Kabut mulai tebal menutupi pandangan. "Kamu yakin do? kita ke sana."
Bergelut dengan hewan liar, dan kedinginan malam, itu adalah keseharian mereka. Tapi mendatangi kali urang seperti bunuh diri sebenarnya.
"Tidak ada jalan lain, jika kita tidak ke sana bukan cuma kita yang mati tapi seluruh warga kita."
Hidup di sebuah kampung kecil yang terletak di kota Banyuwangi. Desa Sumber Urip tepatnya di dusun Selip. Dusun yang terletak jauh di tengah hutan. Untuk mencapai keramaian penduduk harus berjalan kaki selama enam jam melewati hutan belantara, hutan jati, sungai kali deras yang angker juga di huni buaya . Tapi itulah kampung halaman Paiman.
Mungkin tidak ada yang tau jika di sudut kota Banyuwangi. Ada sebuah dusun kecil di huni dua puluh kepala keluarga.
Dari mana asal muasal dusun Selip? penduduk dusun Selip adalah mantan abdi dalem keluarga Paiman yang tadinya seorang Demang di kerajaan Mataram.
Hidup mati bersama adalah falsafah Semua apdi dalem Demang mangunjogo. Mereka melarikan diri bersama, akibat ulah dari Belanda yang mengacak-acak dan mengadu domba semua orang. Kademangan menjadi kacau, penduduk menjadi terpecah belah dan saling bunuh. Timbul fitnah kejam yang memaksa keluarga besar Demang Mangunjogo melarikan diri ke hutan.
Waktu yang panjang membuat umur semakin pendek, sepeninggal Demang Mengunjogo dusun kecil itu di pimpin ayah Paiman yang bernama kaulah. Akan tetapi Mbah kaulah sendiri justru tergila-gila dengan ilmu sejati melupakan tangung jawab untuk memimpin dusun mereka. Alhasil Paiman yang masih berusia sepuluh tahun kala itu menggantikan ayahnya memimpin penduduk.
Kemerdekaan yang di kumandangkan oleh presiden Sukarno hanya berlaku bagi sebagian kecil orang, atau memang hanya sebuah tulisan. Meskipun demikian itupun sudah benar-benar membuat perubahan besar di semua kalangan masyarakat.
Dusun kecil Paiman meskipun belum lepas lima puluh persen dari penjajahan Belanda namun sudah dapat merasakan kebahagiaan kemerdekaan. Untuk sesaat semua orang bisa menarik nafas dalam-dalam 'lega'.
Berjalan memutar arah menunjuk jauh untuk mencari udang sebagai alternatif bahan makanan.
"Do! wes peteng, piye?"
Paiman menghentikan langkah. Kabut tebal biasa terjadi di daerah wingit (angker). Ragu-ragu Paiman memberikan keputusan untuk terus melanjutkan perjalanan.
"Kita berhenti di sini saja." Saat melihat aliran sungai yang mengalir tenang Paiman menghentikan langkah.
"Berhenti di sini?" Warno mengamati lingkungan yang tampak tenang. "Tidak berbahaya apa do?"
Paiman bersedakap, merapatkan tangannya. Matanya menatap liar ke seluruh hutan. Jikalau ada babi hutan atau rusa atau ayam hutan atau apapun yang bisa mereka olah untuk santapan mereka malam ini. "Tidak ada apapun di sini, bahkan untuk kita makan."
Bertujuh berdiri berhimpitan. Dingin mulai masuk menusuk tulang mereka. "Akan berbahaya jika kita berteduh di sini, tapi ini sudah terlalu gelap untuk melanjutkan perjalanan." Ujar Paiman bergumam.
Hmmmm... Apa salahnya aku menerapkan ilmu yang di berikan eyang mangunjogo. Menjajal ilmu dengan nekat.
Warno menghampiri Paiman, "Apa ini sudah masuk kali urang?"
Aliran sungai yang berhadapan dengan Paiman kali ini begitu tenang. Tapi seperti pepatah yang mengatakan air tenang menghanyutkan.
"Di sini tidak aman tapi kita tidak punya pilihan lain."
"Do, ini masih ada sedikit waktu jika kita terus menyisir sungai, kita akan mendapatkan banyak yang bisa di makan. Lihat..."
Di arah yang di tunjuk Warno seekor ular sangat besar sedang melilit pohon. Jelas bahaya untuk mereka tetap tinggal di tempat itu. "Bisa jadi sungai ini memiliki banyak penghuni sebangsa itu." Jelasnya lagi.
"Baik'lah, kita akan melanjutkan perjalanan saja, rek!" Paiman mengeluarkan belati kecil, menghampiri sebongkah batu terbesar di bawah pohon tenam yang menjulang tinggi.
'KEDONG MODO 1'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Ayesha
siiiipp
2022-06-21
1
Strobery 🍓
seruuu, 👌👍
2021-10-18
1
Arjuna'Bayu
hallo Gita, it's me
2021-10-17
2