“Nton, perusahaan JG Group ngirim berkas penawaran kerja sama ke perusahaan kita. Gimana menurut lo? Terima apa nggak?” tanya Rio—sahabat sekaligus sekretaris Antonio di perusahaan AG Groups.
Jadi, kalau lagi berdua seperti ini, Rio akan berbicara non-formal pada Anton.
Tanpa menjawab pertanyaan sekretarisnya, Anton menjulurkan tangan, bermaksud ingin mengambil dokumen kerja sama yang Rio bawa. Dengan sigap, Rio menyerahkannya.
Usai membaca keseluruhan dengan teliti, lelaki itu tampak bergumam kecil. “Atur pertemuan gue sama mereka. Gue mau diskusi dulu sebelum ngambil keputusan.”
“Oke.”
Selepas mendapat jawaban, Rio bergegas keluar dari ruangan CEO menuju ruangannya sendiri. Percayalah, atmosfer di ruangan CEO dengan ruangan lain sangatlah berbeda rasanya.
Di sana... sangat dingin.
Anton menyandarkan tubuhnya ke kursi kebesaran selepas menandatangani beberapa dokumen. Bekerja semacam ini memang melelahkan, tapi ini adalah tanggung jawab Anton sebagai anak tunggal dari papa dan mamanya.
Ingin kabur, tapi masa depannya terancam. Gawat bin darurat ini mah.
Mata Anton melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan sekilas. Menyadari bahwa kuliahnya akan dimulai beberapa jam lagi, ia bergegas keluar dari ruangan. “Gue duluan, Yo,” ucap Anton sewaktu melewati Rio.
Rio mendongak, menatap Anton yang sudah berjalan duluan tanpa menunggu balasan darinya. Ia pun ikut melihat jam di tangannya.
“Anjir, gue telat!”
...❄️❄️❄️...
Anton sedang memakan makanannya dengan khidmat. Sebelum datang ke kampus, ia pulang untuk mengganti pakaian lebih dulu. Tio dan Nia—orang tua Anton—sudah menanti kehadiran putra tunggal mereka di meja makan.
“Gimana pekerjaan kamu di kantor, Nio?” tanya Tio di sela acara makan mereka.
Antonio—dengan panggilan kecil Nio—mendongak, menatap papanya intens. “Biasa aja, Pa.”
Mengerti dengan ucapan sang anak, Tio mengangguk paham. Putranya memang bisa diandalkan.
“Terus, kapan kamu menikah, Yo?”
Arrgghh... pertanyaan ini lagi!
Semenjak umur Anton menginjak angka 27, Nia selalu menjejali kehidupannya dengan pertanyaan serupa.
Entah seputar menantu atau cucu.
Hei, Anton, kan, masih ingin bebas, Ma.
Anton meletakkan sendok dan garpunya ke piring, menatap Nia dengan ekspresi termalas yang ia punya. “Mungkin tiga tahun lagi?” ucap Anton asal.
Hei, bukan itu yang gue mau bilang tadi!
Mampus, Mama marah!
Nia melotot kesal. “Tiga tahun kamu bilang?! Kamu mau Mama sama Papa mleyot sama keriput dulu baru kamu menikah?! Terus kapan Mama gendong cucunya? Mama tuh pengen rumah kita jadi rame, Yo.”
Anton menghela napas. “Ya udah, Mama sama Papa buat adik lagi nggak pa pa.”
Sekarang giliran Tio yang melotot. “Kamu pikir umur Mama-mu masih semuda itu buat melahirkan?”
Nia ikut melotot. “Jadi, Papa mau bilang kalo Mama udah tua, gitu?!”
Tio cengengesan. Ia segera menyatukan tangan di depan dada. “Ampun, Ma. Bukan gitu maksud Papa.”
Anton berubah menjadi penonton dadakan pertengkaran orang tuanya. Yah, seperti inilah keadaan rumah keluarga Anton. Berisik dan ramai walaupun tanpa kehadiran anak kecil. Orang tuanya saja sudah cukup untuk membuat rumah bising.
“Nio berangkat dulu, Pa, Ma.”
Sudahlah, lebih baik kabur saja.
...❄️❄️❄️...
Anton tiba di universitas tempatnya mengimba ilmu dengan mobil H***a B**o putih miliknya. Turun dari mobil dengan gaya yang cool sangat mencerminkan siapa Antonio. Idola kampus tentu saja.
“OMG! Anton, guys!”
“Cakepnya... nggak kuat hati gue.”
“Plis, tahan gue. Mau pingsan, nih.”
“Anton, my prince!”
“Hai, Anton!” sapa seorang gadis yang datang dengan senyum secerah matahari. Sebut saja Lidia Fedora. Atau mau manggil cabe-cabean juga boleh, haha.
Make up tebal Lidia adalah ciri khas gadis itu. Pakaian mini kekurangan bahan selalu menjadi kesehariannya. Niatnya, ingin mengambil hati Anton dengan berpakaian seperti itu.
Tapi, perlu kalian ketahui, Anton membenci gadis semacam Lidia.
Ditambah, lelaki itu tidak yakin kalau gadis ini masih perawan atau tidak. Nilai minus untuk Lidia, hm.
Tak menghiraukan Lidia, Anton berjalan pergi begitu saja. Pokoknya ingin segera sampai di kelas dan duduk di sana sambil mendengarkan lagu di earphone kesayangan.
Lidia menghentakkan kakinya ke tanah dengan kesal. “Kenapa, sih, tuh cowok ademnya macem es?! Kan, jadi susah deketinnya.” Gadis itu mendengkus sebal.
Pokoknya lo harus jadi milik gue, Nton! Jadi milik Lidia seorang!
Di sisi lain, Anton sudah tiba di ruangannya. Ia duduk di bangku seperti biasa bersama kedua sahabatnya sejak SMP.
Perhatian aja, nih, mereka berdua agak bobrok. Jadi, waspada, ya.
“Lembur lo?” tanya Hafi setengah meledek. Sudah sangat hafal di luar kepala seperti apa kepribadian Anton. “Mukanya kusut amat, Bang.”
Anton mendelik tajam. “Diem!” sinis lelaki itu malas.
Rio yang duduk di sebelah Hafi hanya bisa menepuk bahu lelaki itu dramatis. “Sabar, ya. Ngobrol sama es emang meng-dingin.”
“Anjir, meng-dingin.”
“Tugas Bu Hiki udah selesai belum lo pada?” tanya Rio.
“Udah, lah!” Hafi berbangga diri dengan menepuk dadanya dramatis. Seakan hal tadi merupakan sesuatu yang patut dibanggakan dan sangat langka.
Ehm, memang iya, sih. Kan, Hafi lebih suka nyontek daripada ngerjain, haha.
“Nton, lo udah, kan?” tanya Rio.
Anton yang sedang memasang earphone jadi menghentikan aktivitasnya sejenak. Menoleh pada sahabatnya dengan tampang datar. “Menurut lo?” desis lelaki itu tajam.
Mendapat balasan seperti itu dari Anton, Rio tersadar bahwa pertanyaan tadi seperti sedang meledek si lulusan terbaik. Ia lupa, Antonio, kan, lulusan terbaik angkatan sebelumnya. Lelaki itu sedang menjalani studi S2-nya sekarang.
“Sorry, Bro.”
Sekarang giliran Hafi yang menepuk-nepuk bahu Rio dramatis. Mengundang kerutan bingung di dahi Rio karena tak mengerti dengan ekspresi memelas pada wajah Hafi. “Kenapa lo?”
“Yang sabar, Bro. Ngobrol sama manusia es emang meng-nohok.”
“Anjir lo!”
...❄️❄️❄️...
“Bentar, guys. Gue mau ke toilet dulu, hehe.” Usai mengatakannya, Hafi melesat keluar ruangan. Kelas baru saja selesai dan dosen sudah keluar. Ketiga lelaki tampan itu memutuskan untuk pergi ke kantin sebelum kelas selanjutnya dimulai.
“Nton, lo tau nggak—”
“Nggak.”
“Gue belom selesai ngomong, Anton!” Rio berdecak.
“Oh.”
Rio menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan kalimatnya. Semacam persiapan jika Anton ingin membuat emosinya membuncah lagi. “Gue tadi liat si bunga kampus di parkiran. Dia cuanntiikk parah, Bro!”
“Oh.”
“Oh doang?” tanya Rio tak percaya. “Dia bunga kampus, lho. Dan, reaksi lo cuma ‘oh’?”
Anton menaikkan sebelah alisnya. “Terus?”
Sudahlah! Rio melambaikan tangan pada kamera sekarang.
“Nggak pa pa. Ayo ke kantin.”
Kedua lelaki itu berjalan bersisian menuju kantin. Sesekali Rio melemparkan candaan garing yang sama sekali tidak Anton hiraukan.
“Nton, si Hafi ngapain di sana?” Rio menunjuk sosok lelaki yang berdiri membelakangi mereka. Dari posturnya, sih, memang seperti Hafi. “Samperin, yuk.” Rio menarik paksa lengan Anton agar mau ikut bersamanya.
“Bro, ngapain lo di sini?”
Hafi menoleh ke belakang. Ia tersenyum begitu lebar pada kedua sahabatnya. “Gue tadi nabrak, nih, cewek,” jelasnya singkat. Ketiga manusia itu lalu memusatkan perhatian pada sosok gadis yang maniknya sudah berbinar lucu.
Gemesin, deh.
Pandangan Rio jatuh pada sosok gadis lain yang sedang sibuk memainkan ponsel—si bunga kampus yang tengah berdiri di belakang gadis manis itu. Lho? Ini, kan—
“Nton,” ucap Rio berbisik. “Cewek yang berdiri di belakang itu, lho.” Anton melirik gadis yang Rio maksud. “Dia si bunga kampus yang gue ceritain. Namanya... Natashya. Cantik, kan?”
Anton menatap lekat gadis bernama Natashya dari ujung rambut sampai kaki. Memang, sih, body dan wajah gadis ini hampir sempurna.
“Biasa aja,” jawab Anton santai.
Merasa diperhatikan, Natashya mendongak, menatap datar pada Rio, Hafi, dan Anton bergantian. Lalu tanpa aba-aba pergi dari sana tanpa memberitahu sahabatnya.
“Shya, liat, deh. Ini ada—” Gadis manis bernama Laily itu menoleh ke belakang. Ia tidak menemukan siapa pun. “Lho? Shya? Natashya? Lo di mana?” Laily celingukan mencari ke kanan dan ke kiri.
Hafi yang melihat ekspresi lucu Laily jadi tertawa. Rio pun terkekeh pelan. Anton masih memasang muka datar seperti biasa. “Temen lo yang tadi? Dia udah ke kantin duluan tadi,” ucap Hafi memberitahu.
Laily terlihat syok mendengarnya.
“NATASHYA!! TEGA-TEGANYA LO NINGGALIN TEMEN IMUT LO DI SINI SENDIRIAN!”
“GUE DOAIN, LO KESELEK BIJI SALAK BIAR MAMPUS!”
Laily pun pergi dengan kaki dihentak-hentak. Ketiga lelaki tadi terus memperhatikan gadis itu sampai hilang di belokan.
“Dia manis, ya,” celetuk Hafi yang masih memperhatikan lorong tadi.
“Ciee... ada yang jatuh cinta, nih,” ledek Rio sengaja.
Hafi yang baru sadar akan celetukannya segera mengelak. “Dih, mana ada. Gue tadi... cuma kritik doang kali. Belum tentu gue suka.”
Rio terus menggoda Hafi yang mukanya nampak memerah malu. Sedangkan Anton bergegas pergi dari sana tanpa memberitahu. Malas melihat adegan konyol yang terjadi antara kedua sahabatnya.
Natashya? Kayaknya... gue pernah liat, deh.
Tapi, di mana, ya?
^^^To be continue...^^^
...❄️❄️❄️...
Gimana? Suka nggak ceritanya?
Semoga kalian suka, ya. Ay cuma penulis baru kok. Jadi, maklum kalo agak... yah, gitulah.
Hehe..
See you di chapter berikutnya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
Aminah New
Ais ...sama sama keras
2022-11-15
1
Icha Santana
suka
es vs es
hahahhaa
2022-04-14
1
Dewi Supriani
suka semangat terus thor
2022-04-11
1