PERJUANGAN MENGUBAH NASIB

Paiman melemparkan hasil tangkapan pada Mami yang memang ahli membuat makanan untuk mereka. “Kita sudah masuk kali urang,” ujar Paiman sembari merapikan diri.

Ke enam pemuda bersamaan menatap Paiman. "Lalu?" ujar Mami gusar.

"Apa boleh buat, ini percobaan kita berada di wilayah asing! Kita akan mencoba sedikit ilmu pemberian eyang."

Mami masih membakar ikan dan udang tangkapan mereka. Dia menatap wajah Paiman tak berkedip. Dalam hati Mami, dia sangat percaya pada sahabatnya itu.

Meskipun dalam keadaan gusar mengolah makanan adalah keahlian Mami, lelaki gemulai itu dengan cepat sudah mulai mengangkat beberapa ikan yang sudah matang.

Pairin terus menerus mempertahankan api agar tetap baik nyalanya.

"Ayok kita percepat pekerjaan di luar gubuk." Ajakan Paiman adalah perintah yang tidak pernah di bantah. Semua orang dengan cepat merapihkan tempat. "Kemungkinan ini sudah masuk waktu malam.” ujar Paiman, “Bangsa lelembut sudah mulai keluar."

Gubuk sederhana di bangun rapih dalam waktu yang singkat. “Kita masuk gubuk dan tidak ada yang boleh keluar sebelum fajar.”

“Ikannya Do?”

Sejenak Paiman menatap Mami, “kita makan seperti itu saja.”

"Iya," jawab pairin menyeret Mami masuk. "Kita tidak akan mati hanya karena makan ikan masih mentah." sambar jass.

Di gubuk ukuran dua kali dua meter persegi ketujuh pemuda dusun Selip itu duduk berhimpitan. Tidak ada yang berani bersuara seperti instruksi Paiman. Ke tujuh pemuda itu diam dalam ketakutan.

Kali urang adalah wilayah baru bagi ke tujuh pemuda itu. Keterpaksaan membuat mereka masuk ke daerah wingit yang di larang untuk di kunjungi.

Konon di siarkan oleh para sesepuh. Ada daerah yang tidak boleh di ambah manusia yaitu daerah kali urang. Meskipun di Sana berlimpah ruah hasil sungai, namun di sana adalah kampung besar para lelembut.

Apa yang di katakan para sesepuh ada benarnya. Saat di mulai nya wayah surup (sore, ba’da magrib) suasana di kali urang menjadi ramai layaknya aktivitas di perkampungan besar.

Riuh aktifitas anak-anak bermain, para wanita saling bercanda dan para lelaki terdengar seperti sedang mencangkul lahan.

Ke tujuh pemuda dusun Selip tidak ada satupun yang bersuara, mereka hanya saling berhimpitan untuk mengurangi rasa dingin tanpa penerangan.

Malam semakin larut juga kampung lelembut semakin ramai dengan aktivitas. Paiman memejamkan matanya, mengurai lelah dalam pejam yang tidak nyaman.

"Apa ini?" ada suara di luar gubuk. Seseorang sepertinya sedang mengawasi gubuk mereka. Suara wanita.

Mami mencengkram tangan Paiman membuat lelaki hitam manis ini membuka mata.

Di wajah Mami terlihat ada ketakutan, "Ssssssttt..." jari Paiman menekan bibir, dan semua hanya mengangguk.

"Opo Iki yoa?"

Masih ada suara beberapa wanita dan langkah-langkah halus.

"Ben wes, ayok bali,"

Lambat laun suara itu menjauh. Paiman masih memejamkan mata.

SIULAN burung-burung hutan begitu indah saling bersautan. Udara masih terlalu dingin membungkus pagi.

Mami lebih awal membuka matanya. Di lihatnya Paiman masih tertidur pulas sembari duduk saling bersandar dengan jass dan Warno. Ada rasa cemburu di hati Mami saat Paiman lebih dekat dengan selain dirinya.

Matahari terlihat sangat indah mengintip mereka dari celah pepohonan menembus gabung mereka yang memang ala kadarnya.

“Sudah pagi,” Mami keluar gabung lebih awal, membuat api, merebus ikan juga beberapa udang galah yang mereka dapatkan kemarin.

Huuuuaaaaax...

Paiman sudah berdiri di belakang Mami yang asyik menyiapkan sarapan untuk mereka semua.

“Ada apa do, semalam?”

“Mboh, aku ketiduran. Sepertinya kita sudah masuk daerah terlarang.”

“Aku takut setengah mati. Memang apa yang akan terjadi jika kita bersuara?”

“Di sini kita orang asing yang datang untuk mencuri. Selayaknya seorang pencuri, bisa jadi kita bakal di hajar masa,”

"He eh, enak kalau yang menghajar kita manusia seperti kita, jika yang menghajar kita lelembut...?" lanjut Paiman.

“Serem Yo Do?”

“Serem mana, Londo opo lelembut?”

“Do, ini kopimu,”

Mami menyerahkan secangkir kopi pada Paiman.

Glek ..glek ..glek...

Terlihat Paiman begitu menikmati. "Masih panas Do, hati-hati."

Paiman adalah pemandangan yang indah bagi Mami, kepuasan Paiman adalah sebuah kebahagiaan tersendiri bagi lelaki yang memiliki perangai gemulai bak seorang Srikandi itu.

Bagi Mami Paiman lebih dari seorang sahabat melainkan sudah seperti adik kandung sendiri.

“Aku sudah bakar udang untuk mu,”

Paiman mengangguk pelan sembari menggapai udang bakar yang sudah di siapkan untuknya.

Jass dan Warno mengintip dari balik pintu, “sudah pagi rupanya.’ Ucapnya sembari melompat keluar gabung. “Kopiku mana Mi?”

Mami dengan sigap langsung menyediakan minuman penyegar di pagi hari, kopi tubruk dan sarapan.

“Kemana kita selanjutnya, Do?”

Paiman hanya mengernyitkan dahi mengangkat kedua bahunya sopan. “Do! Semalam. Apa itu yang namanya bangsa lelembut?”

Jass menyeruput kopinya dengan teramat nikmat. Paiman masih tidak bersuara. Sesekali Paiman masih menguap begitu nikmat. “Bisa tidur?” tanya jass lagi.

“Kita berburu udang galah, untuk beberapa orang membenahi gubuk agar lebih layak.”

“Biarkan aku di gubuk,” Mami menyahut ucapan Paiman.

Matahari belum sempurna dengan cahaya. Ke enam pemuda itu tidak menyia-nyiakan waktu. Mereka langsung menerjunkan diri ke aliran sungai yang tidak seberapa deras.

“Bisa ya Do, alirannya kecil tapi memiliki hasil yang banyak?”

“Karena tidak ada yang berani ke sini,”

Benar juga kata Paiman. Jass mengangguk sambil tersenyum, terus berusaha mendapatkan hasil yang memuaskan.

“Do, mengapa kita tidak membuat gubuk yang sedikit jauh dari perbatasan, bukannya itu lebih aman.”

Paiman berdiri. “Kita sudah membuat gubuk di perbatasan.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!