"ah, keponakanku." Ungkap seseorang ketika neluhat Deka masuk ke dalam ruangan kepala sipir. Pria itu berdiri dan mendekati Deka. ia melebarkan tangannya hendak memeluk Deka. Namun bukannya memerima pelukan hangat itu, Deka malah menahan pria itu agar tidak mendekatinya bahkan tidak mengizinkannya sampai memeluk. Sehingga mereka berdua hanya saling tatap tanpa ada yang berbicara.
"Hei, bodoh. Kenapa kamu tidak memborgol tangannya!" bentak kepala sipir kepada bawahannya.
"em, itu, anu, pak kepala." Sipir itu membeku tak bisa menjawab atasannya. Sedangkan paman Deka dibuat tersenyum dengan kelakuan keponakannya itu.
"Hahahaha, tak perlu khawatir. Kami adalah keluarga. Rasanya aneh jika mengobrol dengan anggota keluarga yang tangannya diborgol. Apakah kau setuju, Deka?" Kata paman Deka menyindir keponakannya. Sontak hal itu membuat suasana di sana menjadi semakin tegang. Deka memang tidak menjawab pertanyaan pamannya, tapi matanya memandang pria itu intens.
"Baiklah, bisakah kalian membiarkan kami berbicara berdua saja," pinta paman Deka kepada kepala sipir dan seorang sipir yang ada di sana. Melihat kecanggungan di antara keduanya, kepala sipir mengambil inisiatif untuk meninggalkan mereka berdua.
"Tapi, tuan?" ucap sipir tadi tidak tega meninggalkan mereka berdua.
"Hei, bodoh. Gajimu ingin ku potong? Maaf tuan atas sikap bawahan saya. Silahkan, kalian berdua boleh berbincang berdua di ruangan ini. Dan kau, ikut aku." Balas kepala sipir menyeret paksa bawahannya yang enggan meninggalkan ruangan itu.
"Apa tujuan utama kamu kemari?" Tanya Deka begitu mereka hanya tinggal berdua.
"Kamu masih tidak berubah, begitu tidak sabaran bila bertemu denganku. Tapi tak masalah, bagiku kau hanya anak nakal yang masih dalam batas wajar." kata paman Deka seraya mengambil posisi duduk yang nyaman di kursi belakangnya. "Kau boleh duduk, Deka. oh, maaf, terserah kamu mau duduk atau tidak aku tidak peduli. Cerita ini akan cukup penting bagimu, jadi mendengarkan secara baik adalah hal yang paling logis untukku sarankan."
Dengan berat hati Deka duduk di kursi yang terletak di depan pamannya itu. Dia memang tidak suka dengan kedatangan pamannya, tapi akan berbeda cerita bila pamannya mau menemuinya setelah 15 tahun lamanya. Karena dia yakin, pasti ada suatu permasalahan yang tidak bisa diselesaikan oleh pamannya hingga ia mau datang kemari.
"Cepat ceritakan!" titah Deka yang lebih memilih untuk mengikuti saran pamannya, yaitu untuk duduk di kursi depan pamannya.
"hehehe, kau akhirnya menurut. Baiklah langsung saja ke intinya. Aku mau kamu melunasi hutangmu padaku." Ucap paman Deka dengan lancar dan jelas, bahkan seketika raut wajahnya menjadi serius. Dia menatap Deka tanpa keraguan sedikitpun, menyiratkan perkataannya barusan adalah sebuah fakta bukanlah bualan. "Ku jelaskan secara singkat, kedua orang tuamu memiliki hutang nyawa padaku. Dan kamu pasti ingat hal itu bukan?"
Mungkin lebih tepatnya, Deka lah yang memiliki hutang nyawa pada pamannya. Hal itu di karenakan pamannya sempat menolong dirinya saat ia masih balita. Pada waktu itu, keluarga Deka sedang tertidur lelap di kediaman mereka. Namun, saat jam menunjukkan pukul dua malam, sebuah api menyala dari dalam rumah. Naasnya api itu cepat menjalar tanpa diketahui oleh para penghuni rumah. Sampai pak satpam yang menjaga diluar berteriak dengan kencang, "Kebakaran! Kebakaran! Tuan yang di dalam cepat keluar! api sudah menjalar hampir kesemua ruangan."
Ayah Deka yang merasa kebisingan dari luar segera bangun, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat kobaran api menyala di rumahnya. Tanpa aba-aba, dia langsung mengendong istrinya yang masih tertidur dan melewati kobaran api di area kamar mereka. Meski sedikit kesulitan, ayah Deka dan Istrinya berhasil keluar dari rumah dan berkumpul bersama para pelayan yang selamat.
"Pak, semua sudah berhasil diselamatkan?" tanya ayah Deka kepada salah satu pelayan yang ada di sana.
"um, semua pelayan berhasil selamat tuan. Tapi,,," Putus pelayan itu tidak berani meneruskan ucapannya takut tuannya marah.
"Tapi, apa?" kali ini bukan ayah Deka yang bertanya melainkan istrinya.
"Sayang, kamu sudah bangun? tenanglah, dia mau menjelaskan semuanya." ucap ayah Deka menenangkan istrinya.
"Tu, tuan muda nyonya. Tuan muda masih di dalam." Jelas pelayan itu ketakutan, karena tuan muda mereka sedang tidur dan dijaga oleh para pelayan. Hanya saja, mereka sangat panik saat itu sehingga lupa membawa tuan muda mereka.
"Apa!!" Teriak pasangan suami istri itu kaget bukan main.
"Hei, kalian berdua. Tenanglah, dia bersamaku." Terang seseorang yang mendekati mereka. Ia tak lain adalah paman Deka.
"Ah, anakku." Ucap mama Deka menyerbu paman Deka dan mengambil Deka dari gendongan pamannya. Ayah Deka juga ikut mendekati anaknya. Dia memeluk kedua orang yang begitu ia cintai, istri dan anaknya.
"Terimakasih, kak. Karena kakak, anak kami selamat. kami pasti akan mengingat ini," Kata ayah Deka dengan tulus.
"Hem, itu hanya kebetulan saja. Ketika aku sedang mau keluar dari rumah itu, aku mendengar suara tangisan darinya. Makanya aku menolongnya," Balas paman Deka berjalan meninggalkan mereka bertiga karena merasa tugasnya sudah selesai.
"Kami pasti akan membalasnya, kak." Lanjut ayah Deka sambil memeluk hangat istrinya. Sedangkan paman Deka menghiraukan perkataan adiknya itu. Dan memang itu hanyalah sebuah kebetulan saja. Tapi tanpa kebetulan itu, Deka tak mungkin ada di sini saat ini.
"Cih, iya aku ingat hal itu. Mama selalu menceritakan kejadian itu. Jadi, kau mau apa? mengambil nyawaku?" tanya Deka dengan berani. Dia memang tidak main-main dengan ucapannya, bila memang harus mati saat ini juga, dia siap. Baginya hutang memang harus dibayar, bahkan bila nyawa adalah bayarannya.
"Hahahaha, sungguh berani. Ya, aku mau nyawamu. Tapi untuk kematianmu? itu bukan solusi yang kumau. Bibimu akan marah jika tahu kau mati di tanganku. Jadi, aku mau kamu menyerahkan nyawamu dengan cara yang lain." Terang paman Deka mulai mengendorkan pandangannya. Dia lebih santai dari sebelumnya.
"Apa itu?" tanya Deka penasaran, meski di dalam hatinya begitu terenyuh begitu mendengar kata bibinya. Tapi dia mengenyampingkan hal itu, karena dia tahu bahwa kedatangan pamannya bukan sekadar main-main. Melainkan menagih sesuatu yang setara dengan nyawanya.
Dengan smirk yang sulit untuk dijelaskan pamannya berkata, "Sebagai balasan dari hutangmu, kau cukup melakukan hal yang mudah. Yaitu, menikahi seorang wanita."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 126 Episodes
Comments