...5. Ibunya... Bukan Ibuku....
Biru.
“Kamu itu anak tertua, Bi! Kamu berhak atas apa yang Papa kamu punya. Kalau bukan kamu yang pegang perusahaan Papamu, yang ada anak-anak Senja keenakan! Mereka bisa dapetin semua, sedangkan kamu?! Lagian apa sih bagusnya buka studio foto gitu? Gak guna!” sungut Mama Jihan saat mendengar tentang usaha yang akan Ia rintis.
Niat awal datang untuk berkunjung dan memberitahukan bahwa studio akan resmi dibuka esok hari. Serta membawakan sebuket bunga tulip kesukaannya demi menguar rindu akibat kesibukannya akhir-akhir ini, Kini lenyap sudah.
Mama Jihan tetap pada pendiriannya, Ingin Biru menggantikan posisi Papa di perusahaan. Mama selalu berpikir kalau Ia adalah pewaris tunggal Papa tanpa memperdulikan keberadaan Barid dan Barsha.
“Atau jangan-jangan ini ide dari Senja?! Iya Bi, bener gitu? Biar anak-anak dia yang kendaliin semua harta Papamu?”
Biru menghela napas berat “Bukan, Ma... Ini memang maunya Biru. Papa sama Mama Senja juga awalnya nggak setuju, aku yang paksa.” sanggahnya.
Mama Jihan menggeleng-gelengkan kepala, cara Ia menghisap sebatang rokok dengan ritme cepat menjelaskan kekesalannya. “Bodohnya kamu, Bi... Menukarl masa depan sama usaha yang nggak jelas! Mau kayak apa hidup kamu nanti!”
Dilihat jam dinding terus bergulir hingga menunjukan angka tengah malam. Apartemen kembali sepi setelah kepergian Mama Jihan bersama teman-temannya tadi. Tak sadar umur, sudah tua tapi kelakuan seperti anak muda. Setiap hari yang dilakukan hanya party, jalan-jalan, arisan sosialita atau entah apa itu sebutannya.
Biru melirik buket bunga yang dibawa masih teronggok rapi ditempatnya meletakkan tadi. Senyum masam terlukis di bibirnya. Disentuh saja tidak!
Lalu Ia meraih kunci motornya dan pergi meninggalkan Apartemen tak berpenghuni itu. Sempat berpikir ingin pulang, tapi pasti akan menjadi pertanyaan oleh Mama Senja yang tahu dirinya pulang ke tempat Mama Jihan. Akhirnya Biru memutuskan pulang ke studio. Setidaknya ada Gentar disana yang bisa menemani.
...🌼🌼🌼🌼🌼...
Khadijah.
Dipaya. Gadis yang Kha kenal karena beberapa waktu lalu ingin mengambil barang miliknya, sekarang ia bawa untuk bekerja di toko bunga. Menurut cerita dari Dipaya, sejak usianya 10 tahun, ia dan Fateh adiknya yang kala itu masih berusia 7 tahun ditinggal oleh kedua orangtuanya karena mengalami tabrak lari. Semenjak itu Dipa dan Fateh tinggal berdua di rumah peninggalan orang tua. Mereka hanya mengandalkan belas kasian orang untuk bertahan hidup, setelah tidak ada satu keluarga pun dari pihak Ibu maupun Ayahnya yang ingin merawat mereka.
Setelah lulus dari sekolah dasar. Dipa diajak oleh tetangganya menjadi tukang rongsok, mencari dan mengumpulkan kardus serta botol plastik untuk kemudian dijual. Dipa yang tidak ingin sang adik mengalami nasib buruk sama seperti dirinya pun akhirnya bekerja siang malam agar bisa menyekolahkan Fateh.
Dari cerita tersebut Kha merasa tersentuh dan mengajak Dipa untuk bekerja di toko bunganya.
“Yang ini dilipat begini, sebelahnya juga sama. Di pas-in jangan sampai lebar sisi kanan kiri beda.” ucap Kha yang tengah mengajari Dipa cara merangkai buket bunga. “Nah kalau dasarnya udah, tinggal letakkan Bungan yang diikat tadi diatasnya, terus dibungkus kayak gini.”
“Terus ini pitanya?” tanya Dipa.
Kha merapikan bunga yang sudah terlilit rapi diantara berbagai macam kertas. “Pitanya buat bagian akhir. Biar kelihatan rapi dan cantik.”
“Ta--daa.” Kha mengibaskan buket bunga buatan dirinya.
Dipa membuang napas berat. “Kelihatannya gampang, tapi pas dicoba susah!” keluh Dipa.
Kha mengelus pelan punggung Dipa. “Nggak apa. Pelan pelan aja belajarnya.”
Mungkin karena Kha belum melakukan banyak promosi dan belum diketahui banyak orang. Toko bunga masih sepi. Karena itu ia gunakan waktunya untuk mengajari Dipa tentang semua jenis bunga serta artinya. Agar Dipa tak kesusahan saat nanti ada pelanggan meminta merekomendasikan bunga yang cocok untuk kebutuhan mereka. Juga mengajarkan cara merangkai hand buket, bunga meja, sampai standing flowers. Untuk kebutuhan membuat papan bunga, Kha sengaja meminta Adskhan sepupunya untuk membantu.
“Assalamualaikum, Kha....” sapa Barid dari ambang pintu.
Kha mengehentikan kegiatannya dan menghampiri Barid. “Waalaikumsalaam, Mas Barid. Ada yang bisa saya bantu?”
Barid hanya mengulas senyum kemudian melangkah masuk kedalam toko, pria itu berkeliling melihat bunga-bunga hias yang dipajang sebagai barang contoh.
“Kalau mau ngasih hadiah bunga buat orang, bagusnya bunga apa?”
“Untuk merayakan sesuatu atau sekedar hadiah saja, Mas?” tanya Kha antusias.
Barid duduk di kursi besi yang terdapat didepan meja kasir, “Sekedar hadiah buat Mama.”
Kha melangkah menuju rak susun. Menunjukan beberapa contoh bunga kepada Barid. “Sebenarnya tergantung selera masing masing. Tapi bunga mawar atau bunga Lilac bagus untuk diberikan pada Ibu.” terang Kha. “Bisa juga anggrek, anyelir... Atau mau bunga tulip? Sama seperti yang Mas Biru pesan buat Ibu kalian kemarin?”
Dari pembicaraan waktu itu, Kha menerka jika Barid dan Biru adalah kakak beradik. Semakin tahu saat acara pembagian kotak makan siang kemarin, karena Kha juga sempat berkenalan dengan perempuan bernama Senja. Perempuan yang mengaku sebagai Ibu dari Biru dan Barid. Karena itu Kha mengira bahwa Biru memesan bunga untuk Senja.
“Dia pesan buat Ibunya. Bukan Ibuku.” jawab Barid singkat namun terdengar sarkas.Kha hanya mengernyitkan dahi tanpa menjawab perkataan Barid.
“Jadi mau bunga apa?”
Bukannya menjawab pertanyaannya, Barid justru kembali melemparkan pertanyaan yang sama “Menurut Kha. Bagusnya bunga apa?”
Kha berpikir sejenak, kemudian menyarankan bunga mawar. Ia akan memadukan antara mawar merah dan pink, kemudian membuatnya menjadi sebuah bloombox buket bunga mawar.
Barid masih duduk di depannya saat dirinya tengah mempersiapkan bunga pesanannya. Sesekali pria itu melemparkan senyum tanpa mengalihkan perhatian barang sejenak, membuat dirinya merasa sedikit tak nyaman.
“Cantik ya...” ucap Barid menatap puas bunga buatannya. “Mamaku pasti suka. Bunganya cantik, kayak yang bakal nerima bunga ini... Juga kayak yang buat.” sambungnya.
“Makasih, Mas.”
Diwaktu yang sama. Aming, kucing berbulu putih dengan sedikit corak cokelat susu masuk kedalam toko dan menghampiri Kha. “Aming....” panggil Kha.
Kucing kecil lucu itu mengibaskan ekor dan mengitari dirinya. Sesekali memainkan ujung gamis miliknya. Karena Kha menyukai kucing, mungkin Aming bisa merasakannya, sebab itu kucing kecil ini suka sekali menghampiri dirinya sekedar untuk bergelayut manja atau rebahan diatas pangkuannya.
Namun ekspresinya mendadak berubah karena terperanjat saat Barid menarik paksa Aming dari pangkuannya tanpa permisi. “Kamu ini... Sama saja seperti tuan kamu. Sukanya mengganggu kesenangan orang.” ucap Barid yang tak dapat Kha ketahui maksudnya.
“Kha, bunganya jadi berapa?”
“Em-empat ratus ribu, Mas....”
Lalu Barid mengeluarkan uang pecahan berwarna merah dan biru kemudian menaruh diatas meja. “Ini ya Kha. Makasih, bunganya bagus.” ucapnya sembari keluar dari toko. Ia masih mendengar saat Barid berbicara dengan Aming. “Ayo pulang! Dasar kucing nakal.”
To be continued.
Terimakasih yang sudah mampir dan selalu mendukung 🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
тαуσηg
sibarid lagi sok kecakepan tebar pesona ma kaka ipar, sendiri
2022-07-22
0
Ade Safitri
suka sama novel ini...gaya bahasa,alur ceritanya, sama nama tokoh2 di novel ini ...
👍salut buat author 💪 semangat selalu....
2022-04-20
0
♣Ayick➿Junlioᵉᶜ✿☕✅
astaga,, kok gitu amat sih
2022-04-15
1