Cerita ini menggunakan alur maju mundur di awal mula, dengan tujuan agar cerita tidak monoton.
***
Flashback kurang dari delapan tahun yang lalu...
Kriiiiiinggggg....
Bunyi jam weker pagi itu tidak berhasil membangunkan Yuko. Ibuku sudah bangun lebih dulu karena rasa mual dan pusing yang dia rasakan semakin parah dari hari ke hari. Dia tidak tahu gejala apa yang tengah dirasa padahal menjaga kesehatan -- agar tetap fit untuk menulis -- adalah prioritas utama yang rutin dia lakukan.
Yuko semakin tidak berdaya, tubuhnya seperti tidak bisa di ajak kompromi lagi, bahkan untuk sikat gigi pun dia mual dan muntah mabuk luar biasa.
"Siall! Masuk angin macam apa ini?! Perlukah aku ke dokter? " Sesalnya dalam hati.
Yuko kliyengan saat mulai menatap layar komputer. Dua hari lagi editor dari penerbit akan meronta -ronta menagih naskah cerita yang sudah mendekati batas waktu penulisan. Dua kali sehari editor selalu menelpon, seperti pengingat jadwal minum obat.
"Takeshi! Aku sedang tidak enak badan! Tidak bisakah kau bersabar sedikit saja?! " Selain sakit, sang editor heran akhir akhir ini Yuko jadi gampang tersulut emosinya.
Yuko pikir menjadi seorang penulis adalah pekerjaan yang menyenangkan dan bisa dibawa santai, namun persepsi itu mentah semua sekarang. Ketika karyanya sudah banyak dikenal orang -- juga menjadi mesin pencetak uang penunjang kehidupan sehari hari-- Yuko semakin tidak punya banyak waktu untuk sekedar liburan singkat. Iya, menulis adalah sumber pendapatan Yuko saat itu.
Bagaimana tidak, Yuko putus sekolah saat duduk di kelas dua SMA. Ayah dan ibunya bercerai, dan Yuko memilih ikut dengan ibu kandungnya dan hidup bahagia berdua saja tanpa kehadiran seorang ayah. Takdir berkata lain, dua tahun pasca bercerai ibu Yuko meninggal dan harus kembali tinggal dengan ayah dan ibu tiri nya. Tentu saja Yuko selalu bertengkar dengan sang ibu tiri. Selain menulis, dengan apalagi dia membiayai hidupnya sendiri setelah kabur dari rumah?
Aku dan ibuku sama sama keras kepala bukan?
'Baiklah !"
"Aku butuh dokter sekarang! Aku sudah tidak bisa fokus menulis jika tubuhku terus terusan begini! "
Tanpa menunggu lama, Yuko pergi --membuat janji pada klinik langganan -- berobat pada dokter Hanson, dia memanggilnya dengan sebutan dokter Hans.
"Hai dok, apa kabar? Lama tak jumpa denganmu. " Sapa Yuko begitu masuk ruangan praktek. Tak ada balasan, Dokter Hans hanya melirik tajam dari balik kaca mata tebal sembari menuliskan resep untuk pasien sebelum Yuko.
Yuko sadar dia telah bersikap tidak sopan karena merangsek masuk begitu saja sebelum namanya dipanggil. Itulah sifat asli Yuko, paling tidak sabaran, arogan dan keras kepala.
" Kebiasaan! " celetuk dokter Hans usai membubuhkan tanda tangan pada secarik surat rujukkan. Dokter yang kini berusia 50 tahun, memakai kembali stetoskop ke telinga.
"Kau baru mengunjungiku seminggu yang lalu anak kurang ajar! " Ketusnya, memberi isyarat agar Yuko lekas berbaring hanya dengan satu gerakan leher.
"Baiiiiiik," Kata Yuko melesat ke ranjang tinggi-- khas rumah sakit--sebelum dokter memarahi Yuko lagi. Mereka memang seperti itu, sebab Yuko sudah terlalu sering mengunjungi dokter Hans meski tidak dalam keadaan sakit. Yuko sudah menganggap dokter Hans sebagai orang tuanya sendiri.
"Apakah keluhannya masih sama dengan minggu lalu? " Tanya dokter sambil memeriksa detak jantung Yuko yang terdengar masih normal normal saja.
"Iya, malah makin parah saja! "
"Kau sudah ikuti saran dariku? "
"Belum, dok"
"Aku rasa ini gejala typus, bukan masuk angin, benar begitu dok?!"
"Kalau begitu, besok kau saja yang menggantikan tugasku menjadi dokter! "
"Dasar sok tahu! " Timpal dokter Hans menghela nafas panjang. Pasiennya yang satu ini memang agak sok pintar cenderung bodoh.
"Berani beraninya kau mendahului diagnosa dokter! " Gertak dokter Hans lanjut mengecek tekanan darah. Tekanan darah Yuko rendah. Pantas saja, Yuko kurang asupan makanan sejak mual muntah menghiasi hari harinya.
"Wajahmu pucat, "
"Kau sudah cek ke dokter OBGYN seperti saranku? "
"Belum, " Yuko menggelengkan kepala cengengesan. Terlalu sibuk menulis, Yuko abai dengan anjuran dokter.
"Katamu, kau sudah tidak datang bulan selama dua bulan kan? "
"Aku mendiagnosa kau sedang berbadan dua, Yuko. " Balasnya sambil mencari cari alat tes kehamilan di lemari obat.
"Untuk itu aku tidak mau memberikanmu sembarang obat." Jelasnya beralih ke meja resep dan memberikan alat tes itu pada Yuko.
Yuko sendiri tidak tahu persis, kapan terakhir kali dia datang bulan. Yuko sangat sibuk menulis, hingga abai pada siklus menstruasi. Setelah dia ingat ingat lagi, ternyata Yuko sudah telat haid selama dua bulan. Yuko gelisah, jangan jangan dia benar benar hamil. Tapi dengan siapa orangnya, Yuko masih belum bisa mengungkap. Yuko yakin saat berhubungan dengan pria manapun dia tak pernah lupa memakai alat kontrasepsi. Kemungkinan bisa kebobolan sangat minim.
"Mana mungkin aku bisa hamil, aku sedang tidak punya pacar, Dok! " Sanggah Yuko cengengesan tidak percaya atas apa yang baru saja dokter katakan.
" Mungkin saja kamu dihamili oleh dewa, sehingga kau tidak menyadarinya! " Sindir dokter.
"Benarkah ?! " Bodohnya, Yuko malah menanggapi serius lelucon yang dilontarkan dokter Hans.
"Tentu saja tidak! Sampai detik ini, belum pernah ada dalam ilmu kedokteran yang aku pelajari, manusia bisa dihamili oleh dewa!!" Dokter Hans makin kesal.
"Dan aku tidak peduli kau hamil dengan siapa, "
"Aku hanya peduli pada nasib bayinya. "
"Usiamu sudah dua puluh tahun, tapi pemikiranmu tidak jauh berbeda dengan murid sekolah dasar! " Dokter Hans menggerutu pada Yuko yang sudah dia anggap sebagai anaknya sendiri.
"Tidak!"
"Tidak mungkin!"
"Aku masih tidak yakin bahwa aku---"
"SILAKAN DATANG LAGI KESINI JIKA DIAGNOSA KU SALAH! " Telak Dokter Hans marah marah karena Yuko masih saja ngeyel.
Yuko pergi setelah diberikan resep vitamin dan anjuran mengenai hal hal yang perlu dihindari demi kesehatan janin di dalam kandungan. Entah vitamin itu diminum atau tidak, anjuran itu dilakukan atau tidak, dokter sudah menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin. Semua dikembalikan lagi pada kemauan pasien.
"Ku do'akan kelak keturunanmu tidak sebodoh dirimu, Yuko! " desis dokter Hans saat Yuko sudah tidak terlihat lagi dari hadapannya.
Doa dokter Hans terkabul, aku terlahir menjadi anak yang sesuai dengan harapanmu. Guruku bilang, IQ ku hampir setara dengan Albert Einstein.
Sesampainya di rumah, Yuko justru membuang alat tes kehamilan itu ke tempat sampah. Dia bertingkah seolah itu bukan masalah besar yang harus mendapatkan perhatian besar darinya. Dia tetap bekerja, bergadang, makan minum sesuka hati meski dokter sudah memperingatkan batasannya. Yuko bekerja keras mengejar ketertinggalannya.
Kondisi Yuko semakin parah, dari hari ke hari rasa mual muntah dan gejala pengikut lainnya membuat Yuko makin kesulitan dalam menulis. Peningkatan hormon progesteron dan estrogen ternyata mempengaruhi kondisi kimiawi pada bagian otak, sehingga dampak dari itu semua adalah Yuko tidak bisa mengatur mood dan suasana hatinya. Tak ada inspirasi datang, Yuko kehabisan ide cerita.
Seminggu tidak menulis, Yuko memilih berdiam diri istirahat di kamar. Yuko kehabisan energi untuk merunut rangkaian alur cerita -- walaupun kerangka cerita yang dibuat sebelumnya sudah sangat brilian-- serta kesulitan merangkai kata kata.
Dia sedang memikirkan hal lain, meraba raba setiap kemungkinan. Pria itu adalah pria terakhir yang Yuko kencani. Mengingat namanya saja Yuko benci, apalagi harus mengakui nya. Sebab, Yuko sendiri belum bisa menerima kenyataan bahwa dia sedang hamil meski hasil tes dengan sejelas jelas nya sudah menunjukkan dua garis merah nyata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Tyara Lantobelo Simal
Semangat
2021-12-20
0
Xianlun Ghifa
paket lengkap, 5 ⭐, like, komen, favorit. jangan lupa mampir di CS saya Tumbal Cinta Jalan Ke Surga
2021-10-01
0