"Lun.."
"I--ya, Bu.." terbata Luna menjawab Ibunya.
"Itu baju pernikahan untuk siapa?" Ibu Halimah bertanya sembari terus menatap kedua bola mata jernih milik Luna.
Luna mengerjapkan matanya, bulu mata lentiknya mengibas begitu cepat menandakan pemiliknya sedang gugup dan gelisah.
Menyakinkan hati, Luna pun mengambil tangan Ibunya, menggenggamnya di atas pahanya. "Bu.. Luna mau menikah."
"Menikah?" tanya Ibu Halimah dengan mata yang berkaca-kaca.
Ditatapnya anak perempuan satu-satunya itu dengan raut wajah yang tak bisa ditebak, ia bahagia sekaligus sedih.
Luna menganggukkan kepala sebagai jawaban.
"Sama siapa, Nak? Kenapa calon suamimu itu mengirim baju pernikahan ini, sedangkan ia belum pernah datang kemari untuk meminta restu dengan Ibu. Apa kamu dan calon suamimu tak menganggap Ibu, Nak? Apa karna Ibu orang tak punya, kamu tak melibatkan Ibu?"
Satu pertanyaan telak yang meluncur dari mulut Ibu Halimah seperti seribu anak panah yang menghujam dada Luna. Sejenak ia merasa sulit untuk bernapas.
Bagaimana Ibunya bisa berpikiran seperti itu padahal Ibunya tau jika ia begitu menghormati dan menyayanginya?
Sekian detik Luna tak bisa menjawab, ia hanya terpaku dengan memandang tangan Ibunya yang terlepas dari genggamannya. Kristal bening pun mengalir terus membasahi wajah cantiknya seiring langkah Ibunya yang keluar dari kamarnya.
Pintu kamarnya yang ditutup dengan kasar oleh sang Ibu, menyadarkan Luna jika ia telah menyinggung hati Ibunya.
Bergegas ia pun mengambil telepon genggamnya yang berada di dekat bantalnya guna menghubungi laki-laki yang kini membuat hubungannya sedikit renggang dengan Ibunya.
Dalam dering kedua, Chandra yang memang menunggu telepon dari Luna pun langsung menjawabnya.
Panggilan tersambung...
Luna: Pak.. Apa sih maksud Anda? Anda sudah melakukan kesalahan fatal. Dan saya rubah keputusan saya. Saya tidak mau menikah dengan Bapak. Bapak tau, Ibu saya memarahi saya dan kecewa dengan saya karna Bapak mengirim baju pernikahan ini tanpa meminta restu dulu dengan Ibu saya. Saya kan sudah bilang sama Bapak kalau saya akan menjelaskan semuanya dulu dengan Ibu saya. Saya akan mencicil ganti rugi yang akan saya tanggung. Bapak tidak usah khawatir. Walaupun sampai kapanpun tidak akan lunas karna terus berbunga, saya tidak apa-apa.
Luna terus berbicara saat panggilan tersambung tanpa memberi celah Chandra untuk menyelanya.
Bahkan Chandra yang saat ini sedang duduk di balkon di depan kamarnya terperanjak kaget saat mendengar Luna menelepon dengan berteriak histeris dengan suara tertahan dan dia yakin jika wanita itu sedang menangis.
Maksud dari dia mengirim baju pernikahan pada Luna, hanya ingin membuat wanita itu bersiap dan mengetahui jika ia tak main-main dengan ucapannya.
Namun, kali ini Chandra sepertinya salah.
Ia sepertinya ceroboh dan terlalu gegabah hingga tak memikirkan jika ada insan paruh baya yang tak lain adalah calon Ibu mertuanya yang selalu bersama Luna.
Dan apa yang ditangkapnya sekarang, Ibu Luna kecewa karna menganggapnya tak ada.
Chandra berdiri dari duduknya, ia berjalan mondar-mandir kesana kemari memikirkan bagaimana caranya meminta maaf dengan Luna. Dan tetap bisa menikahinya.
Baru saja hatinya senang karna Luna menerima tawarannya, namun kesalahan yang ia anggap kecil padahal hanya sebuah kejutan baginya mengubah keputusan Luna.
"Gak.. Gak boleh. Luna gak bisa membatalkan begitu saja." gumam Chandra sembari berjalan ke dalam kamarnya. Merebahkan badannya di kasur empuk kesayangannya.
Karna waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Luna pun yang kini sudah mulai bisa merangkai kata usai menelpon Chandra dan memakinya, meluapkan segala emosinya dan tak peduli akan jawaban Chandra lalu ia mematikan panggilan tersambungnya.
Perlahan, Luna pun berdiri dari ranjangnya lalu berjalan keluar menuju kamar Ibunya dan Radit berada.
Radit memang diakui anaknya, tapi anak kecil berambut coklat itu selalu tidur dengan Ibunya.
Samar-samar, Luna pun mendengar isakan yang begitu menyayat hati dari kamar Ibunya. Dan ia sangat yakin jika tangisan itu adalah tangisan Ibunya.
Dan dia yang menyebabkan Ibunya menangis kembali speerti itu, seperti dulu saat Ibunya ditinggal pergi oleh Ayahnya.
"Apa aku terlalu mengecewakanmu, Bu? Maafkan Luna.. Luna belum bisa menjelaskannya. Luna.." Tangisan itu pecah lagi, Luna memegangi dadanya yang terasa sesak, ia tak sanggup melanjutkan kalimatnya walaupun hanya lirih dan yakin, Ibunya tak akan mendengarnya.
Berlari menuju kamarnya kembali lalu menutup pintunya dengan pelan dan merebahkan tubuhnya dengan kasar di kasur empuknya adalah pilihan Luna saat ini.
Berbaring ke kiri sembari memandang indahnya malam melalui jendela kaca yang tirainya memang ia belum tutup itu dengan kristal bening yang terus menetes membasahi wajahnya.
Andai ia tak sengaja menabrak mobil Chandra, ia tak perlu ganti rugi dan harus menerima tawaran menikah dengannya, ia pun tidak mungkin membuat Ibunya menangis seperti itu, merasa tak dianggapnya padahal Luna sendiri bingung dengan dirinya.
Bingung bagaimana menghadapi situasi yang ada. Andai ada sahabat yang bisa ia berbagi cerita dan keluh kesahnya, mungkin ia sekarang akan lari ke tempat dimana temannya itu berada.
Ia ingin bercerita dan meminta pendapat, langkah apa yang harus ia ambil untuk menghadapi masalah yang tiba-tiba membuat hidupnya rumit seperti ini.
Namun, itu semua hanyalah angan. Karna Luna belum pernah mau terlalu dekat dengan temannya.
Baginya, memendam masalah sendirian lalu melupakannya adalah cara terbaik menghadapi hidupnya selama ini.
Tak mungkin ia bercerita dengan Ibunya, karna ia begitu memuliakan wanita itu. Tak ingin menyusahkannya walaupun hanya karna Luna belum bisa menjawab pekerjaan rumah dari sekolahnya dahulu.
***
"Lani.. Mundurkan semua jadwal meeting saya pagi ini." titah Chandra pada Jaelani saat laki-laki itu kini menjemputnya di depan rumahnya.
Sembari membukakan pintu untuk Chandra, Jaelani yang memang merupakan sekretaris dengan kekepoan tertinggi itu tak bisa mengenyahkan begitu saja rasa penasarannya. "Memang ada apa, Tuan? Bukankah Anda pagi ini akan ke kantor? Anda tidak ada jadwal mengajar Kan?" Jaelani bertanya tanpa jeda tak menhiraukan tatapan membunuh dari mata elang milik Chandra.
"Diamlah Lani.. Ikuti saja mau saya." titahnya tak terbantahkan dan menyadarkan Jaelani jika Tuannya memanggilnya seperti nama perempuan.
Secepat kilat Jaelani masuk ke dalam mobil, lalu mulai menyalakan mesinnya dan tak lupa ia pun mengungkapkan kembali apa yang mengganggu pendengarannya.
"Emm.. Maaf Tuan, nama saya itu Jaelani. Bisakah Tuan memanggil saya dengan panggilan Jae saja, jangan Lani. Karna itu nama perempuan." ujar Jaelani dengan menatap rear-view di mobilnya melihat reaksi atasannya itu.
"Suka hati saya mau memanggil nama kamu apa." ujar Chandra sembari tersenyum menyeringai karna tau sekretaris pribadinya itu tak bisa membantahnya lagi jika ia sudah mengeluarkan ultimatum.
Dan benar adanya, Jaelani hanya bisa mengangguk pasrah dengan wajah sendu yang tidak dibuat-buat yang membuat siapa saja yang melihat pasti tertawa. Sama halnya dengan Chandra saat ini.
Namun, ia pun berdehem untuk menetralkan tertawanya karna tak mau terlalu menyinggung Jaelani.
Bagaimanapun, walaupun ia cerewet tapi Jaelani selalu bisa diandalkan dalam pekerjaan.
"Kita ke Jalan Cinta ke rumah nomor 25, Lan." titah Chandra saat mereka baru saja keluar dari gerbang rumah Chandra.
"Jalan Cinta? Bukannya itu Jalan dimana Anda menyuruh saya untuk menyelidiki alamat seorang wanita, Tuan." Jaelani mulai meningkatkan kekepoannya kembali.
"Benar.. Dan wanita itu yang akan saya nikahi." ujar Chandra yang membuat Jaelani membulatkan mata.
"Anda serius, Tuan?"
"Kalau saya tidak serius, mana mungkin saya menyuruh kamu mengantar saya ke rumahnya pagi-pagi gini."
"Memangnya Anda mau ngapain Tuan? Ini masih begitu pagi sekali." Jaelani mengungkapkan fakta karna jam yang melingkar di pergelangan tangannya baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.
Hal luar biasa yang memang ia pun mulai curiga dari pagi karna atasannya itu meminta dijemput lebih awal dari biasanya.
"Saya mau meminta restu pada calon Ibu mertua saya." ujarnya lantang dan penuh keyakinan yang menbuat Jaelani membuka mulutnya menganga tak percaya.
"Heuh?" Jaelani bergumam sembari terus menatap ke depan. Masih tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
Upit
hi Lani, saya Lina😆
2023-08-15
1
Sulaiman Efendy
LO ORG TEPELAJAR, HRSNYA LO PNY ATTITUDE & AHKLAK, DTG BAIK2 KE IBUNYA LUNA & MELAMAR SERTA MNTA RESTU, JGN MNTANG2 LO ORG KAYA, BRSIKAP SEMENA MENA TRHADAP ORG MISKIN
2023-06-15
1
Enung Samsiah
luna, lena, skrg lani,,, hadeeehhh,,,
2023-06-04
1