Pak Avin berdiri di depan kelas Regan sejak lima belas menit lalu menunggu Regan keluar dari dalam kelas. Tetapi meski bel pulang sekolah sudah berbunyi sepuluh menit lalu dan para siswi keluar dari kelas, Regan masih diam di dalam kelasnya.
Sesekali Regan membuka hpnya lalu mencatat sesuatu di bukunya dan begitu terus berulang-ulang. Raut wajahnya begitu serius, entah apa yang sedang dikerjakannya membuat Avin mengurungi niatnya untuk menemuinya sejak tadi.
Brak...
Tangan Regan menggeprak meja membuat Avin terkejut. Terlihat rahang Regan mengeras menatap nyalang kedepan. Avin menunggu Regan sedikit tanang seperti tadi, lalu melangkah masuk kedalam kelas.
"Regan" panggil Avin dengan suara penuh wibawanya.
Buru-buru Regan menutup bukunya dan memasukkannya kedalam tas, "ya pak" sahutnya.
Avin berjalan mendekati meja Regan dan berdiri di sampingnya. "Katanya kamu menerima tawaran untuk kuliah di luar negri?" Tanya Avin menatap Regan.
Regan terdiam sejenak, dia tidak pernah menceritakan tentang tawaran beasiswa pada siapapun kecuali Bundanya "dari mana bapak tau?."
"Pihak perusahaan mereka menghubungi bapak tadi. Jadi bagaimana?, Bunda kamu setuju?. Mereka memintamu untuk langsung menghubungi Direktur mereka, katanya kamu sudah mempunyai kartu namanya."
Regan menghela nafas, berdiri menjinjing tasnya melangkah pergi. "Saya tidak tertarik" ucapnya.
"Apa maksudmu?" Avin mencegat langkah Regan. "Kesempatan ini jarang ada Regan, sudah kamu diskusikan dengan Bundamu?."
"Ini hidup saya," kata Regan penuh tekanan. "Mesiki Bunda menginginkannya, tetapi saya tidak, Bunda tidak akan memaksa saya."
Regan kembali melangkah keluar kelas meninggalkan Avin yang menahan keksalannya. Sekarang dia sedang tidak bisa di ajak bicara, lebih tepatnya beberapa minggu ini.
Seminggu ini Regan tidak pulang bersama temannya, dia memilih menggunakan angutan umum. Mencoba merubah moodnya sebelum bertemu Bundanya nanti dirumah.
Kaki Regan urung melangkah menatap Bundanya yang sedang menghitung sisa jualan sejak tadi pagi. Rumah kontrakan mereka juga tidak besar namun cukup layak untuk ditinggali mereka berdua, Bundanya membuka toko roti menyalurkan kegemarannya dan selebihnya demi mencari uang untuk kehidupan mereka sehari-hari.
Tangan Regan mengepal melihat Zahnya menyeka keringat dikeningnya dengan ujung kerudung yang dia pakai. Amarah, kecewa dan segala hal yang membuatnya ingin memaki dia tahan.
Dengan cepat Regan melangka membantu Bunda merapikan meja pengunjung. "Assalamu'alaikum." Regan mencium pipi Zahra sambil membawa nampan.
"Wa'alaikumsalam Arz." Zahra menepuk pundak Regan dan mengekor. "Gimana masalah beasiswanya?, tadi pak Avin mempir tanya tentang itu. Ya Bunda jawab kalau kamu cuma ngasih tau dapat tawaran selebihnya kamu tidak pernah lagi menceritakannya." Zahra dudu di kursi, kali ini dia membiarkan Regan mencuci piring.
Sejenak Regan terdiam, mencuci tangan dan berbalik menatap Bundanya. "Regan tidak mau, mangkanya Regan tidak mau membahasnya dengan Bunda," ucapnya lirih namun tegas.
"Ar ...."
"Arz mohon Bunda menghargai keputusan Arz, mendukung setiap keputusan Arz." Regan memotong perkataan Bundanya, melangkahkan kaki dan duduk dikursi disamping Zahra menggenggam tangan Zahra erat. "Ini demi Bunda" ucap Regan.
"Bunda kenapa?, kebanyakan orang ingin dapat beasiswa keluar Negri. Jika kamu kesana masa depan kamu pasti cerah, kamu akan menjadi ...."
"Bunda" panggil Regan kembali memotong kalimat Zahra. "Orang sukses tidak harus keluar negri, tanpa keluar negri pun Arz akan selalu berusaha menjadi anak kebanggaan Bunda. Anak yang akan selalu memastikan Bunda bahagia bersama Arz, kita hanya berdua Bunda, jadi jangan hanya memikirkan kebahagiaan Arz, tetapi kebahagiaan kita bersama. Arz tidak mau meninggalkan Bunda sendirian, I promise Arz akan selalu memastikan Bunda tidak kesepian, dan selalu bahagia ."
Zahra terdiam, tatapan mata cerah Regan mampu membungkamnya. Tak terasa air matanya menetes, dia berdiri dan memeluk Regan dengan erat. Mencium puncak kepala Regan berkali-kali, anaknya sudah bisa membuat janji dan memutuskan masa depannya sendiri.
*-*
Aku janji akan selalu memastikan kamu bahagia.
Kalimat itu berkali-kali terngiang di benak Zahra, kalimat yang hampir sama namun diucapkan oleh orang berbeda.
Belasan tahun lalu dia mendengar kalimat itu, dan kini dia mendengarlagi dari Regan, putranya.
flashback
"Ayo nikah."
Zahra menatap pria didepannya dengan datar.
"Nikah sama gue gak rugi Ra," ucap pria didepannya penuh keyakinan.
Kali ini Zahra menghela nafas, melipat kedua tangannya diatas meja. "First, aku masih kuliah, Second aku ingin mengejar mimpiku kuliah keluar negri and the last ...."Zahra tersenyum sinis. "Aku aja gak percaya kamu tulus mau temenan, lalu berapa bulan lalu kamu ngabis-ngabisin uang cuma mau bilang You Love Me. Lalu ngajakin nikah terus, ngelamar dengan nyewa seluruh restauran ini. Come on ... jangan mempermainkan aku ...."
"gue tidak mempermainkan lo Ara".
Zahra mengibas-ngibaskan tangannya "aku tetep gak percaya, udah deh jangan...".
"lo benci banget ya sama gue?".
Kepala Zahra menggeleng. "Enggak juga, aku seneng-seneng aja kamu melakukan sesuatu yang romantis. Tapi jangan berlebihan sampai nyewa coffe dan restauran segala".
"I don't care lo benci gue apa enggak" pria itu menatap Zahra dengan hangat. "Tapi lo harus percaya gue cinta sama lo amat, sangat cinta. Gue akui awal memang deketin lo atas dasar temenan memang gak tulus karena gue cinta sama Vira, gue cuma mau...".
"Nah... itu salah satu THE REASON kenapa aku gak mau deket-deket sama kamu apalagi nikah" Kali ini Zahra yang memotong dengan menekan kata The reason dan menunjuk muka pria didepannya.
"lo bisa dengerin gue sampi selesai ngomong gak sih?".
Zahra mengangkat kedua bahunya masa bodoh "Seandainya kita nikah dan Savira kembali, memangnya ada yang jamin hati kamu gak berpaling lagi?."
Pria didepannya terdiam tatapan mata itu begitu dingin menatap Zahra, membuat Zahra menghela nafas. Zahra menunduk membuka tasnya mencari sesuatu, dia sudah tau arti dari tatapan itu.
Kecewa?, ya Zahra amat ... sangat kecewa. Karena selama pria didepannya memintanya untuk menjadi teman hingga pacar, dia sudah membuat Zahra berkali-kali bahagia, berkali-kali berdebar bahkan sempat detak jantungnya seakan berhenti berdetak beberap detik saat pertama mendengarnya mengatakan Will you marry me.
Untung saat itu akal sehatnya menyadarkannya, apa yang dilakukan pria didepannya pasti ada maksud tertentu. Dan hari ini pun pria didepannya ini tidak bisa menjamin hatinya selalu untuknya.
Tangan Zahra meletakkan amplop coklat didepan pria itu. "Itu ganti rugi waktu kamu nyewa cafe bulan lalu, kalau untuk retaurant ini sepertinya aku gak sanggup patungan. Thanks for every thing" Zarah berdiri hendak pergi.
"Aku janji akan selalu memastikan kamu bahagia" pria itu ikut berdiri sehingga mereka kebali berhadap-hadapan.
Zahra tersenyum manis. "Thanks, tetapi jawabanku tetap tidak." Putusnya dan pergi meninggalkan pria itu tanpa menoleh lagi.
flash end
.
.
.
Unik Muaaa
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Nur hikmah
uuh abra....jht....pking bnci klw ad pria poligami
2021-11-20
1