Dear Khadijah
...1.Start the story...
Khadijah.
Namanya Aishleen Khadijah. Orang biasa menyapa dengan sebutan Kha. Unik bukan? Tapi tak seunik penampilannya. Dia bukan perempuan istimewa, juga bukan perempuan biasa. Sama seperti muslimah pada umumnya, Kha selalu mengenakan pakaian tertutup dengan hijab menjuntai menutupi dada.
Hidupnya nyaris sempurna. Memiliki madrasah hebat yang selalu membuat Kha tak pernah berhenti bersyukur telah menjadi anak dari kedua orang tuanya. Ia juga selalu berperilaku baik agar menjadi panutan yang baik pula bagi kedua adik laki-lakinya.
Usia Kha telah menginjak angka seperempat abad. Tapi hidupnya hanya disibukkan oleh Ibadah, pendidikan dan keluarga. Tidak ada cinta lain yang ia kenal selain cinta kepada Sang pencipta, Rasulullah, serta keluarga. Rasa malu yang terlalu tinggi, secara tidak langsung membangun benteng diri untuk tidak memiliki, menjalin, atau bahkan sekedar mengenal dengan lawan jenis.
Kini Kha telah menyandang gelar S.pd setelah hampir 4 tahun menempuh pendidikan di kota Jogjakarta. Namun apa yang ia tekuni selama ini, tak berbanding lurus dengan keinginan yang menjadi impiannya selama ini. Alih-alih melakoni pekerjaan sesuai bidangnya, Kha lebih memilih membuka sebuah toko bunga.
“Teteh yakin tidak mau meneruskan pekerjaan Teteh sebagai asisten dosen?” tanya Azzam, Abi dari Khadijah. “Kesempatan bagus, Teh. Kamu bisa belajar jadi dosen dari kamu menjadi asisten terlebih dahulu.”
“Insha Allah Teteh yakin, Abi,” jawab Khadijah meyakinkan Azzam, “Sudah lama Teteh ingin buka toko bunga sendiri.”
Azzam dan Alsea saling berpandangan, berdiskusi menggunakan tatapan tanpa ucapan. “Kalau Teteh memang serius ingin buka usaha, kenapa Teteh tidak ambil alih butik Ummi saja? Atau Teteh bisa bantuin Abi dikantor, itung-itung sambil belajar,” timpal Alsea.
Khadijah menggeleng mantap. Keinginannya membuka toko sendiri sudah ia rancang sejak masih duduk dibangku menengah atas. “Butik sudah diurus sama Tante Mia, lagi pula ada Aludra sama Adara yang bantu. Insha Allah Abi masih sehat dan semoga selalu di limpahkan kesehatan untuk mengurus kantor. Ada Syam sama Gam yang lebih cocok buat bantu Abi nantinya.”
“Teteh ingin buka toko sendiri, pakai uang tabungan sendiri, merintis dari nol dan semoga semakin berkembang seiring doa dari Umi sama Abi.”
“Insha Allah Abi sama Umi akan selalu mendukung dan mendoakan apapun keputusan Teteh. Jadi, dimana mau mulai buka toko bunganya?”
“Jakarta....”
...🌼🌼🌼🌼🌼...
Setelah mengantongi izin dari Abi dan Ummi untuk membuka toko di Jakarta, Kha tak ingin membuang waktu. Hari ini juga, Kha berangkat ke Jakarta. Entah kenapa Jakarta menjadi pilihannya, padahal kota kelahirannya pun tak kalah mengagumkan. Yang pasti, kota metropolitan itu selalu meninggalkan kesan manis saat ia mengunjungi nenek kakeknya tiap libur panjang menyapa.
“Teteh naik pesawat aja ya, Nak. Kalau naik kereta api sampai di Jakartanya tengah malam. Ummi khawatir Om Abyaz telat jemput nanti,” ujar Ummi kurang setuju dengan keinginan dirinya untuk naik kereta api.
Kha memeluk Ummi dari belakang, mendaratkan dagu di bahu Ummi “Ummi... Anak Ummi udah gede gini loh. Ummi nggak usah khawatir ya, Kha cuman pengen nikmati pemandangan selama perjalanan saja, sudah lama nggak naik kereta juga,” tukas Kha. “Lagian Om Abyaz pasti udah nunggu sebelum aku sampai. Tahu sendiri Om Abyaz takut sama Abi,” Kha terkekeh ditelinga Ummi. Membuat Ummi menggeliat kegelian.
“Kamu ini!” Ummi mencubit ujung hidung anaknya. “Kalau sudah ada maunya mirip banget sama Abimu. Terserah maunya kamu, Nak. Tapi pesan Umi, selalu jaga diri, jangan pernah tinggalkan shalat. Begitu pekerjaan Abi bisa ditinggal, Umi sama Abi langsung nyusul ke Jakarta.”
Kha mengecup lembut punggung tangan Umi. “Umi tenang saja, Kha akan selalu ingat pesan Abi sama Umi.”
Sore itu Khadijah diantarkan oleh Syamier menuju stasiun. Tiba di stasiun, rintikan gerimis menyambut kedatangan kakak beradik itu. Meski tak deras, tetap saja membuat keduanya basah.
“Syam anterin sampai sini aja ngga papa 'kan, Teh?”
“Gapapa, Syam. Kamu tinggal saja, nanti ketinggalan kelas lagi.”
“Fi amanillah, Teh. Salam buat Tante Mia sama Om Abyaz,” ujar Syamier lalu meninggalkan Kakak perempuannya.
Syamier hanya mengantarkan sampai Kha selesai melakukan boarding pass. Setelahnya, adik laki-lakinya itu pamit pergi karena harus kembali ke kampus.
Diantarkan kereta api Argo tugu, Kha meninggalkan stasiun Wates dengan tujuan stasiun pasar Senen. Mendapat tempat duduk tepat disamping jendela membuatnya menyunggingkan senyum puas. Tak salah memilih naik kereta api pikirnya, pemandangan Senja sore hari akan menemani dirinya menghabiskan hari itu.
Tapi ekspetasinya sama sekali tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Beberapa kali Ia mendengus sebal, belum sampai setengah jam meninggalkan Wates, yang dipikir gerimis akan berhenti berganti dengan Senja, atau setidaknya muncul pembiasan cahaya kemudian membentuk sebuah busur cahaya dengan tujuh warna dasar. Kini justru pandangannya buram, kucuran air hujan semakin deras menutupi keseluruhan jendela.
Alhasil, selama 9 jam lebih 45 menit perjalanan Kha habiskan untuk mengaji, mendengarkan murottal, selebihnya tidur.
Kha menjejakkan kakinya di stasiun pasar Senen saat hari sudah berganti. Udara dingin dari sisa-sisa guyuran hujan menyambut kedatangannya di kota padat merayap. Sejenak ia rebahkan tubuh bersandar dibangku stainless. Menunggu adik dari Umminya yang sampai saat ini belum juga terlihat.
Tak selang lama, notifikasi pada ponselnya pun berbunyi.
Kha, Om tunggu diparkiran selatan. Kaki Om sakit jadi nyeri buat jalan.
Helaan napas berat terdengar, Kha bangkit dan berjalan sembari menyeret koper.
Ia keluar melewati pintu selatan yang mengarah ke parkiran kendaraan roda dua dan roda empat setelahnya. Jalannya agak terseok karena keberatan menyeret koper, menenteng Tote bag, sekaligus membawa tas jinjing berisi oleh-oleh untuk Tante dan Om-nya.
Seorang perempuan bertopi dengan balutan kemeja kotak-kotak menyenggol dirinya dari arah belakang. Dengan sigap Kha menyadari jika perempuan tersebut tak hanya menyenggol, tapi juga ingin merebut Tote bag yang tersampir di bahunya.
“Eh, apaan ini!” pekik Kha mempertahankan tali Tasnya. Untung saja Ia meningkatkan kewaspadaan saat tahu akan melewati jalanan agak sepi.
Perempuan bertopi itu mendekatkan wajahnya. “Serahin barang Lo atau....” Kha sadar ia sedang diancam. Tapi Kha tak merasakan adanya benda tajam yang menyentuh pinggulnya. Hanya terasa seperti kepalan tangan.
Yakin tidak ada benda yang dapat melukai dirinya, Kha lantas melawan perempuan yang akan merampas tasnya. “Lepasin tas saya!”
“Saya bilang lepasin tas saya atau saya akan teriak!” ancam Kha dengan suara lantang.
Tangannya masih menggenggam erat barang-barang yang dibawa saat seorang pria dengan Hoodie, topi, dan celana serba hitam datang menghampiri mereka. Kha semakin cemas dan ketakutan.
Siapa pria itu? Teman perempuan ini kah? Atau....
“Lepasin Tas dia! Kayak nggak ada pekerjaan yang lebih bener aja!” Kha sedikit bernapas lega mendengar penuturan pria tersebut.
Perempuan bertopi itu lantas berdecak kesal. “Sialan! Ganggu urusan orang aja, lo!” gertak perempuan itu.
Pria itu mencengkeram kuat tangan perempuan bertopi itu. Mungkin karena merasa mendapat lawan yang tidak imbang, perempuan itu akhirnya menarik paksa tangannya. Berniat untuk pergi dari tempat, tapi saat perempuan itu balik badan, beberapa orang yang menyadari kericuhan tersebut mendatangi tempat dimana mereka berdiri.
“Mau nyopet ya, Lo!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 79 Episodes
Comments
Eka Suryati
Kha wanita soliha
2023-08-16
0
Eka Suryati
Awal kisahmu dimulai Kha
2023-07-26
0
Eka Suryati
Wanita anggun nan soleha
2023-07-26
0