"Kamu ngantuk Ra do ?" Tanya saian yang terlihat terkantuk-kantuk, berjalanpun ia sudah sempoyongan.
"Ayo kita istirahat dulu" Sambut Paiman
Tidur merupakan berkah kelelahan, sedangkan pepohonan yang memayungi kami dari teriknya matahari siang adalah anugerah. Saian tertidur pulas meski hanya berbantalkan akar pohon dan berselimut kan angin siang. Sedangkan paiman sendiri melihat-lihat sekeliling.
Pohon jati berbaris rapih seperti aturan prajurit Belanda yang siap membantai Rakyat Indonesia. Seperti itulah kehidupan yang sudah kami lewati selama ini. Meskipun hanya sebentar kami bertemu dengan bangsa Belanda dan Indonesia yang belum merdeka tetapi sakit yang kami rasakan seakan-akan sudah mendarah daging.
Terbayang oleh Paiman. Saat usianya masih sangat kecil.
Kami bersama-sama melarikan diri ke hutan, kala itu Paiman berusaha lima tahun ibunya dalam keadaan mengandung adik lelakinya. Dia dan Supian kakak perempuan nya yang berusia delapan tahun ikut menyebrangi sungai dan menyisir aliran ke hulu mencari selamat. Kala itu eyang Mangunjogo masih ada, beliau memimpin semua orang. Kami berada di tengah hutan bersembunyi cukup lama. Bahan makanan hampir habis terpaksa eyang mencari alternatif makanan. Beliau selalu bertanggung jawab sebelum kami memakan bahan makanan baru eyang selalu mencoba terlbih dulu. Memastikan semua baik-baik saja.
Kami yang saat itu masih terlalu kecil, tidak pernah mengeluh, mengerti semua keadaan. Tujuh teman-temanku yang memang sejak kecil sangat dekat dengan ku selalu bersama dalam susah dan senang. Kami akan mencuri bersama bercocok tanam bersama juga kelaparan bersama. Sepanjang hidup yang kami lalui kami baru sekali ini, di rumah bapak imam ini kami bisa merasakan enaknya makan nasi putih, biasanya kami akan memakan apapun yang ada . Ternyata nasi Memang sangat enak. Makanan kami sehari-hari hanyalah memakan seperti talas, singkong jagung umbi-umbian bahkan ubi nya pisang, gadung yang terkenal beracun pun kami sikat. Lalu, kemerdekaan berkumandang dan kami bernafas lega, meskipun kami masih hidup dengan kemiskinan tapi kita sudah merdeka. Belanda sudah di usir oleh Ir Soekarno. " "Mampus, modar kue, Londo..." Teriak kami satu kampung ikut memeriahkan kemerdekaan.
Paiman menghela nafas dalam-dalam, melihat teman-temannya tergeletak enak di sembarang tempat. Rasanya jika di ingat-ingat tidak bisa melupakan rasa sakit itu. Tapi rasa sakit akan menjadi rasa nikmat jika kita menikmati kehidupan dengan baik. Semua sudah di atur.
*******************
Sore menghiasi hari dengan remang-remang senjanya. Paiman mengulat terbangun dari tidurnya.
"Sore wong. Tangi-tangi" Paiman membangun kan teman-temannya.
Melewati hutan jati pada malam hari sebenarnya sangat berbahaya, binatang buas dan apapun bisa datang menghampiri. Tapi bagi ke tujuh pemuda ini tidak ada yang lebih menyeramkan dari sungai Kali Urang dan sungai kali lembu, atau yang di kebal dengan kampung nya lelembut (mahluk halus). Dengan sesekali melenguh malas mereka melanjutkan perjalanan pulang.
"Do maling kayu jati jadi duit Lo"
"Iyo juga, kamu kenal penampungnya ?"
"Aku kenal. Den Bagus Mardi. Ucap Warno. Anaknya uaaanyu tenan,"
" Di mana tempatnya ?, Tanya paiman langsung semangat" bukan karena anak gadisnya den bagus Mardi yang membuat Paiman senang akan tetapi rupiah yang sudah terbayang di matanya yang membuat ia bahagia
Sebelum pasar blok agung arah Utara, melewati jalan setapak. kurang lebih setengah hari perjalanan kalau kita lewat pasar, tapi kalau lewat sungai bisa. Cuma satu jam-an.
"Masuk itu, ayok..." Ajak Saian semangat
Akhirnya mereka bertujuh bukan berangkat pulang melainkan mencuri pohon Jati. Untuk mereka jadikan uang
Sungai kali lembu mereka seberangi lagi demi untuk perjalanan lebih cepat. Nyali mereka buka hanya hisapan jempol, menyebrangi sungai kali lembu adalah menantang maut selain kadang arus yang tiba-tiba datang, sungai itu di huni banyak Buaya juga menyimpan misteri yang cukup mengerikan. Pada kedalaman tertentu mereka harus bisa menandakan waktu pasang surat sungai dan kedalaman sungai yang biasa di huni buaya.
Tidak perlu lama paiman dan semua temannya Dengan kebanggaan keluar dari gerbang-gerbang kematian menuju jauh ke Utara masing-masing membawa setiap orang dengan sepotong kayu bulat untuk di setorkan pada penadah kayu.
Den Bagus Mardi adalah pembeli semua bahan pokok sayuran-sayuran hasil tani sebagai penutup bahwa ia juga menerima apapun yang orang jual padanya. Di panggil den Bagus Mardi karena wajah menariknya. Dia juga salah satu pemain ketoprak di sanggar bapak imam Bukhori.
Den Bagus Mardi menerima kedatangan kami dengan senang,
"Loh inikan anggota baru, di sanggar pak imam Bukhori to ?" Tanyanya pada Paiman. Paiman hanya mengangguk pelan.
" Apa saja mas yang bisa kami jual di sini ?"
"Apa saja, yang penting kalian hati-hati"
"Kopi mau mas ?" tanya Paiman lagi
"Opo wae, wedok'an Yo aku gelem" Katanya dengan wajah bergurau
" Wedok'an aku Yo gelem mas" Jawab Warno pelan Sabil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Enek wong ayu nggak di kampung kamu ?"
"Ada, namanya Sani"
"Husss, sembarangan. Nggak ada mas, ceweknya cuma dikit, kalau di jual kita nggak kebagian" Jawab paiman menimpali gurauan Warno
"Weh, nggak terima dia ceweknya di kasih orang"
Paiman tidak menjawab apa yang di katakan warno tapi tangannya menyambar kepada Warno dengan keras.
"Kamu di tawarin berguru sama pak imam Bukhori nggak ?" Tanya Mardi
"Nggak!" Jawab Jass sangar, dia diam sepanjang hari, hatinya kesal karena ternyata anak bapak imam Bukhori yang cantik itu sudah bertunangan. Belum pacaran sudah patah hati.
"Kamu tau nggak ada sebuah keajaiban yang terjadi"
"Apa ?"
"Belum jadian, belum pacaran, tapi sudah putus hubungan." Seloroh Pairin dengan wajah polos
"Dancok kue... Aku ini benar-benat lagi jatuh cinta padanya"
"Sudah dekati saja, jangan pedulikan tunangan nya, masih tunangan aja"
"Eh, sebentar lagi mau menikah. Janur kuning sudah mau melengkung di depan rumah itu" Desah Jass kecewa.
"Sudah Jass jangan kecewa. Nanti kita patahkan janur kuning nya"
"Ndasku"
Canda tawa mereka memenuhi ruang yang penuh penyimpanan. Paiman hanya diam saja melihat betapa bahagianya teman-teman nya. Begitu lah cara hidup mereka. Dalam keadaan apapun mereka pasti bahagia.
"Rek," tiba-tiba Paiman membuka suara.
Semua menoleh padanya serius, bagaimana tidak Paiman meskipun sama dengan kami yang konyol dia lebih banyak diam
"Apa do ?" Mami menghampiri Paiman
" Aku di terima menjadi murid di perguruan bapak"
" Mosok!" Den Bagoes Mardi langsung menghampiri Paiman dengan nada terkejut yang berlebihan
" Nggak semua orang di terima berguru di sana. Kapan itu ?" Tanyanya kemudian.
" Tadi pagi, bapak mengundang aku ke rumah, untuk membicarakan tentang latihan yang harus aku ikuti Secara wajib selama satu bulan. Tapi piye keluarga kita," lanjut Paiman bimbang.
Mami Jas dan Saion mendatangi Paiman menepuk pundak temannya ini
"Tenang, kamu pergilah berjuang untuk menimba ilmu, cuma satu bulan, itu tidak lama. Kami semua akan bertanggung jawab pada keluarga kita" Warno menyambungkan pembicaraan mereka.
"Opo ngono Yo ?"
"Yo, ambil ilmu sebanyak mungkin. Dan ajarkan sama kami arti hidup yang sesungguhnya." Balas Saian si pengecut.
Pairin memeluk Paiman sedikit rasa berat, untuk dirinya yang selalu banyak ketakutan. Tidak berada di samping Paiman dia akan sangat terganggu. Selama ini mereka semua tergantung dengan Paiman. Apapun yang mereka lakukan atas komando Paiman. Paiman selalu memiliki solusi untuk semua masalah mereka dan selalu menjadi ujung tombak semua aktivitas mereka.
"Sudah, jangan beratkan dia, dia menimba ilmu untuk kita, an"
"Yo, aku ngerti kok"
Malam semakin larut, suasana dingin kembali menyengat kulit mereka. Istirahat sebentar sebelum melangkah pulang membuat mereka sedikit rileks.
Pagi-pagi buta Mami sudah bangun, ia menyentuh pergelangan tangan Paiman. Paiman membuka matanya pelan di lihatnya Mami yang duduk di sampingnya. Wajahnya sedih.
"Ada apa ?" Tanya paiman, sambil membenarkan letak duduk nya.
"Do, kamu harus berguru demi kami. Aku akan mengurus mbok dan keluarga di rumah" Mami menjelaskan banyak hal hingga membangunkan Saian dan Saion. Mereka berdua Hanya memperhatikan Mami yang memang memiliki perangai lemah lembut itu menitikkan air mata, terlihat berat.
"Berguru sama bapak Imam itu yo sulit," den Bagoes Mardi yang juga sudah bangun dari kamar indahnya bahkan Ia sudah terlihat bagus dengan kemeja dan celana komprangnya ikut mengomentari mami
"Kamu sudah mandi den?" Tanya Saion pada Mardi
"Yo uwes kene kok, di lawan. Anggetmu ganteng nggak butuh perjuangan"
Jass dan Warno juga menyusul bangun mereka berbaring meletakkan kepalanya di atas kedua tangan yang mereka silang kan sebagai tumpuan.
"Mangkat do. Aku dukung!. Mami Ra usah cengeng!. Modo mong berguru! dia masih hidup!masih bisa ketemu kita!"
"Nargis, koyo wes mati wae" Sambut Jass kesal Sambil berdiri, ia menyambar kaos dan beberapa bawakan mereka lekas keluar rumah hendak pergi. "Ayo do tak antar ke rumah bapak imam, jika kita berangkat ke sana jam segini, matahari terbit kita sudah sampai dan kita bisa langsung pulang. Menyebrangi sungai kali lembu pada malam hari tanpa Modo berat buat kita. Jadi ayo kita bergegas." ucapnya lagi membuat semua orang langsung berdiri dan bergegas. Jass memang termasuk orang yang cepat tegas dan bisa di jadikan panutan hanya saja sifatnya yang keras sering kali mengundang keributan
" Iyo, ayo do kami antar kamu ke rumah bapak"
Suasana pagi masih sangat sepi, tapi untuk mereka sepinya suasana pagi ini tidak sesepi hidup di tengah hutan dalam perjuangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
EL SHADAY
wkwkwk 🤪😀
2021-12-04
2