...3. Dia Biru....
Biru.
“Lima menit lagi....”
“Bentar, Ma. Kepala aku muter-muter kalau langsung bangun.”
Sesaat kemudian.
“Ma... Liat Sepatu aku yang hitam nggak?”
“Topi sama dasi aku Mama taro mana?”
“..., Tadi nggak ada kok! Kalo Mama yang cari kenapa mendadak ada?!”
Matanya terpejam, tapi mulutnya menyunggingkan senyum. Dialah Barsha, anak bungsu dirumah yang tingkah lakunya membuat suasana rumah menjadi ramai. Gadis kecil yang masih berseragam putih abu, kelas 12 itu selalu ada saja ceritanya setiap pagi. Mood booster nya keluarga. Kalau kata slogan 'Nggak ada Lo nggak rame'
Biru bergegas bangkit dari ranjang menuju kamar mandi. Hari ini ia akan melanjutkan pekerjaannya yang kemarin sempat tertunda, menyelesaikan membereskan ruko. Selesai dengan ritualnya, ia turun ke ruang makan menghampiri yang lain.
“Pagi Ma, Pa.” sapa Biru kepada Orang tuanya.
“Pagi Sayang, kamu mau sarapan nasi goreng kemangi apa roti oles?” tanya Senja.
“Aku ngga disapa?” protes Acha, panggilan kesayangan keluarga untuk tuan putri di rumah.
Biru mengacak-acak ujung poni Acha seraya mengecup pelan rambutnya. “Pagi bocil tukang ngambek.”
Acha melipat bibir dengan mata memicing, “ishh! Aku bukan bocil, Abang! Acha sudah kelas 12 kalau Abang lupa.”
“Roti saja, Ma.” Biru menerima dua lembar roti tawar yang Senja berikan, lalu mengolesinya dengan selai kacang.
Di rumah ini hanya Barid yang kebiasaan absen makan bersama. Kesibukan Barid bahkan melebihi kesibukan Papa yang hampir seluruh waktunya dihabiskan di kantor. Selain tengah menyiapkan tesis, anak itu juga disibukkan dengan keanggotaannya di berbagai klub. Seperti klub mobil sport, komunitas pecinta alam, komunitas seni, juga masih banyak lainnya.
“Kamu yakin satu ruko cukup buat studio photo kamu, Bi?” tanya Awan, Papa Biru.
“Cukup, Pa. Buat permulaan Biru nggak mau muluk-muluk.”
Harmonis. Satu kata yang menggambarkan potret keluarga mereka. Berbeda dengan Barid dan Barsha, meski Ia anak kandung dari Papa, tetap saja Biru adalah anak sambung dari Mama Senja. Mama kandungnya sendiri yaitu Jihan. Perempuan yang beberapa tahun lagi akan menginjak usia setengah abad, tapi masih eksis di dunia modeling.
Peribahasa Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, cocok untuk menggambarkan tentang dirinya.
Karena siapapun pengendali atasnya, nyatanya obsesi dari perempuan yang telah melahirkan dirinya, juga menjadi obsesinya kini.
Sejak kecil, sesekali Biru mengikuti Jihan ketempat dimana Mamanya itu bekerja. Melakukan syuting iklan atau sekedar pemotretan. Hal tersebut membuat dirinya tertarik dengan lensa kamera dan segala keramaian suasananya. Itu pula yang mengantarkan Biru mengambil langkah lebih memilih membuka studio foto ketimbang bekerja di kantor Papanya.
Biru memarkirkan motor sport tepat di depan Studio foto miliknya, ruko yang Mama Senja belikan untuk dirinya mengawali karir. Sempat tak diberi izin oleh Papa, tapi berkat Mama Senja semua berjalan sesuai dengan apa yang ia harapkan. Mama Senja best ever after
“Lama banget Cok! Ampe garing gue nunggunya.” keluh Gentar, Sahabat sejak sama-sama duduk dibangku Sekolah menengah sekaligus akan menjadi partner kerja.”
Biru melepas helm lalu menghampiri Gentar yang sedang berjongkok didepan ruko. “Emang gue belom ngasih kunci cadangan ke elu?” jawab Biru terkekeh. Ia sendiri lupa memberi kunci cadangan ruko pada Gentar.
Gentar melemparkan topi kearah Biru seraya menggerutu. “Hasww!”
Ruangan atas Ia gunakan sebagai rumah atau tempat istirahat. berisi dua kamar yang akan digunakan Gentar nantinya ketimbang anak itu Nge kost. ruangan bawah terbagi menjadi empat tempat dengan Sekat sebagai pembatasnya. Masing-masing ruang disiapkan beberapa kamera, Lensa dengan berbagai bentuk dan ukuran, softbox, lampu studio, dan standar reflektor bermacam warna.
“Tar, pasangin background buat ruang sebelah.” perintah Biru. “Sekalian lampunya lu setting.”
Baik Biru maupun Gentar sama-sama tenggelam dengan kesibukan masing-masing. Mereka berdua merasa cocok karena memiliki karakter yang sama. Sama-sama serius jika sedang melakukan pekerjaan. Yang membedakan cuma satu, Gentar memiliki pribadi yang riang, sedangkan Biru lebih pendiam.
Tak lama setelahnya, Biru dibuat penasaran dengan tingkah Gentar yang bolak-balik melongok keluar pintu dengan standing softbox ditangannya. Berjingkat-jingkat mengintip ruko sebelah.
“Lu ngapain sih, Tar!”
Gentar tak menjawab. Hanya menempelkan jari telunjuk di bibirnya. Biru dibuat semakin penasaran, ia pun gegas menyusul Gentar. Ikut menilik apa yang membuat Gentar fokus mengintip.
“Ruko sebelah mau buka juga kayaknya.”
“Terus? Lu ngapain malah ngintip disini?!”
Gentar menarik ujung kemeja dirinya sampai tubuhnya terhuyung keluar pintu. “Itu mulut diem dulu, lu lihat itu didepan ada Bidadari lagi turun. Gue mau nungguin kali aja dia naro selendang, mau gue ambil!” kekeh Gentar.
Mendengar Gentar membual Biru meradang. “Bang sad! Dari dulu nggak pernah berubah kalau lihat cewek mata jadi ijo!”
Gentar semakin terbahak melihat dirinya kesal. “Hahaha... Lumayan, Jodoh jalur selendang Cok!”
Kha??
Biru melihat perempuan yang diketahui bernama Kha itu tengah melihat-lihat ruko sebelah. Bersama dengan dua orang lainnya. Tanpa disadari, Ia memperhatikan pergerakan Kha. Perempuan cantik itu terlihat menutup mulut saat tersenyum dan sesekali memainkan slingbag yang tersampir di bahunya.
Tiba-tiba perasaan semalam muncul kembali. Rasa tak asing seperti mengenal tapi tidak. Ia belum pernah melihat dia selama ini. Tapi nama unik itu seperti mengingatkan pada sesuatu.
“Anjrod! Sama aja lu juga, nggak kedip lihat yang bening!” ejek Gentar. Ia hanya melengos lalu masuk kedalam, meneruskan kembali pekerjaannya. Ia menargetkan lusa studio harus sudah rapi dan siap untuk dibuka.
...🌼🌼🌼🌼🌼...
Khadijah.
Sebelum pergi ke ruko yang sudah Om Abyaz pilihkan untuknya membuka Toko Bunga. Ia bersama Om Abyaz dan Tante Mia menyempatkan berziarah ke makam Kakek dan Neneknya.
Sampai di ruko, Kha begitu terkesima dengan tempatnya. Meskipun tidak berada dipertengahan kota, tempatnya terlihat strategis, lahan parkir luas dan hanya berdiri tiga ruko. Yang akan Ia tempati berada ditengah, diantara pet shop disisi kiri dan ruko kosong disisi kanannya. Tidak kosong sepertinya, karena Ia sempat melihat dua pria berdiri diambang pintu.
Tunggu!
Salah satu diantara mereka seperti tidak asing. Siapa??
Sesekali Kha melirik kearah dua pemuda tersebut. Mencoba mengingat wajah yang seperti pernah ia lihat sebelumnya.
“Om sudah siapkan semua yang kamu butuhkan. Kamu check kedalam barangkali masih ada yang kurang. Habis ini kamu dianterin sama Mia ke orang yang akan mensuplay bunga ke toko kamu nantinya.” tutur Om Abyaz.
Kha mengangguk mengerti, “Iya, Om.”
Mereka meninggalkan lokasi setelah memastikan persiapan untuk pembukaan toko bunga beres. Khadijah sempat melirik saat melintas ruko sebelahnya, melihat pria bertopi hitam tengah menenteng lensa kamera, Kha akhirnya mengingat wajah pria itu. Pria itu adalah orang yang menolongnya malam itu, lalu menemukan dompet dan tasbih yang terjatuh.
“Kenapa Kha?” tanya Mia menyadari Kha berhenti menatap kedalam ruko. “Kenal?”
“E-enggak Tante, cuman kayaknya dia yang sudah nolong aku waktu kemaren hampir kena jambret.” ucap Kha menunjuk kedalam ruko.
Om Abyaz mengikuti arah pandangnya, melihat pria yang Kha tunjuk “Yang pakai topi itu?” tanya Om Abyaz.
“Iya, Om.”
Tanpa banyak kata, Om Abyaz melangkah kecil berjalan menuju ruko dengan pintu setengah terbuka. Abyaz hanya mendengar cerita tentang malam itu dari Kha. Sempat ingin turun untuk melihat si pelaku, akan tetapi buru-buru Kha cegah karena percuma. Perempuan yang mengaku bernama Dipaya itu juga telah meninggalkan lokasi.
“Assalamualaikum, Selamat siang.” sapa Om Abyaz.
“Selamat siang, eh wa-waalaikumsalaam,” balas pria itu tampak terbata.
Apa dia non muslim? kenapa jawabnya terbata gitu
“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Om Abyaz mengulurkan tangan dan disambut oleh kedua pria didepannya secara bergantian. “Perkenalkan, nama sama Abyaz. Om dari Khadijah yang akan membuka toko disebelah.” ucap Om Abyaz memperkenalkan diri.
“Saya dengar dari keponakan saya, Mas-nya sempat bantu Kha dari penjambret kemarin malam di stasiun.” pria itu tampak mengangguk perlahan.
“Kemarin saya tidak tahu kejadiannya karena saya menunggu didalam mobil. Terima kasih banyak atas bantuan Masnya sudah membantu keponakan saya tempo hari.” sambung Om Abyaz.
“Oh... Cuma kebetulan saya sedang disana saja, Pak.” pria satunya tampak keluar membawa kursi plastik dan meletakkan diantara kami.
“Silahkan duduk dulu Bapak, Ibu, Neng sekalian,” ucap Pria itu.
“Terima kasih, Mas. Jadi merepotkan nih.”
Kha berdiri mematung disamping Tante Mia saat Om Abyaz menilik pemandangan sekitar “Wah kalau dilihat-lihat, Mas ini mau buka studio photo ya?”
Kha menghela napas lembut, nyaris tak terdengar. Kini Om Abyaz malah terlibat percakapan dengan pria itu, padahal Kha sudah merasa jengah. Salah satu yang membuatnya tak nyaman adalah tatapan pria satunya. Setiap pandangan mereka bertemu. Pria yang memiliki tato kecil di bagian pergelangan tangan itu selalu melemparkan senyum.
Beberapa saat kemudian, datang satu laki-laki lagi dengan mobil sport terparkir didepan pintu.
“Bang ber... Res??” Kata laki-laki lain yang baru datang.
Kha jelas sedang tidak ke PD an. Memang kedua laki-laki kecuali pria yang menolongnya itu terlihat intens menatap seraya tersenyum kepada dirinya. Keluar dari tempat itu mungkin pilihan yang tepat pikirnya. Baru saja hendak pamit, Om Abyaz keluar dari sebuah ruangan.
“Kita sampai belum kenalan tadi. Kalau boleh tau namanya siapa?”
“Panggil saya Biru saja Pak.”
Biru??
“Biru?? Wah pasti adik atau kakaknya Merah? Atau hijau?” seloroh Abyaz.
Satu pria yang baru datang langsung menimpali. “Bukan Pak, nama saya Barid. Buka Hijau, merah, apalagi Hulk.” jawab pria itu terkekeh.
Keningnya mengkerut, dialog itu nampak Dejavu baginya. Biru, merah, hijau.
Ia menatap pria bernama Biru, lalu membuang muka saat menyadari laki-laki itu juga tengah menatap dirinya dengan ekspresi yang sama.
Sepertinya dia memang tidak asing... Ya, dia Biru.... Yang tidak punya adik tapi ternyata ada. Bukan bernama hijau atau merah melainkan Barid.
To be continue.
Sepenggal dialog antara dua anak kecil.
“Hai” sapa Biru. Anak itu bergeming, tapi menatapnya intens.
“Maaf aku tadi tabrak kamu.”
Gadis kecil berhijab itu mengangguk terbata, “Iya nggak papa.”
Akhirnya, Ia bisa tersenyum ketika anak itu menjawab permintaan maafnya, kemudian duduk di soft chair tak jauh dari anak itu duduk.
“Nama kamu siapa?”
“Kha....”
Ia terkekeh, “Kamu cantik tapi nama kamu aneh.”
“Biar saja! Itu nama pemberian Abi-ku, jadi aku suka.” jawab Kha kesal. “Memangnya, nama kamu siapa?”
“Biru.”
Giliran anak itu tergelak, “Biru? Pasti adik kamu namanya merah, atau Hijau?”
“Aku tidak punya adik!” sahutnya.
Dialog diatas merupakan penggalan cerita tentang pertemuan Biru dan Kha kecil. Ada di novel Sabda Cinta part 74.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
☠༄༅⃟𝐐🧡 𝐌ɪ𝐌ɪᵇᵒʳⁿᵉᵒ㋛ᵗⓂ
dimana kah kita pernah bertemu mas...
2022-09-22
0
тαуσηg
namanya lucu kenapa ga sebut semua merah kuning ijau biru pelangi dong
2022-07-22
0
❤️⃟Wᵃfᴍ᭄ꦿⁱˢˢᴤᷭʜͧɜͤіͤιιᷠа ツ
emang sih kalau bangun tidur gak bisa langsung bangun pasti berasa pusing
2022-07-22
0