ponselnya. Tapi, pandangannya teralih dengan beberapa panggilan tak terjawab. Ternyata ibunya sudah menelfon sebanyak 20 kali. Dan begitu banyak pesan yang masuk, mulai dari bertanya kenapa belum pulang? Bima dimana? Dan seterusnya yang berujung dengan kekhawatiran. Tentu Bima tak mendengar karena ponselnya masih ia silent kan.
Ya ampun, udah jam 4?
Kaget dan langsung terduduk.
"Ki, bangun Ki!!" Masih menggeliat.
"Ki, udah Maghrib!!" Spontan Kiki membuka matanya.
"Jam berapa Bim?" Mengucek matanya yang belum sempurna untuk melihat.
"Jam 4." Ucapnya datar.
Kiki kembali memejamkan matanya.
"Ki bangunlah. Mama aku udah nyariin!!"
Ibu dan ayah Maudy mendengar kalau mereka sudah bangun langsung bergegas untuk melihat.
"Sudah bangun?" Ucap ibu dengan santai. Dan di iringi ayah Maudy berdiri di samping ibu Irma.
Kiki langsung membuka mata. Menatap Bima lalu menatap ibu Irma.
"Eh om." Langsung duduk. "Om udah pulang? Maaf ya Tante om, keenakan tidur disini." Malu, segan, ya itu lah yang mereka rasakan saat ini.
"Enggak apa-apa. Tapi orang tua kalian apa enggak nyariin?" Ucap Subiyanto, ayah Maudy.
Bima dan Kiki saling pandang.
"Enggak om. Tadi udah pamitan." Kiki yang mewakili karena tau Bima akan sangat canggung berada di posisi ini. Lebih baik berbohong, pikirnya.
Maudy juga terbangun setelah mendengar suara ayahnya.
"Ini dia ketuanya udah bangun." Ucap sang ayah dan melipat kedua tangannya di dada.
"Ayah, ayah udah pulang." Mencoba mengambil kesadaran nya kembali setelah beberapa jam tertidur.
Mereka sudah siap untuk pamit pulang. Karena hari sudah sore, bahkan orang tua di rumah pun sudah menunggu anaknya pulang.
"Om pamit ya." Menyalim tangan ayah Maudy.
"Tante, Kiki pulang ya. Makasih udah di masakin yang enak."
"Iya, sering main kesini ya." Mengulurkan tangannya.
Kini giliran Bima yang harus pamit. Jelas tangannya bergetar.
"Om pamit ya." Ikut menyalim tangan seperti yang di lakukan Kiki.
"Bu, aku pulang. Makasih ya bu."
Ibu Irma mengangguk.
"Jangan kapok ya main kesini." Bima mengangguk dan tak berani menatap ayah Maudy yang sedari tadi menatapnya.
Maudy hanya diam melihat Bima.
"Dy, kami balik ya." Melambaikan tangan dan masuk ke dalam mobil.
Maudy berdiri memandang hingga mobil hilang setelah memasuki jalan raya.
"Dy, sini ayah mau ngomong."
Pasti ibu sudah cerita, ah enggak asik. Pasti bakal di sidang.
"Iya yah."
Menurut dan duduk di hadapan ayahnya.
"Benar yang di katakan ibumu?"
Apa! Benarkan, ibu!!
Melirik ke arah ibunya yang merasa tidak bersalah. Hanya tersenyum dan memainkan kedua alisnya.
"Iya ayah. Tapi Maudy janji akan tetap fokus belajar kok."
"Bisa di pegang janji kamu?"
"Iya yah. Janji."
Ayahnya berdiri meninggalkan ibu dan anak yang masih terduduk.
"Pasti ibu kan?"
Ibu hanya mengangkat bahu dan ikut pergi bersama ayahnya.
___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
🖤Rima Edi🖤
hadirr
2022-03-18
0
Novi Azza😍😍😍😍
aku mampir tgor💪💪💪💪💪
2021-10-10
1