...2. Kha??...
Biru.
Tiin...Tiin....
Brumm,brumm....
Suara klakson baik kendaraan roda dua maupun empat saling bersahutan di tengah padatnya jalanan ibu kota. Hingar bingar kehidupan kota metropolitan seakan tidak pernah tidur, pada jam malam seperti saat ini saja, kemacetan masih menjadi hal yang tidak dapat dihindari.
“Damn!” umpat Biru dari atas motor sport yang hampir saja bersenggolan dengan pemotor lain.
Waktu menunjukkan pukul dua dini hari saat ia tiba di area parkir stasiun pasar Senen. Tujuan Birudatang ke stasiun malam menjelang pagi ini guna menjemput Barid. Adiknya baru datang dari Jawa Timur, setelah mendaki bersama klub pecinta alam ke gunung yang memiliki tinggi 3.677 mdpl itu.
Guyuran hujan semalam tadi, masih menyisakan udara dingin dan genangan air dimana-mana. Biru sampai harus melipat ujung celana panjangnya sampai batas lutut, agar terhindar dari cipratan air.
Biru merogoh waist bag, meraih ponsel dan mendial nomor Barid. “Udah dimana?” tanyanya setelah seseorang di seberang menjawab telfonnya.
Di peron, Bang! Tunggu bentar. jawab Barid kemudian memutus sambungan sepihak. Apalagi yang bisa Biru lakukan selain menggerutu. Ia sudah sangat lelah setelah seharian merenovasi ruko yang akan digunakan sebagai studio fotonya. Lalu sekarang, Ia masih harus menunggu adiknya di ruang tunggu yang bising dan penuh dengan kepulan asap rokok. Membuat dirinya sedikit sesak untuk bernapas.
Lagi dan lagi! Definisi dari kata sebentar tak pernah berbanding lurus dengan waktu yang menunjukan telah lebih dari 20 menit Ia habiskan di ruang tunggu. Barid belum juga tampak batang hidungnya, membuat Biru terpaksa menarik diri dari ruang tunggu, sebelum nantinya Ia benar-benar tidak dapat bernapas.
Biru Kembali ke area parkir dan mengambil tempat di bawah pohon beringin yang rindang. Disini ia lebih leluasa untuk mengambil oksigen murni sebanyak mungkin tanpa campuran asap bakaran nikotin.
Tak selang lama, saat jarinya sedang asyik berselancar di atas layar 6,46 inci, terdengar suara riuh dari arah belakangnya.
“Eh, apaan ini!” teriak seorang perempuan.
Suara itu menarik perhatiannyanya untuk menoleh ke arah sumber suara. Terlihat perempuan berhijab sedang berusaha mempertahankan Tote bag dari cekalan tangan perempuan bertopi.
“Lepasin tas saya!”
“Saya bilang lepasin tas saya atau saya akan teriak!” ucap perempuan berhijab itu untuk kesekian kalinya.
Sebenarnya Biru orang yang paling enggan berurusan dengan orang asing. Tapi ia juga tidak dapat mengesampingkan rasa kemanusiaannya. Segera ia selipkan ponsel ke dalam saku dan menghampiri dua perempuan berbeda style itu.
“Lepasin tas dia! Kayak ngga ada kerjaan yang lebih bener aja!” ucapnya sambil mencengkeram tangan perempuan bertopi.
Perempuan bertopi itu mendengus kesal seraya membulatkan mata dan bergumam. “Sialan! Dasar pengganggu!”
Mungkin karena merasa mendapat lawan yang tak seimbang, perempuan itu hendak melarikan diri. Namun sayang seribu sayang, perbuatannya memperoleh karma secara instan. Beberapa orang di tempat menyadari kericuhan tersebut, mereka mendekat ke TKP dan segera mengerumuni si perempuan pencopet.
“Mau nyopet ya, Lo!” seru seorang pria.
“Iya nih! Pasti mau nyopet dia!” satu pria lain bertubuh kekar mencekal lengan si pencopet.
Dalam waktu singkat, keriuhan tersebut menarik perhatian orang-orang yang membuat kerumunan semakin bertambah.
“Cewek ini memang copet!” seru pria lain.
“Iya bener! Gue sering lihat dia lagi operasi [aksi nyopet] di daerah sini! udah bawa aja ke kantor polisi!” usul pria dengan jaket hijau, seorang driver ojeg online yang biasa mangkal di daerah stasiun.
Menyusul pria lain yang memprovokasi keadaan dengan seruannya, “Hajar saja biar kapok! Gundulin-gundulin!”
Biru masih berdiri di tempat tanpa melakukan apa pun kecuali menyaksikan cara orang menghakimi. Belum sampai taraf main tangan pikirnya. Pandangannya teralih ke arah samping, di mana perempuan yang hampir saja kehilangan tasnya masih berdiri kaku sembari menggigit ujung jari. Namun kembali netranya menoleh ke arah lain begitu terdengar suara teriakan dari pencopet itu.
“Auu! Sakit!” keluh pencopet tadi. Ternyata pria yang tadi menyerukan kata hajar, gundulin, mendaratkan sepatu di kepala si pencopet.
Biru langsung mendekat dan menarik pria tersebut agak menjauh. “Jangan main hakim sendiri, Bang!” bentaknya. “Kita serahin saja ke pihak berwajib,” sambung Biru.
“Jangan, Bang! Jangan. Gue minta maaf, Bang!” ucap pencopet yang kedua tangannya masih dalam genggaman pria kekar.
“Halah ba cot! Ketangkep aja baru minta maaf lo! Kalau nggak besok-besok pasti operasi lagi!” sahut si pria provokator.
Pencopet itu tampak kusut, wajah nya tak lagi segarang saat tadi Ia baru menegurnya. Biru masih berdiri di samping pencopet, menghalau orang di belakang dirinya yang masih siaga dengan sepatu di tangan.
“Bener, Bang! Saya nggak bohong. Ini pertama kalinya saya nekat nyopet. Terpaksa saya juga ngelakuin ini buat makan adik saya.”
Bersamaan pria provokator menjawab dengan bahasa kasar, dua orang petugas keamanan datang dan mengamankan pencopet. So late!
“Mbaknya yang mau di copet?” tanya salah seorang petugas dengan seragam hitam putih.
Perempuan berhijab itu tampak masih syok. Terlihat dari caranya menjawab dengan kalimat terbata. “I-iya, Pak.”
“Ikut kami ke kantor, Mbak. Buat dimintai keterangan,” perempuan itu hanya mengangguk lalu meraih koper dan mengikuti petugas .
Biru menghela napas. “It's really bad day!” gerutunya sembari menyugar rambut lalu kembali menutupinya dengan topi. Ia menarik kaki berniat kembali ke tempat parkir, tapi Barid sudah lebih dulu berada dibelakangnya.
“Itu rame-rame ada apa, Bang?” tanya Barid mengejutkan.
“Ada yang hampir kecopetan,” Biru berbalik badan, langkahnya terhenti saat merasakan ada sesuatu yang terinjak. Ia menunduk lalu meraih benda kotak berwarna pink nude.
Ternyata sebuah dompet, dibukanya dompet tersebut untuk melihat identitas didalamnya.
“Aishleen Khadijah.” gumam Biru.
Barid menepuk bahu dan melongok dari arah samping, “Itu apa?”
“Dompet Sama... Apa sih ini?” Biru mengangkat sebuah benda seperti jam tapi berukuran lebih kecil.
“Itu tasbih digital elah! Begitu doang kagak ngerti. Kelewatan banget lu, Bang.”
Biru mengabaikan cemoohan Barid. “Kayaknya punya cewek yang hampir kecopetan tadi.”
“Ya udah Abang kejar orangnya. Takut dia nyariin ntar.”
Biru lantas berlarian kecil mengejar perempuan yang dibawa petugas tadi. Melewati lorong, dimana lorong tersebut tersambung hingga ruang keamanan. Ia masih dapat melihat kibaran jilbab berwarna hitam memasuki kantor penjaga.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya tidak ingin membawa masalah ini sampai kemana pun. Saya sudah memaafkan Mbaknya, toh tidak ada barang saya yang hilang.” samar terdengar suara lembut gadis itu dari balik ruang.
Biru mencibir seorang. “Memaafkan? Mudah sekali memaafkan orang.”
Ia duduk di kursi besi yang menghadap ke ruang petugas. Menunggu perempuan itu keluar dari ruangan. Sesekali sudut bibirnya terangkat saat mendengar percakapan dari ruangan didepannya.
Bagaimana bisa ada orang yang mudah sekali memaafkan kesalahan orang lain. Coba kalau tadi pencopet itu berhasil membawa pergi barang-barangnya, apa masih bisa semudah itu memaafkan orang? Naif sekali.
Biru bangkit dari kursi saat kedua perempuan itu keluar bersamaan dari ruang petugas keamanan.
Ia mengulurkan barang temuannya, tapi yang diarahkan justru sibuk mengobrak-abrik isi tas.
“Kenapa, Mbak? Ada yang hilang?” tanya si pencopet. “Saya belum ambil apa-apa kok.” sambungnya lagi.
“M-mbak....” Biru mencoba memanggil gadis itu.
“Sebentar.” balasnya tanpa menoleh.
“Cari ini?” Ia menunjukkan dompet beserta tasbih digital dalam genggamannya. “Tadi jatuh di depan.” terangnya.
Gadis itu menoleh sejenak kemudian mengambil barangnya. “Oh iya. Saya kira hilang, terima kasih banyak, Mas!.” ucapnya kemudian membuka dompet, mengambil beberapa lembar uang lalu di sodorkan ke gadis di depannya.
“Ini ada sedikit uang buat kamu belikan makan adik kamu. Diterima ya....”
“Ngga usah Mbak! Saya masih sanggup bekerja buat cari makan. Tadi saya terpaksa nyopet karena memang mendesak. Ini juga pertama kali buat saya, dan akan menjadi yang terakhir kali juga.”
Biru hampir menertawakan jawaban si pencopet. Jawaban klasik yang biasa penjahat lontarkan setelah tertangkap basah. Ia gelengkan kepala seraya melangkah pergi tanpa pamit.
“Sepertinya kita seumuran. Kamu bisa panggil aku Kha. Ini kamu pegang saja, aku titip untuk adik-adik kamu.”
Langkahnya terhenti. Kha??
Kepalanya dimiringkan kesamping. Matanya memicing hingga membuat kedua alis bertemu.
Seperti tidak asing. Kakinya kembali melangkah. Membawa segenap rasa penasaran yang tak dapat diterka. Meninggalkan kedua perempuan itu dan kembali menemui Barid.
▪️ Terima kasih atas dukungan. jangan lupa tinggalkan like, coment ya....
Ig. @emyaysel
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Qin one
lihat judulnya, penasaran
baca bab awal,mulai tertarik
baca bab 2,mulai suka
q lanjut baca ya kak author, makasih 🙏😉
2024-08-18
0
☠༄༅⃟𝐐🧡 𝐌ɪ𝐌ɪᵇᵒʳⁿᵉᵒ㋛ᵗⓂ
mampir di sini kitah, salken ya 🙏
2022-09-22
0
☠༄༅⃟𝐐🧡 𝐌ɪ𝐌ɪᵇᵒʳⁿᵉᵒ㋛ᵗⓂ
apakah biru sudah pernah bertemu dengan kha sebelum ini...
2022-09-22
0