"Ini rumahnya?" Pertanyaan yang keluar begitu saja dari mulut Maudy. Sungguh, ini seperti istana, batinnya.
"Wajar sih, anak konglomerat." Kiki juga terperangah, sebab rumahnya juga tak semewah Bima meskipun ia anak orang kaya.
"Tapi ya aku heran Ki, Bima tuh sederhana, enggak seperti anak orang kaya lainnya."
"Kamu nyindir aku gitu Dy? Yang sekolah bawa mobil?" Melirik.
"Enggak lah Ki."
"Tapi ya, justru kamu beruntung tau enggak, dapet Bima. Pertahankan lah sampai menikah hehe." Memandang wajah Maudy.
"Kalau Allah kasih iya enggak masalah Ki. Udah ayo ah turun, tuh Bima udah nunggu."
Membuka pintu mobil, bersiap menghadapi suasana di dalam rumah Bima.
"Ayo masuk."
Wah, banyak sekali penjaganya. Melirik ke kanan dan ke kiri, melihat suasana rumah Bima. Kekaguman yang tak mampu terucap oleh mulutnya.
"Mama kamu galak enggak?" Sungguh, perkataan yang tak bisa Maudy tahan sejak tadi.
Karena biasanya jika anaknya tidak sombong, pasti orang tuanya yang sombong, begitu ia menyimpulkan.
"Enggak sayang, tenang aja." Berbisik, takut ada yang mendengar dengan panggilannya.
"Ma, teman aku datang."
Mereka berjalan masuk, tentu tak lepas dari pandangan yang kagum, terlalu banyak barang yang tidak Maudy punya di rumahnya, mulai dari hiasan dinding, ada sih di rumahnya, tapi hanya satu. Lalu, apa lagi? Wah, guci nya gede banget, cukup itu mah kalau masuk ke dalamnya.
"Wah, udah datang ya? Ayo, silahkan duduk." Maudy menatap lekat wajah sang calon mertuanya itu. Lalu tersenyum dan menghampiri.
"Maudy Tante." Menyalim tangan tante Lisa dengan sopan.
"Cantik ya." Memuji dengan tulus.
"Kiki Tante." Mengikuti apa yang dilakukan Maudy.
"Ini cantik juga." Tersenyum ramah.
Cantik kan pacar aku lah ma, Batinnya.
Masih saja tak terima, padahal mamanya juga tidak tau.
"Kalian cuma berdua? Emang kelompoknya enggak ada yang laki-laki?" Menatap Bima meminta penjelasan.
"Oh, iya Tante sebenarnya ada, tapi ibunya sakit jadi enggak bisa ikut." Berbohong saja demi keselamatan.
Pandai sekali berbohong, berarti kamu sering ya sayang bohong sama aku.
"Oh gitu. Kalian mau makan dulu atau gimana? Atau nanti aja?" Basa-basi.
"Nanti aja Tante, masih kenyang." Kiki menjawab.
Bima pergi ke kamarnya untuk ganti baju, sementara mereka berdua di tinggal untuk berbincang pada mamanya.
"Tante tau, Bima enggak punya banyak teman." Wajahnya berubah lesu. "Bima terlalu di kekang sama papanya, jadi sifatnya begitu, pemalu. Karena jarang berinteraksi dengan orang lain. Pasti kalian merasa aneh ya awalnya melihat Bima?" Kiki dan Maudy saling menatap.
"Tapi Bima anaknya baik kok Tante, mungkin emang begitu dia." Maudy tidak secanggung Bima sewaktu berbicara pada ibunya. Malah Maudy bersikap santai.
"Hem, iya memang. Oh iya, kalian tinggal dimana?" Pertanyaan diajukan kepada Kiki dan Maudy.
"Aku di niaga 1 Tante, daerah komplek." Kiki yang menjawab lebih dulu.
"Kalau aku di jalan Cemara Tante, enggak jauh lah dari sekolah."
"Oh, begitu. Maudy udah kenal lama sama Bima ya?"
"Udah Tante, Bima kan sempat satu sekolah dulu sama aku, sewaktu masih SD. Eh pas SMA ketemu lagi." Tertawa kecil, membayangkan masa lalunya.
"Wah, pantes aja Bima sepertinya akrab dengan kalian. Tante senang kalau teman Bima mau datang kerumah, jadi dia juga enggak terlalu bosan. Kalau Tante sih, enggak masalah kalau Bima juga mau keluar, tapi tau sendiri papanya."
"Ma, papa pulang jam berapa?" Turun dari tangga dengan berlari kecil.
"Sebentar lagi mungkin, soalnya hari ini enggak ada meeting katanya."
Menoleh ke arah anaknya yang kini berjalan untuk bergabung.
"Kalau mas Rio?" Ya, rencana mereka kemarin untuk memperkenalkan dengan Kiki.
"Mungkin sama juga dengan papa. Kenapa sih?"
"Enggak apa sih ma." Menatap Kiki dan tersenyum jahil.
Apa? Pasti ada yang di rencanakan Bima nih! Menatap tajam Bima.
"Ya udah kalau mau belajar, Tante tinggal dulu ya." Berdiri dan berjalan ke arah belakang. Biasanya sih tante Lisa suka duduk di taman belakang rumah, menikmati udara yang masih banyak pohon di belakang.
"Iya Tante." Maudy menjawab sopan.
"Sstt. Bim?" Panggil Kiki. "Pasti ada yang kamu rencanakan kan?" Masih menyelidiki.
"Enggak, mas aku cuma pengen tau kalian, terutama Maudy, soalnya aku bilang kalau dia pacar aku."
"Apa?" Maudy kaget.
"Tenang, mas aku baik kok, enggak kayak papa."
"Hus, jangan begitu, dia papa kamu juga kan."
Mengangguk, tapi wajahnya lesu.
"Udah ah ayo belajar, ada tugas fisika tadi kan? Kita kerjakan aja sekarang, gimana?" Usul Maudy, dan langsung diterima baik oleh Bima dan Kiki.
Bukan belajar kelompok sih kalau begini, soalnya semua Maudy yang jawab, yang lain hanya ngangguk saja. Ibarat Maudy tuh guru les privat mereka. Mengajarkan, tapi dia juga yang memberi jawaban.
"Yang ini gimana?"
"Ini tuh sulit ya."
"Kalau ini bener enggak? Yah, kasih tau caranya dong."
"Sayang, aku enggak ngerti."
"Dy, coba kamu jawab yang ini."
Done, 10 soal yang harus di jawab dengan rumus telah mereka selesaikan, bukan mereka sih, Maudy aja. Suara perut mulai terdengar, tapi malu jika harus meminta makan, haha. Terpaksa lah menunggu tuan rumah menawarkan yang kedua kali.
Nyesel ah, tau gini makan dulu baru belajar. Begini energi udah terkuras habis. Batin Maudy.
Suara derap langkah kaki terdengar dari arah pintu, Maudy dan Kiki sontak melihat siapa yang datang. Mereka tak berkedip, melihat dari ujung kaki sampai ujung rambut, dan begitu sampai berulang kali. Putih, tinggi, berbadan kekar juga. Kalau senyumnya belum tau sih.
Tampan.
Hanya itu yang mampu mereka ucapkan.
"Udah pulang Bim? Ini teman kamu ya?" Suaranya ih enak di dengar, pikiran mereka lebay. Bima menatap Maudy dengan tatapan tidak suka, karena memandang mas nya sampai begitu.
"Udah mas." Masih menatap pacarnya, Maudy belum sadar juga.
"Ehem." Bima akhirnya berdehem, menyadarkan dua wanita yang mengagumi mas nya.
"Eh." Tersadar, kikuk, malu. Ya, mereka lah, karena ketauan memandangi sebegitu seriusnya.
"Suka sama mas aku?" Pertanyaan yang di lontarkan entah untuk siapa. Spontan Maudy dan Kiki mengangguk.
"Nyebelin!!" Melempar bantal ke arah mereka.
Rio hanya tertawa dan berjalan masuk ke kamarnya.
Mengendurkan dasi miliknya dan meletakan tas kerjanya.
Bima langsung diam, dan tidak mengajak Maudy bicara. Merajuk lagi deh.
"Kamu sih." Melempar bantal sofa ke arah Kiki.
"Lah ya kamu ngapain coba? Kan yang single aku!" Setengah berbisik.
"Bim?" Panggilnya lembut. Masih tidak menjawab.
"Bima?" Masih tetap fokus pada ponselnya.
Ah aku tau, pasti maunya di panggil sayang kan, baiklah Bim baik.
"Sayang, maaf." Wah, enggak mempan, masih di cuekin.
"Bim, aku cium kamu ya!"
"Ih mesum!!" Kiki melempar bantal dan menutup wajahnya, dia kira Maudy serius.
Berdiri dan mengabaikan perkataan Maudy.
"Ayo makan, biar aku panggil mama."
"Kasian banget, di cuekin." Mencubit pipi mulus Maudy.
"Sebentar lagi juga ilang ngambeknya." Masih percaya diri ternyata.
Kiki hanya mengangkat bahunya.
Mereka berjalan mengikuti Bima. Tepatnya di meja makan.
Wah, ada ayam goreng crispy, ada nugget dan sosis bermerk. Ada ikan panggang, ada banyak lagi deh, susah kalau di sebutkan satu persatu mah. Buah juga ada di atas meja.
"Sudah selesai, ayo kita makan?"
Menarik kursi dan duduk. "Makan yang banyak jangan sungkan ya Maudy, Kiki."
"Iya Tante."
Maudy menunggu Tante Lisa yang mengambil makanan lebih dulu, tapi sungguh Maudy kaget. Karena piringnya di isi alias diambilkan oleh Tante Lisa.
"Tante enggak usah, biar aku ambil sendiri aja."
Segan sekali rasanya, batinnya.
"Enggak apa sayang, Tante enggak punya anak perempuan soalnya, jadi senang aja gitu ada kalian disini."
Eh, tapi tunggu. Hanya Maudy aja yang di ambilkan, Kiki enggak tuh.
Apa sih mama, kok manggilnya sayang.
Ampun deh, sama mamanya juga cemburu loh Bima.
"Ma, aku enggak di ajak makan ya?" Rio datang sudah berpakaian santai, pakai celana selutut dan kaus polos berwarna putih. Sangat adem di pandang. Cocok dengan postur tubuh dan kulitnya yang putih.
Kali ini Maudy tak berani menatap, bahkan melirik sekalipun. Karena ia tau, saat ini Bima sudah menatapnya dengan tajam.
"Loh, kamu udah pulang? Mama enggak tau. Ya udah sini kita makan bareng sama anak cantik ini."
Mama ngapain sih bilang gitu, Bima.
"Ayo makan."
Kembali hening. Hanya ada suara denting sendok, tentu itu dari Bima, karena Rio duduk tepat di depan Maudy. Begitu saja ia sudah cemburu. Padahal dia sendiri kemarin yang berniat akan memperkenalkan Maudy. Tapi belum apa-apa udah kepanasan.
"Nambah lagi, mau?" Tawarnya, ketika melihat Maudy sudah selesai dengan makanannya.
"Enggak Tante, udah kenyang. Makasih ya Tante."
Langsung menolak, takut kalau calon mertuanya itu kembali menuangkan nasi ke piringnya.
Wah enak nih Maudy udah dapat lampu ijo dari calon mertua, batin Kiki.
Sambil tersenyum menunduk Kiki membatin.
Selesai makan, Maudy berniat akan membereskan piring, kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika di rumah.
"Enggak udah, nanti biar bibi aja yang bereskan." Tegur Rio halus.
"Eh, enggak apa bang. Kalau di rumah juga begini."
Wah cari muka nih Maudy. Eh tapi emang bener sih, kalau di rumah dia selalu begitu, beda mah sama aku.
Tante Lisa tersenyum hangat menatap Maudy.
Rasanya pengen punya membatu begini, sopan rajin pula, anaknya juga sederhana.
Maudy mengangkat piring kotornya ke arah dapur. Dan di ikuti oleh Kiki yang membantunya.
Terperangah melihat dapurnya yang luasnya, 3 kali lebih besar di bandingkan ruang tamu rumahnya. Kalau Kiki ya tentu biasa, karena tak terlalu jauh berbeda dengan keadaan rumahnya.
"Loh neng ngapain? Jangan di cuci, biar bibi aja."
"Enggak apa bi. Bibi duduk aja dulu, anggap aja rezeki bibi hari ini ada yang bantu hehe." Tersenyum ramah.
"Tenang bi, suru aja tiap hari dia bantu bi." Kiki mulai dengan jahilnya.
"Jangan atuh neng, saya makan gaji buta namanya." Segan rasanya. "Neng ini temannya den Bima ya? Atau pacarnya." Tertawa jahil.
"Iya bi, dia pacarnya." Mulai lagi deh Kiki.
Maudy memberi percikan air ke wajah Kiki.
"Wah resek." Tak terima, tapi masih tertawa.
"Serius neng?"
"Enggak bi, kita temannya kok." Sambil membilas piring yang telah siap di cuci.
"Letak dimana ya bi?" Menatap sekeliling dapur.
"Biar bibi aja yang susun piringnya, karena harus di lap lagi neng. Udah neng balik aja ke depan."
Mengusir secara halus, pembantunya juga merasa tak enak, karena ini memang tugasnya, pembantu yang lain lagi beristirahat makan di belakang.
"Oh ya udah, makasih kalau begitu bi."
"Saya yang harusnya makasih neng."
Mengangguk dan tersenyum lalu berjalan pergi.
Setelah kembali ke meja makan, ternyata sudah sepi. Tapi mereka mendengar suara orang tengah berbincang dari arah depan, mereka langsung berjalan kesana. Dan ternyata semua sudah kumpul di sofa ruang tamu. Pandangan Maudy menatap lelaki yang berbadan tegap, wajahnya amat mirip dengan Bima. Enggak salah, itu adalah papanya, bapak Adi Nugroho, batinnya.
"Ki, ada papanya." Berjalan sambil berbisik.
"Udah santai aja, tadi sama Tante Lisa kamu bisa santai." Mengangguk, tetapi yang Maudy pikirkan saat ini adalah, tas mereka yang masih disana, belum di bereskan lagi.
Tante Lisa tersenyum menyambut kedatangan Maudy dan Kiki.
"Maudy sini duduk, udah selesai cuci piringnya?"
Melirik ke arah Bima yang tak menatapnya, lebih tepatnya membuang pandangan.
"Iya Tante." Masih tersenyum, tapi keadaan canggung karena papanya masih terus menatapnya.
"Ini temannya Bima?"
Setelah mereka duduk.
"Iya om." Menunduk malu.
"Kalian udah ijin orang tua kalau mau kesini?"
"Udah, tapi orang tua saya lagi keluar kota om, jadi hanya ijin sama pembantu di rumah kalau pulangnya agak telat." Kiki menjawab lebih dulu.
"Kalau saya udah bilang sama ibu kok om."
Mengangguk. Tapi sepertinya papanya lebih tertarik dengan Kiki.
"Orang tua kamu kerja apa? Kok sampai keluar kota?" Pertanyaan yang di ajukan pada Kiki.
"Ada usaha papa disana om. Jadi sebulan sekali harus kesana."
"Kamu?" Menunjuk Maudy. Ia tau pasti maksudnya orang tuanya kerja apa.
"Orang tua saya PNS om." Menunduk lagi, sungguh ini canggung sekali.
"Oh." Wajahnya seperti tidak ada ekspresi.
Bima langsung membuang pandangannya, ia tau papanya pasti menyepelekan pekerjaan orang tua Maudy.
Rio hanya diam menyimak. Papanya lebih tertarik mengajak Kiki bicara, sementara Maudy hanya diam, diam dan diam. Pikirannya saat ini adalah, lebih baik pulang ke rumah!
Tante Lisa yang mengerti posisi Maudy saat ini, lebih memilih mengajak Maudy ke belakang, dengan alasan untuk melihat-lihat tanamannya di belakang. Dengan senang hati Maudy mengikuti. Sebenarnya Kiki juga tidak bermaksud untuk pamer, tetapi papanya Bima terus saja bertanya tentang kehidupan keluarganya. Kiki hanya melirik ketika Maudy pergi dengan Tante Lisa. Maudy tau, sebenarnya Kiki juga ingin ikut beranjak. Tapi, apalah daya, masih berbincang, sangat tidak sopan jika meninggalkan orang yang tengah berbicara.
Tak lama setelah Maudy pergi, Rio juga bangkit dari duduknya, tentu akan menyusul mamanya ke belakang. Hal ini membuat Bima tak tenang, ia melirik ke arah belakang, dan merasa duduk pun tak nyaman.
"Pa, Ki, aku ke belakang dulu ya." Pamit dan untungnya papanya tidak keberatan, hanya Kiki yang kini tampak gelisah.
Saat Bima berjalan, ia mendapati mamanya dan Maudy sedang melihat tanaman. Dan juga ada Rio disana.
"Mas, kamu ngapain disini?" Dengan ketus ia bertanya.
"Lah kamu juga ngapain disini? Bukan kah ada teman kamu di depan."
"Di sini juga ada teman aku." Masih berlagak sewot.
"Pacar kamu ya?" Berbisik pelan di telinga Bima.
"Iya kenapa?" Menantang mas nya dengan membusungkan dada.
"Kenapa apanya Bima?" Tanya mamanya yang mendengar ucapan Bima.
"Cantik, aku gangguin ah." Berbisik lagi.
Bima membulatkan matanya, ia sangat cemburu walaupun dengan masnya sendiri.
Rio berjalan mendekat ke arah Maudy.
"Maudy, nanti pulang biar mas anter ya, mau?"
Bima masih diam.
"Ha?" Menoleh ke arah Bima yang menatap tajam dan melipat kedua tangannya di dada.
"Ya udah enggak apa Maudy, biar mas Rio yang nganter kamu." Malah mamanya mendukung. Makin tersudut aja nih Bima.
"Ya udah, nanti biar Bima aja yang antar ma. Lagian kan Bima yang tau rumah Maudy."
"Loh kok bisa tau, emang kamu udah pernah kesana?" Rio sengaja menjebak Bima.
"Er, iya kan Maudy pernah ngasih alamatnya ke Bima." Bisa mengelak.
"Tapi apa papa ngasih ijin? Biar mas aja yang ngantar Bim." Ya kalah lagi Bima.
Maudy hanya diam, ia juga bingung. Menolak bagaimana.
"Maudy pulang sama Kiki aja Tante, Kiki bawa mobil kok." Akhirnya, ada alasan yang tepat.
"Nyonya, tadi neng yang satu lagi pamit pulang." Pembantu datang membawa kabar.
"Nah itu Kiki udah pulang, ya udah biar mas Rio aja yang nganter kamu ya."
Jahat banget sih Kiki ah, awas aja besok. Eh, besok libur ya, awas aja senin nanti.
Maudy bingung sudah tidak ada alasan, akhirnya ia menerima tawaran untuk di antar pulang.
Ternyata Bima tidak menyerah, saat Maudy sudah berada di mobil Bima langsung menerobos masuk ke dalam. Ikut Rio yang akan mengantar Maudy, tentu tanpa sepengetahuan mama dan papanya.
Saat di persimpangan.
"Mas berhenti sebentar."
"Mau ngapain?"
Masih terus melajukan mobilnya.
"Cepetan mas." Maudy juga bingung Bima akan melakukan apa.
Setelah mobil berhenti, Bima turun dan membuka pintu mobil depan, ia menyuruh Maudy turun dan pindah duduk di belakang bersamanya. Rio hanya geleng-geleng kepala.
"Sayang ayo."
Maudy tidak bisa menolak.
"Ya ampun Bim." Kata yang terucap dari mulut Rio, tak menyangka dengan adiknya yang begitu over sama pacarnya.
"Udah jalan." Setelah berhasil mengajak Maudy duduk di belakang bersamanya. Alhasil, Rio hanya menjadi supir saat ini, melihat adiknya sendiri pacaran di mobil, iri? Ya jelas. Bahkan Rio aja belum punya gebetan, apa lagi pacar.
Sesampainya di rumah, Maudy turun dan mengucapkan banyak terima kasih.
___
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments