...Perjalanan hidup tidak selamanya berliku. Terkadang Allah menghadirkan ujian untuk memperkuat keyakinan. Apa kita mampu melalui ujiannya atau tidak?...
.......
Sudah hampir satu bulan Riana melakoni tugas sebagai arsitek. Sejak ia bekerja bersama art collection kini di perusahaan itu tersedia makanan halal. YeonJin, khusus mendatangkan koki muslim dari Turki.
Mendapatkan pelayanan khusus dari rekan kerja membuat Riana betah bekerja di sana. Ia mengerahkan semua kemampuan untuk merancang bangunan agar tidak mengecewakan sang klien.
Seiring berjalannya waktu pertemanan antar mereka pun terjalin. Jimin yang awalnya mengira YeonJin menyukai Riana ternyata salah besar. Ia hanya mengagumi kemampuan yang dimilikinya saja.
Berbicara tentang kemampuan. Dulu, saat Riana masih berada di Indonesia dan menjadi seorang istri dari mantan suaminya, banyak omongan yang terus menghantam. Seperti, “Kamu tidak akan sukses dengan kemampuanmu itu.”
“Sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya ke dapur juga. Memang seperti itulah kodratnya wanita. Jangan banyak tingkah. Percuma sekolah tinggi, tetapi tidak berguna.”
Masih banyak perkataan menyakitkan yang setiap saat mengundang air mata. Sudah tidak ada orang tua yang ia bagi keluh kesah. Hanya mengadu pada Sang Khalik yang setiap saat memantau keadaannya.
Riana beruntung masih bisa diberi napas. Kesempatan kedua yang Allah kasih tidak akan ia sia-siakan. Itulah tekadnya. Hingga pada akhirnya ia ada di sini. Tengah menebar senyum pada setiap pekerja yang bekerja sama dengannya.
Riana tidak lagi diremehkan, tidak dicaci maki dan lebih dihargai. Ia sangat bersyukur bisa melebarkan sayap dan terbang dari sangkar menyesakan itu.
YeonJin yang baru tiba di tempat lokasi pembuatan bangunan terbaru melengkungan senyum menawan tat kala menangkap betapa semangatnya Riana hari ini. Ia memperhatikan wanita itu dalam diam sedari tadi.
“Aku tidak menyangka wanita seperti Riana bisa bekerja dengan pria-pria tua itu sungguh sangat disayangkan.” Ocehan meluncur mulus dari mulut seseorang yang berdiri di samping kanannya membuat YeonJin menoleh dan mengerutkan dahi heran.
“Paman? Sedang apa paman di sini?” tanyanya, bingung.
“Oh, ponakan ku kamu sudah besar ternyata. Paman ingin melihat bangunan barumu,” jelasnya ditambah acara pelukan singkat khas keluarga yang sudah lama tidak bertemu. Namun, YeonJin tidak menyukai hal itu.
"Basa-basi yang sangat basi," benaknya. “Tumben. Biasanya paman ingin uangku saja," sindirnya langsung.
Pria paruh baya itu tertawa singkat. “Seperti biasa kamu tidak suka basa-basi.”
Senyum tipis muncul menjawab perkataan sang paman. Pria dengan tinggi seratus tujuh puluh sentimeter berbadan berisi itu menatap lekat orang-orang di depan. Mereka sama-sama diam hanya ditemani suara konstruksi yang saling bersahutan. Kehampaan membuat YeonJin tidak menyukainya, terlebih bersama pria lima puluh tahunan ini.
“Mimpi ibumu akhirnya terwujud juga. Mereka pasti bangga padamu Jin," lanjut pamannya lagi. Kini perbincangan mengarah pada hal serius.
“Tidak usah membicarakannya. Jangan so peduli dengan kehidupan dan keluargaku.” Nada kekesalan terdengar. Kim Haneul tahu, keponakannya tengah menahan amarah. Sudut bibirnya terangkat melihatnya pergi.
Setelah memberikan pengarahan kepada orang-orang itu, Riana meninggalkan lokasi. Ia berencana kembali ke gedung art collection untuk membuat laporan. Namun, langkahnya terhenti saat menangkap bayangan seseorang yang tengah duduk di bangku dekat parkiran. Seakan kenal ia pun mendekatinya.
“Sajangnim.” Panggilnya pelan.
Kepala yang tengah menunduk itu mendongak menoleh ke sebelah kiri mendapati Riana, dan seketika ia terkejut.
“Eh? Kamu sudah selesai bekerja?” tanya YeonJin mengalihkan topik. Riana mengangguk singkat.
“Saya mau kembali ke kantor. Apa Sajangnim ada pertemuan di sini?” tanyanya balik. YeonJin menggelengkan kepala cepat.
“Ani. Saya hanya sedang melihat-lihat saja, tetapi bentuknya belum terlihat,” jawabnya.
Riana pun terkekeh kecil dibuatnya. "Sudah pasti. Mereka baru saja mulai."
“Oh yah tadi kamu bilang mau kembali ke kantor? Aku juga mau balik lagi, kita bareng saja. Ayo,” ajaknya melepaskan ke-formalan.
Riana mematung di tempat, tidak menyadari pira itu sudah melangkah meninggalkannya. Ia melamun merasakan sesuatu dalam hati. Hal yang ingin ia hindari, apa akan terjadi? Ia semakin menyelam ke dasar lamunan. Hingga klakson mobil menyadarkan.
“Astagfirullah,” pekiknya.
“Masuklah!” Teriak pria itu menyembulkan kepala keluar. Spontan Riana mengangguk dan bergegas mengikuti suruhannya.
Perjalanan menuju gedung perkantoran terasa lebih panjang. Setelah duduk di jok itu, Riana tidak pernah putus beristighfar. Pemandangan yang terhampar tidak sedikit pun mengenyahkan memori yang terus datang menghantam kepala.
Bak kaset kusut, kenangan itu terus berputar membuatnya gelisah. YeonJin yang tengah menyetir pun merasakan. Berkali-kali ia menoleh dan mengerutkan dahi dalam tidak mengerti. Ini pertama kalinya ia bersama wanita berhijab seperti Riana. Begitu pula sebaliknya.
“Kenapa? Apa kamu tidak terbiasa naik mobil?” Pertanyaan itu membuyarkan lamunan Riana.
“Ah, ti-tidak Sajangnim. Ha-hanya saja saya-”
“YeonJin. Panggil aku YeonJin. Kita sedang tidak di kantor sekarang,” potongnya cepat. Riana mengangguk pelan dan tidak ada percakapan lagi.
Ia gelisah dan membungkam mulutnya sendiri. Setelah sekian lama ia mengurung dan menutup diri untuk tidak berinteraksi dengan pria yang bukan mahrom, kini situasi menjebaknya.
Mati-matian ia menahan diri seraya berkeringat dingin. Ia takut. Sungguh, ia sangat takut. Bersama pria asing ini membuat luka kembali mencuat ke permukaan.
"Tidak boleh! Jangan sampai terjadi, astaghfirullah Ya Allah lindungi hamba," gumamnya dalam benak.
Setelah setengah jam menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di kantor. Buru-buru Riana masuk ke dalam gedung tanpa mengindahkan atasannya. Langkah kaki yang terseok-seok itu membuat YeonJin kembali menautkan alis.
“Apa yang sudah aku lakukan? Kenapa dia berjalan seperti itu?” herannya.
Ruangan bernuansa biru laut menjadi tumpuan keletihan. Bak lari sepuluh kali mengitari lapangan sepak bola, Riana banyak mengeluarkan keringat dan tidak fokus untuk bekerja.
Sedari kedatangannya beberapa menit lalu hanya ada keheningan. Sorot mata kosong menatap layar laptop yang terus menyoroti wajahnya. Ia melamun, tidak bisa berkonsentrasi.
Terus seperti itu sampai jam menunjukan pukul setengah enam sore. Itu tandanya waktu bekerja telah usai. Tanpa daya dan upaya Riana membereskan berkas-berkas yang tidak tersentuh olehnya sedikit pun. Selesai dengan urusan di meja, ia menyambar tas dan berjalan meninggalkan ruangan untuk segera pulang.
Bunyi pintu lift terbuka menyadarkan. Ia masuk tanpa ada orang lain di sana. Lantai demi lantai terlewati. Hingga lift kembali terbuka di lantai enam. Pria berjas biru dongker kembali dipersatukan dengannya. Tanpa melihat kedatangan orang lain, Riana terus menundukkan pandangan. YeonJin. Sang CEO art collection berkali-kali dibuat heran.
“Riana-ssi… Riana-ssi… RIANA.” Dengan sedikit kencang YeonJin terus memanggilnya.
Riana kembali dari alam bawah sadar dengan mata bulannya membola sempurna. “A…YeonJin-ssi."
“Sebenarnya, kamu kenapa? Sedari pulang dari proyek kamu seperti ini. Apa ada yang tidak beres?” tanya YeonJin beruntun.
“Aku-”
Sebelum menjawab pertanyaan YeonJin, tiba-tiba saja lift berhenti berjalan. Seketika mereka panik.
Berkali-kali Riana menekan-nekan tombol untuk meminta bantuan. Kedua tangannya melambai ke arah CCTV. Namun, hingga beberapa menit kemudian tidak ada yang menyahuti.
“Sial, kenapa seperti ini? Apa mereka tidak becus-"
Untuk kedua kalinya YeonJin terkejut mendengar suara benturan yang kini dihasilkan oleh orang didekatnya. Ia menoleh ke samping kanan melihat Riana jatuh terduduk. Ia kembali terkejut menyaksikan lelehan air mata yang turut mengiringi. Buru-buru ia berjongkok memperhatikan wanita itu lebih dekat.
“Ri-Riana?”
Wanita itu tidak mengindahkannya sama sekali. Dengan napas memburu hebat ia mencoba menahan kesakitan yang mencoba datang menerpa lagi. Sekelebat bayangan masa lalu berputar. Kepala berhijabnya terus menggeleng mengenyahkan pikiran menyesakkan dada.
“Sa-saya minta maaf,” gumamnya parau. YeonJin yang tidak mengerti dengan keadaannya hanya bisa terdiam.
Sampai getaran ponsel di tas selempang nya membuat Riana sadar. Ia mengusap air mata kasar seraya mengubek isi tas menemukan benda pintar miliknya. Tertera nama sang malaikat kecil di sana. Ia terdiam bak patung tidak melakukan apa pun. Hal itu pun turut menjadi perhatian Kim YeonJin.
Setelah beberapa menit terjebak, akhirnya lift kembali berfungsi normal. Buru-buru Riana melarikan diri dari hadapan YeonJin. Jika sudah menyangkut keadaan seperti ini ia tidak peduli dengan siapa dirinya berhadapan. Pria itu hanya terus melihatnya hingga sosok sang rekan kerja menghilang dalam taksi.
“Ssshhh, aku tidak mengerti," gumamnya memiringkan kepala.
Riana masih mencoba menahan kepedihan. Air mata tak kunjung reda membuatnya terus mengusap kasar. Rasa sakit yang dihilangkan secepat kilat menyentuh hati terdalam menimbulkan ketidakberdayaan.
“Tidak! Aku tidak boleh mengingatnya lagi. Kenangan bersama dia harus dimusnahkan!" tekadnya sendu.
Beberapa saat kemudian Riana tiba di sekolah sang anak. Waktu gelap itu membuat keadaan terlihat hening. Di sana di depan gedung, gadis kecilnya tengah menunggu.
“Kaila, Sayang.” Panggilnya cepat mendekati sang anak.
“Mamah.” Mereka berlari kecil lalu saling berpelukan.
“Maaf, Mamah telat menjemput mu,” sesalnya seraya mendaratkan kecupan hangat di kepala Kaila.
Gadis kecil itu mengangguk paham. Setelah berpamitan, mereka berdua pun menaiki taksi segera pulang ke apartemen.
Jalanan kosong memudahkannya tiba di tempat tujuan lebih cepat. Riana menggandeng hangat tangan Kaila seraya berjalan menuju ke dalam apartemen. Ia tidak bisa kehilangan malaikat kecilnya.
Lima tahun bukan waktu sebentar. Sebagai orang tua tunggal, Riana harus berjuang mati-matian dengan berdarah-darah untuk kebahagiaannya. Kini, di Negara Ginseng ia berhasil menemukan puncaknya dan berhasil mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan.
“Sayang.” Panggilnya menahan sang anak dan membalikan tubuh kecil itu untuk berhadapan.
“Mamah sayang~ sekali sama kamu Kaila. Mamah janji akan membahagiakanmu.” Senyum pun merekah di wajah imutnya.
“Kalia senang sekali mendengarnya Mah. Kaila boleh minta sesuatu tidak Mah?” pintanya kemudian. Riana mengangguk mengiyakan.
“Kaila ingin melihat ayah. Selama ini Kaila tidak tahu ayah itu seperti apa.”
Bak diiris pisau belati, hati Riana sakit mendengar permintaan anak semata wayangnya barusan. Tanpa bisa dicegah air mata tumpah ruah dan ia pun merengkuhnya hangat.
“Nanti, Kaila bertemu ayah yah. Nanti,” balasnya dengan suara bergetar.
"Entahlah, apa aku bisa mempertemukan kalian? Pria itu bahkan tidak menginginkan kehadiran Kaila. Maafkan Mamah, Sayang," batinnya berkecamuk.
Malam yang hening ini menjadi saksi tentang kekecewaan yang ia rasakan kembali.
Di tempat berbeda, sedari tadi Kim YeonJin sang pemimpin perusahaan masih memikirkan apa yang terjadi dengan rekan kerja barunya, Riana. Bayangan wanita itu terus menghantui tanpa henti. Ia penasaran akan sesuatu hal yang terjadi.
“Kenapa dia menangis? Aku tidak melakukan apa pun padanya. Ssshh, ini membuatku pusing. Ada apa sebenarnya?” gumamnya penasaran.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Happyy
👊🏼👊🏼
2023-06-15
0
Cucu Saodah
nah racun cinta nya mulai bekerja
2022-05-26
0
asridiani
setelah sekian lama judul ini ku keep d halaman judul favorit ku, akhirnya ku baca juga dan ternyata emang baguuusss banget kisah nyaaa😍😍😍👍
2022-02-16
1