Deka menatap ke arah jendela pesawat yang ia tunpangi. Ia hanya dapat melihat birunya langit dengan hamparan awan putih di beberapa titik. Sinar matahari membuat ia tak mampu melihat ke arah luar terlalu lama, karena silaunya. Jadi ia menutup jendela pesawat dengan gorden dan diikuti dengan menutup matanya.
Sudah satu jam setengah ia berada dalam pesawat ini, dan sudah selama itu pula ia mencoba untuk tidur tapi gagal. Pikirannya tidak bisa tenang. Mungkin dia terlalu grogi untuk bertemu anggota keluarga lamanya, bukan keluarga lebih tepatnya tantenya saja. Satu-satunya orang yang ia anggap keluarga hanyalah tantenya, karena baginya tidak ada orang lain yang lebih baik daripada tantenya di keluarganya. Khususnya ketika kedua orang tua Deka meninggal dunia, hanya tantenya lah yang memberikan ia kasih sayang. Jadi, dalam pikirannya terus merenung perkataan pamannya tentang kondisi tantenya.
"Semoga tante baik-baik saja," Doa Deka sebelum akhirnya tertidur.
30 menit berlalu setelah ia tertidur, pesawat yang ia tumpangi akhirnya sampai di tempat tujuannya. Kedatangannya disambut oleh seorang pria yang sangat ia kenal. Seorang pria yang penampilannya tidak banyak berubah setelah 15 tahun tak bertemu yaitu kakak sepupunya, Altan.
"Yo,,, adik. Lama tidak bertemu," Sapa Altan begitu melihat kedatangan Deka di depan pintu keluar bandara. Altan memeluk Deka dan mengisyaratkan orang di belakangnya untuk membawa koper Deka setelah pelukan mereka selesai. Nampaknya orang itu adalah supir Altan. "Bagaimana kabarmu adik?"
"Tak usah bersikap sok baik, atau apakah kau sudah berubah menjadi orang yang lunak?" Jawab Deka berjalan menghiraukan Altan yang masih diam di tempat.
"Hei, adik sialan. Kau masih sama kurang ajarnya seperti dulu." maki Altan menyusul adiknya dan diikuti oleh supirnya yang membawa koper Deka. "Kalau saja bukan karena perintah ayah, mana mau aku menyambut kedatanganmu."
"Kalau memang tak ingin, bilang saja tidak pada pak tua itu. Lagipula aku bukan anak kecil yang mesti dipegang tangannya setelah pulang sekolah." Balas Deka membiarkan Altan berjalan di depannya, karena ia tak tahu di mana letak posisi mobil Altan. Kakak sepupunya hanya bisa mendengus kesal mendengar balasan adiknya. "Cih, kalau saja hutang itu tidak ada, tentu saja aku tidak akan di sini. Dan kau, pasti akan tetap mendekap di selmu."
Deka tidak membalas perkataan sepupunya itu. Dia hanya terdiam dan terus mengikuti sepupunya sampai ke arah parkiran mobil. Tepat ketika mereka sampai di depan mobil Altan, Deka menghentikan langkahnya.
"Kau, pergilah duluan. Ada urusan yang harus kulakukan," Ucap Deka meninggalkan Altan tanpa menunggu persetujuan darinya.
"Hei, mau kemana kamu? hei!" Altan berusaha menahan kepergian Deka. Tapi sayangnya Deka sudah masuk duluan ke dalam sebuah taxi di dekat sana sehingga Altan hanya bisa pasrah dan mengumpati Deka. "Dasar adik sialan! Bagaimana jika nanti aku dimarahi ayah!"
Sementara itu, Deka memberikan lokasi tempat yang ia tuju pada supir taksi yang ia tumpangi.
"Maaf sebelumnya, apa tuan ini bule?" Tanya si supir mencoba mencari topik untuk mencairkan suasana.
"Hhhmmm, saya orang Indonesia kok, Pak." Jawab Deka dengan sopan.
"Loh serius? eh, maaf, bukan maksud rasis atau mandang fisik, cuman penampilan tuan seperti orang luar negeri atau bule,"
"Hehehe, ganteng kan pak?"
"Jelas dong, tuan."
"Gak usah tuan, pak. Panggil aja Deka, soalnya gak seistimewa itu buat dipanggil tuan."
"Oh, Deka. Kenalin saya pak Supridi, biasanya dipanggil Supri. Oh, iya, Mas Deka asli mana?"
"Indonesia, pak."
"Loh, seriusan?"
"iya."Jawab Deka dengan sedikit terkekeh. Dia melihat wajah pak Supri yang tak percaya membuat ia sedikit lebih rileks."Iya, Indo campuran."
"owalah pantesan bahasa Indonesia lancar tapi mukanya kayak wong bule." (Wong : Orang)
"Ah enggak kok. Wajah pribumi gini."
"Mana ada mas, wajah pribumi asli cakepnya kayak sampean." (Sampean : Kamu)
"Wih, bapak e iki wong jowo?"(Bapak ini orang jawa?)
"Loh, iso gae boso jowo ta mas?" (loh, bisa make bahasa jawa mas?)
"Iyo, sedikit aja pak. Maklum pribumi kw." Balas Deka membuat keduanya tertawa.
"Kw piro?"
"Kw papat pak, Bali, tionghoa, Meksiko, Kanada."
"banyak banget mas?"
"hahahaha, iya. Ibu orang Bali keturunan tionghoa, kalau ayah orang Meksiko campuran kanada. Nah sayanya lahir jawa." Beginilah silsilah keluarga Deka secara singkat. Ibunya yang memang orang Indonesia tapi tetap memiliki darah tionghoa dan ayahnya berdarah campuran antara Meksiko dan Kanada. Jadi tak heran jika wajah tampannya terlihat seperti bukan dari pribumi, karena memang DNAnya berasal dari berbagai suku bangsa.
"Owalah, banyak ya mas. Tapi pentesan aja bahasa Indonesia nya lancar banget, ternyata lahir di Indonesia. Udah berapa lama di Indonesia?"
"Kira-kira sampai lulus SD saya ada di Indonesia. Bapak sendiri, asli mana?"
"Oh, saya, saya itu blasteran juga. Blasteran jawa madura." Ungkap pak Supri disambung tawa oleh keduanya.
****
Setelah satu jam berada dalam hiruk pikuk kemacetan kota, akhirnya Deka sampai ke tempat tujuannya.
"Sudah sampai, mas" ucap Pak Supri memberitahu Deka bahwa mereka sudah sampai.
"Iya, pak. Terimakasih ya. Buat pembayarannya, boleh tunggu sebentar. saya ambilkan di dalam dulu." kata Deka setelah keluar dari taksi pak Supri. Deka memang benar-benar tidak memegang uang sepeserpun sekarang, karena dirinya baru saja keluar dari penjara bebearapa jam yang lalu.
"Hhhmmm, yasudah mas, gapapa." Balas pak Supri menahan kepergian Deka.
"Loh, maksudnya gimana, Pak?"
"hehehe, iya gapapa, mas. Gausah bayar." Sontak Deka terkejut sekaligus heran mendengarnya.
"Serius, Pak? Dari sini ke bandara lumayan jauh loh, Pak." Tanya Deka masih dengan penuh tanda tanya di kepalanya.
"Iya, serius. Masalah jauh atau enggaknya, bukan masalah. Toh, ini taksi saya. Jadi gak perlu khawatir soal setoran."
Deka menimbang perkataan pak Supri. Dia mulai menilai wajah pak Supri yang kalem dan terlihat begitu bahagia.
"Tapi nanti bapak kekurangan uang,"
"Uang masih bisa dicari, anggap saja ini bonus dari bapak." Terang pak Supri.
"Hhhmmm memang kurang saya sukai, tapi kalau bapak memaksa yasudah akan saya ikuti. Tapi, boleh minta nomer telponnya?"
"Buat apa, mas?"
"Buat nanti kalau saya mau pergi bisa makai jasa bapak lagi,"
"Heh, serius mas?"
"Iya," Akhirnya Deka mendapatkan nomer telpon pak Supri. Dan setelahnya pak Supri pamit dan disusul Deka yang mulai memasuki sebuah perkantoran yang menjulang ke langit. Dia berjalan ke arah resepsionis yang ada di lantai satu.
"Selamat datang, ada keperluan apa?" Tanya salah satu wanita yang ada di resepsionis dengan memandangi wajah tampan Deka.
"soy el rey." Kata Deka kepada wanita itu. Lantas wanita itu terkejut mendengarnya, kemudian dia menundukkan badannya merasa tidak sopan memandangi ketampanan Deka tanpa izin.
"Maaf, Bos. Tidak mengenali anda dan memandang anda tanpa izin." ucap si wanita masih dalam keadaan tertunduk. Sebelum bekerja di perusahaan besar ini, dia sudah sangat paham sekali arti kode itu. Jadi meminta maaf adalah satu-satunya pilihan yang ia punya.
"Tak masalah. Angkat kepalamu, terlalu banyak orang yang melihat jika kau trus menunduk." Ujar Deka mempersilahkan wanita itu menatapnya kembali. Dan bukannya melayani Deka, wanita itu malah terdiam memandangi Deka.
'Hhhmm, tak ku sangka pria ini adalah bosku. Sudah tampan, berwibawa, dan ternyata baik hati tidak seperti yang dirumorkan.' Batin wanita itu sambil tersenyum-senyum sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments