Malam ini, Natashya dipaksa memakai dress pilihan Riana. Dress warna putih elegan dengan model tanpa lengan ditambah pernak-pernik yang menempel memberi kesan kelip-kelip di gaun tersebut. Riana juga ngotot untuk memberi make up tipis dan menata rambut bergelombang milik Natashya menjadi sanggul dengan juntaian beberapa helai ke bawah.
Setelah teriakan Heru kemarin, Natashya langsung tidak diperkenankan berbicara lagi dan tidak boleh menolak perjodohan.
Hei, itu pemaksaan namanya!
Hari ini gadis itu juga dipaksa mengambil cuti kuliah dan diajak pergi berbelanja oleh Riana. Wanita beranak dua itu membeli berbagai macam dress yang menurutnya bagus. Padahal, Natashya sudah berusaha menghentikan aksi pemborosan itu, tapi tak didengar.
Pulang berbelanja, Natashya dibawa ke salon untuk mendapat perawatan terbaik. Hampir saja gadis itu menyemburkan kata-kata mutiara jika saja ia tidak ingat bahwa wanita yang membawanya ke sana kemari adalah bundanya sendiri.
Dan, sekarang, Natashya dipaksa lagi.
“Nah, cantik!” ucap Riana yang merasa puas dengan hasil kerja tangannya. “Pasti calon suami kamu suka,” katanya.
Natashya ingin menyahut, tapi diurungkan. Melihat wajah Riana yang berbinar bahagia seperti ini, ia jadi tak tega untuk menolak lebih lanjut. Namun, jika diteruskan, semua yang terjadi ke depannya akan bertentangan dengan kondisi hatinya.
Jadi, kawan, apa yang harus Natashya lakukan?
“Bun,” panggil Natashya tiba-tiba.
“Hm?” Riana menjawab tanpa menoleh dari tatanan rambut putrinya.
“Kenapa Bunda sama Ayah mau jodohin Tashya?”
Gerakan tangan Riana berhenti. Wanita itu tertegun sejenak. Kemudian sebuah senyum lembut khas seorang ibu muncul di paras Riana. Wanita itu duduk di sebelah Natashya sambil mengusap bahu sang anak.
“Bunda sama Ayah nggak akan selamanya dampingin kamu, Sayang. Maka dari itu, sebelum itu terjadi, Bunda sama Ayah mau ngasih kamu pasangan yang akan nemenin kamu sebagai pengganti Ayah dan Bunda nantinya,” ucap Riana menjelaskan. Suaranya khas sekali.
Lembut dan hangat.
Natashya menghela napas. “Tashya juga nggak pernah maksa Bunda sama Ayah tetep ada di samping Tashya, Bun.”
Riana kembali tertegun.
“Manusia hidup untuk pulang, Bun. Pulang ke rumah Tuhan. Tahsya tau itu. Tapi, kita nggak tau sampai kapan umur kita akan berjalan. Nggak selamanya orang yang udah berumur akan dipanggil lebih dulu. Bisa aja Tashya duluan, atau Bang Randy, atau laki-laki yang mau dijodohin sama Tahsya. Kita nggak tau, Bun.”
“Apa karna alesan itu, Bunda mau renggut masa depan yang Tashya rancang? Tashya punya beberapa rencana untuk masa depan, termasuk menikah. Tahsya mau di sisa umur Tashya yang Tahsya sendiri nggak tau sampai kapan, semua berwarna dan sesuai ekspektasi. Jadi, apa Tashya salah kalau Tashya mau punya pendamping sesuai yang Tahsya mau, Bun?”
Deg!
Mendengar ucapan putrinya, Riana menangis tanpa sadar. Untaian kata yang terlontar dari bibir Natashya menusuk hatinya hingga titik terdalam. Ada banyak pertanyaan di benaknya yang sedang berputar-putar.
Apa perjodohan ini benar?
Apa yang ia lakukan sudah benar?
Apa Tashya, putrinya, akan bahagia kalau menikah dengan lelaki pilihannya?
“Bunda...” Natashya mengusap kedua pipi Riana dengan ibu jarinya. Kemudian menarik tubuh wanita itu ke dalam rengkuhan. “Kenapa malah nangis, sih?” tanya gadis itu dengan suara yang lembut.
Natashya, gadis jurusan kedokteran yang sekarang sedang mengambil spesialis psikologi. Tentu ia tahu apa yang sedang terjadi dengan bundanya. Ia bisa mengerti perasaan orang hanya dengan melihat gerak-gerik orang tersebut.
“Maafin Bunda, Sayang. Bunda pikir, ini yang terbaik buat kamu. Bunda pikir, ini bisa buat kamu bahagia. Bunda nggak bermaksud buat hancurin masa depan yang udah kamu rencanain. Maafin Bunda, Shya.” Riana tergugu. Tangannya melingkar erat di tubuh sang anak.
Natashya terkekeh mendengarnya. “Nggak pa pa, Bun. Bunda cuma mau yang terbaik buat Tashya. Makanya, Bunda lakuin ini.” Gadis itu melepas pelukan dan mengusap pipi basah sang bunda. “Ayo, nanti Ayah marah kalo lama-lama.”
“Biar Bunda yang bicara sama Ayah. Perjodohan ini kita batalin aja, ya.” Riana meninggalkan Natashya yang terdiam di kamarnya. Gadis itu hanya mengedikkan bahu lalu duduk bersandar di bahu ranjang sambil memainkan ponsel.
Ting! Ting!
Ngapain, sih, nih, anak?
..._________________________________...
...Laily...
...online...
• Shya?
• Lo ke mana hari ini? Kok ijin?🙄
• Jangan² lo ke mall tanpa gw😤
..._________________________________...
Natashya menyeringai sebentar sebelum membalas chat Laily.
..._________________________________...
...Laily...
...online...
^^^Bkn ursn lo!😏 ✓^^^
..._________________________________...
Setelah terkirim, gadis itu segera menyimpan ponsel di tas selempang. Yakin, deh, Laily pasti ngamuk-ngamuk di seberang sana. Kemudian ia keluar dari kamar menemui Heru, Riana, dan Randy yang terdiam di ruang keluarga. Raut muka mereka nampak sendu.
“Apa?” tanya Natashya menyadari ketiga manusia itu menatapnya tanpa henti.
Heru menghela napas sejenak. “Maafin Ay—”
“Nanti telat, Yah. Kasian cowoknya. Ayo berangkat.” Natashya memotong kalimat Heru dan segera keluar dari rumah. Tanpa menunggu orang tuanya, gadis itu masuk ke dalam mobil yang sudah disiapkan.
Tak lama kemudian, Heru, Riana, dan Randy menyusul masuk. Sang kepala keluarga yang duduk di balik kemudi agak ragu untuk menjalankan mobil.
“Lo yakin, Shya?” tanya Randy mewakili orang tuanya.
“Hm.”
“Lo bakalan bahagia, kan?”
Natashya mengedikkan bahu. “Nggak tau.”
Randy mengusap dadanya sebentar. Sabar, Dy. Sebelah lo ini emang cewek asal Kutub. Rileks, jangan emosi.
“Gue serius. Lo bakalan bahagia nggak? Ayah sama Bunda mau batalin kalo lo nggak mau, Shya.” Randy menyampaikan diskusi mereka tadi.
Riana menjelaskan semua yang Natashya ucapkan di kamar. Heru yang mengerti pun merasa bersalah karena sudah memaksakan kehendak.
Ia mungkin berpikir kalau ini akan membuat putrinya bahagia. Tapi, apa Natashya juga akan berpikir hal yang sama?
“Gue liat cowoknya dulu,” jawab Natashya malas. Perut gadis itu sudah keroncongan. Ia ingin makan secepatnya.
Bersyukur tempat pertemuan mereka ada di restoran mahal.
Natashya mau memanjakan perutnya malam ini.
Pada akhirnya, Heru menyalakan mesin dan mulai melajukan mobil. Mungkin Natashya benar. Biar gadis itu melihat dulu calon suami yang ia pilihkan, baru keputusan akan dibuat.
Setibanya di restoran, Natashya segera turun dan masuk ke dalam restoran bersama Randy. Lelaki itu merangkul bahunya dengan sedikit elusan di lengan.
Mungkin niatnya ingin menenangkan Natashya.
Tapi, Natashya sendiri nggak gugup sama sekali.
“Hei, Tio!” sapa Heru ketika melihat sosok pria paruh baya sudah duduk di meja yang telah mereka reservasi.
“Hai, Her! Ck, telat kamu.”
Heru tertawa kecil. “Maaflah, ada insiden kecil di rumah.”
Tio mengangguk mengerti. Pandangannya jatuh pada sosok gadis yang berdiri di sebelah Riana. “Natashya, kan?”
Natashya sebenarnya bingung. Kenapa pria itu bisa mengenalnya? Ia, kan, tidak kenal. Walaupun begitu, Natashya tetap tersenyum tipis lalu menyalami Tio dan Nia.
“Ya ampun, kamu cantik banget, Sayang!” pekik Nia seraya mengusap pipi Natashya. “Kamu ingat, kan, sama Tante?”
Natashya menggeleng dengan polosnya.
“Hahaha.. mungkin Tashya lupa dengan kami. Waktu itu dia masih sangat kecil.” Tio tertawa melihat tingkah Natashya. “Ayo duduk dulu.”
“Putramu mana?” tanya Heru selepas duduk di kursi yang tersedia. Matanya celingukan ke sekeliling.
“Dia tadi angkat telepon sebentar. Tunggu, ya,” ucap Nia dengan suara yang lembut. Heru dan Riana tersenyum mengerti.
Kedua pasang orang tua itu berbincang hangat selayaknya sahabat. Seakan mereka sudah tidak bertemu cukup lama dan ingin memuaskan diri dengan membicarakan banyak hal. Randy dan Natashya sibuk dengan ponsel masing-masing.
“Maaf, Ma, Pa, Nio lama karna tadi harus kasih instruksi dulu sama Rio buat meeting malam ini.”
Semua pasang mata menoleh pada sumber suara. Lelaki berperawakan sempurna dengan garis wajah yang tegas dan rahang kokoh. Mata khas Asia, hidung mancung, dan bibir tipis yang menggoda. Proporsi tubuh lelaki itu juga sangat... pas. Kuat dan perkasa.
“Iya, Yo. Her, ini Antonio. Masih ingat, kan?” kata Tio memperkenalkan.
Anton menyalami Riana dan Heru bergantian. Lalu melakukan tos ala laki-laki dengan Randy. “Apa kabar, Bang?”
“Kayak yang lo liat. Masih jones, haha.” Randy tertawa ramah.
Manik Anton bertemu dengan sepasang mata Natashya. Kedua orang itu saling bertatapan, tenggelam dalam pesona binar masing-masing.
Dia, kan... Natashya! Si bunga kampus. Pantesan gue kayak kenal. Tenyata, anaknya Tante Riana, toh.
“Ehm, hai, Shya?” Anton menjulurkan tangan kanannya pada Natashya. Gadis itu masih diam, terus memperhatikan lekuk wajah Anton yang terasa tak asing di otaknya.
“Eh?” kaget Natashya ketika Randy menyenggol lengannya. “Hai.” Gadis itu membalas jabatan Anton.
Anton duduk di depan Natashya. Lelaki itu hanya diam mendengarkan pembicaraan orang tuanya dengan orang tua Natashya. Sesekali menimpali jika ditanyai.
“Nio sekarang udah kerja, ya?” tanya Riana akrab.
Lelaki itu tersenyum tipis. “Iya, Tan.”
“Nio sekarang jadi CEO di perusahaan keluarga, Na, sambil lanjutin S2-nya,” ucap Nia memberitahu.
“Wah, sama kayak Tashya dong. Dia juga lagi kuliah S2. S1 ambil jurusan kedokteran, sekarang dia ambil spesialis psikologi.” Riana menjelaskan. Kedua ibu itu saling bercerita segala macam.
Memang, ya, ibu-ibu itu paling jago bergosip atau mengobrol begini. Cipika-cipikinya kuat sekali.
Pembicaraan mereka terhenti sejenak ketika pelayan datang membawa makanan. Usai pelayan itu pergi, semua orang mulai memakan makanan masing-masing, kecuali Natashya.
“Shya?” panggil Randy yang sedari tadi memperhatikan kelakuan sang adik.
Natashya menoleh. “Hm?”
“Lo ngapain liatin Anton terus, sih? Kesengsem, ya?”
Semua pasang mata beralih pada gadis itu. Mereka tersenyum penuh arti melihat Natashya yang masih menatapi Anton.
Natashya menghela napas sejenak. “Gue cuma mau mastiin, Bang.”
“Mastiin? Mastiin apa?”
“Dia...” Natashya menunjuk Anton. “Manusia atau bukan.”
Randy membelalak kaget. Begitupun dengan yang lain. “Maksud lo, Anton setan gitu?” tanya Randy spontan.
Natashya menggeleng lirih. “Bukan,” balasnya. “Gue nggak yakin aja dia manusia. Ganteng soalnya.”
Randy cengo mendengarnya. Apalagi Heru dan Riana yang sudah tergelak mendengar kalimat bernada kepolosan dari putri mereka. Tio dan Nia juga tersenyum mendengarnya.
Sedangkan Anton yang dipuji hanya tersenyum tipis.
“Tashya bilang, kamu ganteng, lho, Yo.” Nia menggoda sang anak yang hanya bisa tersenyum salah tingkah. Lelaki itu mengusap tengkuk sebagai pengalihan.
Mereka pun melanjutkan makan dengan khidmat. Selepas menyelesaikan hidangan miliknya, Natashya pamit ke toilet. Sebelum benar-benar pergi, ia menepuk bahu Randy dramatis. “Sorry, ya, Bang.”
“Buat apa? Lo nggak salah apa-apa, Shya.”
“Gue cuma mau tarik balik ucapan gue selama ini.” Gadis itu merapikan dress-nya yang sedikit tertekuk. “Predikat cowok ganteng nomor dua, ternyata bukan elo. Muka lo kalah telak, Bang.” Natashya pergi dari sana secepatnya sebelum Randy mengamuk.
“NATASHYA!! AWAS, YA, LO!”
...❄️❄️❄️...
Suasana di restoran mulai serius sekembalinya Natashya dari toilet. Tio dan Nia telah menyampaikan tujuan dari pertemuan keluarga ini—melamar Natashya untuk Anton.
“Jadi, gimana? Kalian terima, kan, lamaran ini?” tanya Tio mengakhiri ucapannya.
Heru tersenyum tipis. Maniknya dialihkan pada Riana dan Natashya bergantian. “Maaf, Yo. Keputusan kami serahkan pada putri kami. Kalau dia menolak, kami tidak bisa memaksa. Hari ini, Tashya buat aku sadar, kalau nggak selamanya apa yang kita pikirkan, akan selalu benar di mata orang lain.”
Tio dan Nia saling berpandangan. Masih tak mengerti maksud ucapan Heru.
“Mungkin, di mata kita, anak-anak kita akan bahagia jika disatukan. Tapi, di mata mereka, apa mereka juga berpikir hal yang sama? Tashya dan Nio yang menjalani pernikahan ini. Jadi, aku rasa, biar mereka yang memutuskan. Yang bisa mengukur kebahagiaan seseorang adalah orang itu sendiri, Yo. Aku harap, kamu ngerti yang aku maksud,” sambung Heru.
Tio dan Nia tersenyum penuh arti. Pemikiran Heru sangat terbuka. Dan, Natashya-lah penyebabnya. Mereka berdua jadi kagum dengan gadis cantik itu.
“Aku ngerti, Her. Jadi, gimana? Nio, kamu terima atau nggak? Papa nggak akan maksa kamu lagi.” Tio tersenyum lembut. Mendadak rasa bersalah menggerogoti relung hatinya. Kemarin ia bertindak cukup kasar pada putranya.
Anton hanya diam sambil menatap Natashya lekat. Gadis di hadapannya ini memang menarik. Tentu, seorang psikolog selalu mengerti banyak hal tentang perasaan manusia yang sebenarnya.
Jadi, Anton tersenyum tipis seraya melipat tangan di depan dada. “Kalo dia setuju, Nio juga setuju.”
Oh, wow. Kenapa jadi gue?
Natashya berdeham singkat. “Maaf, Om, Tante. Tashya...”
“Nggak bisa nolak.”
^^^To be continue...^^^
...❄️❄️❄️...
Nggak bisa nolak dong kalo calonnya macem Antonio, haha. Udah ganteng, sukses, kaya, hmm.. tipe perempuan banget, kan, ya.
Tapi, ya, tiap perempuan beda-beda dong. Kalo tipe Ay, cowok dingin gitu. Sebenernya mereka sayang, tapi malu-malu mau nunjukin.
Gemesin banget, hihi.
See you di chapter selanjutnya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
nacita
anjayyyy ga pake embel2 jaim ya sya lgsg k intinya 😂😂😂
2022-11-04
1
nacita
parah banget s tasyaaaaaa 😂😂😂😂
2022-11-04
1
Icha Santana
asli.....savage bgt jawaban2 natasya ...bkin ngakak..tp dia lempeng aja...dia ga pnya emosi ato apa ya ampun... sumpah langka bgt
2022-04-14
2