Kisah Kita
“Hei, liat noh! Itu Natashya!”
“Ya Tuhan, cantik bener bidadari gue!”
“Masdep gue dateng, guys!”
“Insya Allah jadi bini, AMIN!”
“Bentar-bentar, gue udah wangi belum?” Mahasiswa yang satu ini mencium ketiaknya sendiri bergantian.
“Mau ngapain lo?”
“Samperin, lah!” Mahasiswa itu merapikan jaketnya dan berjalan ke arah Natashya, gadis pujaan hatinya, dengan langkah tegap. “Hai, Shya!” sapa lelaki itu.
Kariva Diana Natashya, gadis yang sedang berjalan sendirian di koridor dengan raut datarnya, mendadak berhenti berjalan karena lelaki tadi. Alisnya terangkat sebelah, merasa bingung dengan lelaki yang ada di hadapannya ini.
Dia siapa?
“Kenalin, gue Andrean Riza, panggil aja Riza. Atau... lo mau panggil gue ‘ganteng’ atau ‘sayang’ juga boleh.” Lelaki itu mengedipkan sebelah matanya. Natashya yang melihat hanya menggelengkan kepalanya lirih. “Gue boleh minta nomor WhatsApp lo nggak?”
“Nggak.”
“Pfftt..” Beberapa lelaki yang berada di sekitar mereka menahan tawa karena penolakan Natashya yang to the point. Ayolah, siapa yang tidak kenal dengan Natashya?
Gadis cantik nomor satu yang paling anti dengan kaum adam. Dan, itu bukan rahasia lagi bagi semua orang di kampus X.
Riza mengusap dadanya dramatis. “Gitu amat, Shya.” Ia memasang ekspresi memelas. “Boleh, ya? Janji, deh, nggak akan gue kasih ke siapa pun.”
Natashya menghela napas. Ia merogoh saku dan meraih ponselnya. Maniknya menatap fokus ke layar ponsel. “081...”
Buru-buru Riza menulis ulang nomor yang Natashya sebutkan ke dalam ponselnya sendiri. Ia memekik girang di dalam hati. Sedangkan mahasiswa lainnya melongo melihat usaha Riza yang membuahkan hasil.
“Oke, thanks, ya, Shya.” Riza mengedipkan sebelah matanya.
Natashya langsung melangkah pergi usai menyebutkan deretan angka pada Riza. Sebelah sudut bibirnya terangkat sebelah, mengukir senyum sinis tanpa ada yang menduga.
Di belakang sana, Riza memekik senang. Semua teman-temannya langsung mengerubungi lelaki itu, ingin meminta penjelasan lebih lanjut.
“Parah! Lo bener-bener dikasih nomor telpon Natashya?”
“Anjir! Dia ngerespon lo, Riz!”
“Gue mau dong nomornya.”
“No, no, no! Gue udah janji nggak akan kasih nomor telponnya ke siapa pun. So... nggak boleh, hahaha...” Riza menamai nomor Natashya dengan panggilan “Bidadari Natashya” ditambah emot love di akhir.
Senyuman puas tercetak jelas di bibirnya.
“Coba lo telpon, cepet!” titah salah satu mahasiswa.
Riza membuat lingkaran dengan jari telunjuk dan ibu jarinya. “Oke.”
Tanpa basa-basi lagi, lelaki itu menekan fitur call pada nomor Natashya. Lalu memasang speaker agar semua orang di sana bisa mendengar percakapan mereka.
“Halo?”
“Ah, halo, Shya! Ini gue, Riza. Save nomor gue, ya.”
“Riza? Riza siapa, ya? Saya ndak kenal, Nduk.”
Semua orang yang mendengar jadi mengerutkan dahi. Sejak kapan Natashya berbicara dengan logat Jawa yang kental seperti ini?
“Shya, i–ini lo, kan?” tanya Riza ragu.
“Wah, Nduk-nya pasti salah. Saya Bu Nini, tukang pijat di Komplek Semut.”
“Hahahah....” Sontak semua orang di sana terbahak kencang. Berbeda dengan Riza yang sekarang mesem-mesem karena malu.
“Maaf, Bu. Saya salah sambung.” Riza langsung mematikan sambungan. Ia menatap kawan-kawannya dengan tajam. “Diem, woy!”
Anjir si Natashya. Masa gue dikasih nomer tukang pijet, sih?!
...❄️❄️❄️...
“Shya!” panggil Laily kencang. Ia melambai pada Natashya yang baru saja memasuki kelas. “Tumben baru dateng, Shya?”
Natashya hanya mengedikkan bahunya malas. Ia memang agak kesiangan hari ini gara-gara insiden kecil di rumahnya. Beruntung dia tidak terlambat tadi.
Laily yang sudah terbiasa dengan sikap dingin Natashya hanya bisa elus dada. Sekaligus berdoa dalam hati, moga, nih, anak dapet hidayah. Aminn....
“Tugas dari Pak Jerri udah lo selesain belum?” tanya Laily. Namun, ketika sadar bahwa kalimatnya SANGAT tidak cocok untuk Natashya, buru-buru ia meralatnya. “Eh, sorry. Gue lupa kalo gue lagi ngomong sama si lulusan terbaik angkatan dulu.”
Natashya menepuk bahu Laily sekali. “Jangan sampe lupa lagi.”
Laily melongo sejenak. Hei, bukankah kalimat itu benar-benar penuh makna? Seakan-akan Natashya sedang berkata, lo-keterlaluan-karna-lupain-kepinteran-gue.
Wah, tabok temen sendiri dosa nggak, sih?
Laily berdecak singkat. Lalu merubah raut wajahnya menjadi serius seraya mendekatkan diri pada Natashya yang duduk di sebelahnya. “Rahasia pinter lo apa, sih, Shya?” tanya Laily agak berbisik.
Natashya ikut mendekat dan berbisik kecil. “Gue pinter dari lahir. Jadi, nggak ada rahasianya.”
Sial! Laily benar-benar ingin menabok Natashya sampai puas sekarang!
...❄️❄️❄️...
Natashya dan Laily keluar dari ruangan setelah kelas berakhir. Laily nampak merenggangkan ototnya yang terasa kaku. Materi Pak Joko—dosen berkepala botak—itu keterlaluan bikin bosan dan mengundang kantuk yang luar biasa. Bersyukur setiap Laily hampir tertidur, Natashya selalu menginjak kakinya atau mencubit lengannya.
Tapi, itu sakit juga, sih. Tangannya sampai merah-merah.
“Kantin, yuk,” ajak Laily girang. Pokoknya, yang berhubungan dengan makanan, Laily akan berubah ekspresi dalam sekejap.
“Iya.”
Keduanya pun melangkah bersama ke arah kantin seraya bercengkerama. Oh, salah! Hanya Laily yang berbicara. Natashya hanya berdeham, mengangguk, dan menggeleng.
Iya, itu saja.
Nih, cewek lair di Kutub atau gimana, sih?! Plis, gue pengen cemplungin dia ke kolam buaya beneran!
Brukkk!
“Aww.. sshhh...” desis Laily seraya mengusap dahinya. Saking fokusnya melamun ingin menceburkan Natashya ke dalam kolam buaya, gadis itu jadi tidak fokus menatap jalan di depannya. “Maaf, maaf, gue nggak—”
Laily terdiam ketika tahu siapa orang yang ditabraknya. Lelaki tampan yang menjabat sebagai salah satu idola kampus, Hafi. “Ah, sorry, Kak. Gue nggak sengaja.”
Lelaki itu tersenyum ramah. “Sans aja. Dahi lo nggak pa pa, kan?”
“Eh?” Laily jadi kikuk. Ia bergerak malu-malu untuk menyentuh dahinya sendiri. “Nggak pa pa, kok, Kak. Nggak sakit, hehe.”
“Bro, ngapain lo di sini?”
Dua sosok lelaki lain datang lagi. Sahabat Hafi yang juga menjabat sebagai idola kampus, Rio dan Antonio. Mata Laily jadi berbinar karena disuguhi pemandangan ‘indah’ di depannya. Bagi kaum jomblo, lihat cogan (cowok ganteng) lewat sudah seperti anugerah, lho.
Yang jomblo pasti paham gimana rasanya jadi Laily. Dag dig dug, tapi nggak ada yang diajak kencan, hadeh...
“Shya, liat, deh. Ini ada—” Laily menoleh ke belakang. Tidak ada siapa pun. “Lho? Shya? Natashya? Lo di mana?” Laily celingukan mencari ke kanan dan ke kiri.
Hafi yang melihat ekspresi lucu Laily jadi tertawa. “Temen lo yang tadi? Dia udah ke kantin duluan tadi,” ucap lelaki itu memberitahu.
Laily syok mendengarnya. Jadi, dia ditinggal?
“NATASHYA!! TEGA-TEGANYA LO NINGGALIN TEMEN IMUT LO DI SINI SENDIRIAN!”
“GUE DOAIN, LO KESELEK BIJI SALAK BIAR MAMPUS!”
...❄️❄️❄️...
“Tashya pulang!” seru Natashya ketika ia sampai di rumah. Ia melepas sepatu dan menaruhnya di rak seperti biasa.
“Udah pulang, Dek?” Itu Randy, satu-satunya kakak Natashya. Lelaki itu sedang duduk anteng di sofa sambil memakan camilan keripik kentang dengan khidmat.
“Gue nggak akan ada di sini kalo belum pulang, Bang,” sinis Natashya dengan mata memicing. Tanpa menghiraukan lagi keberadaan sang kakak, gadis itu berjalan ke lantai dua menuju kamarnya sendiri. Meninggalkan Randy yang udah mencak-mencak nggak jelas karena kesal.
“Anak siapa, sih? Perasaan, Bunda sama Ayah nggak dingin kayak dia, deh,” gumam Randy yang sebal dengan tingkah sang adik. “Apa jangan-jangan... dia anak pungut?!”
Randy melotot ketika menyadari hal tersebut. Sontak ia berdiri dari duduknya dan bergegas ke dapur. “Bunda!”
Riana—bunda Randy dan Natashya—menoleh sebentar pada putra sulungnya. “Kenapa, Bang?” tanyanya sambil meneruskan acara menggoreng ayam.
“Tashya anak kandung Bunda, kan?”
“Iyalah, Bang. Dulu, kan, Abang nemenin Bunda waktu lahiran Tashya.”
Eh, iya juga, ya.
Tapi, Randy masih curiga. Mungkin saja, kan, kalau Natashya tertukar dengan bayi orang lain?
“Atau... Tashya ketuker sama anak lain, Bun?”
Riana menggeleng karena ucapan sang anak, berusaha memaklumi. “Tashya anak kandung Bunda sama Ayah, Bang. Abang kenapa nanya begituan, sih?”
Mendadak Randy merubah raut seriusnya menjadi sebal. Ia terduduk di kursi bar dengan bibir mengerucut. “Sifat Tashya itu dingin banget, Bun. Ayah sama Bunda, kan, nggak dingin kayak gitu. Abang jadi curiga.”
Riana menggeleng takjub. Kadang pemikiran kedua anaknya memang tidak bisa ditebak. “Ayah kamu dulu juga kayak gitu, Bang.”
“Eh, serius?” tanya Randy mulai tertarik.
Riana mengangguk, kenangan masa silam kala pertemuan pertamanya dengan sang suami kembali terputar. “Iya. Tapi, es di hatinya udah Bunda cairin, hihi.”
Randy angguk-angguk. Jawabannya cinta, toh.
Berarti... kalo Tashya ketemu pujaan hatinya, dia bisa cair?
Randy menggeleng cepat. Tashya manusia, Dy! Lo pikir, dia es?!
“Jangan mikir aneh-aneh, Bang, kalo lo nggak mau cepet mati.”
Randy melotot. Ia menoleh cepat ke arah Natashya yang duduk dengan tenang di kursi makan. “LO NGEDOAIN GUE CEPET MATI, SHYA?!”
Natashya mengedikkan bahu malas. Gadis itu nampak tak acuh dan memilih untuk memainkan ponsel.
“Bun?” panggil Randy tiba-tiba.
“Hm? Kenapa, Bang?”
“Bunuh Tashya pake sendal, dosa nggak, sih, Bun? Tangan Abang udah gatel banget pengen gaplok, nih, anak.”
^^^To be continue...^^^
...❄️❄️❄️...
Halo! Selamat datang di dunia Ay!
Kalian bisa panggilnya ‘Ayla’ atau ‘Ay’ saja, ya. Jangan ‘author’ ataupun ‘kakak’. Ay nggak semahir itu dalam menulis dan nggak setua itu, hihi.
Semoga kalian suka cerita ini🙂
See you di chapter selanjutnya:)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 125 Episodes
Comments
nacita
suka deh baru baca part awal nya aja udah menarik 😍
2022-11-04
1
Alriani Hespiapi
bagus
2022-06-24
1
Renesme Kiky
lanjut
2022-04-23
2