...Pergi menjadi tujuan utama melupakan seseorang yang menyakitkan....
.......
Riana, diusianya yang masih berkepala dua sudah menjadi seorang single parent. Membesarkan anak seorang diri tanpa adanya suami dan keluarga membuatnya harus banyak melewati episode kehidupan yang menyesakan.
Pria yang ia pikir menjadi tumpuan hidup tidak berakhir seperti itu. Selama setahun lebih ia hidup dalam kesengsaraan. Namun, itu sudah menjadi masa lalu seorang Riana. Sekarang ia ingin membuka lembaran baru dengan sang anak demi melanjutkan kehidupan, tanpa bayang-bayang orang yang sempat ia cintai. Perasaan itu tumbuh dengan seiring berjalannya waktu, walaupun dulu pernikahan disebabkan perjodohan semata.
Cinta, sekarang menjadi kata tabu yang tidak bisa dipercaya. Seolah kata itu hilang dalam kamus hidupnya.
Hari ini menjadi hari ketiga bulan ia mengemban jabatan sebagai arsitektur sebuah perusahaan besar di ibu kota Seoul, Korea Selatan. Tidak mudah memang mencari nafkah di negara orang terlebih dia single parent dan muslim menjadi minoritas membuat Riana harus berusaha sekuat tenaga. Ia tidak peduli apa kata orang, yang ia pedulikan hanyalah kebahagiaan sang anak.
“Kamu masih bekerja?”
Pertanyaan itu mengalihkan dunianya. Riana mendongak melihat pria jangkung tengah berjalan mendekat.
“Eung, seperti yang Anda lihat,” jawabnya sambil menganggukkan kepala.
“Tidak makan siang? Nanti keburu habis waktunya," ucap sang lawan bicara lagi.
Seketika Riana menatap jam dinding di samping kanan. “Ya Allah, saya tidak sadar sudah jam segini.” Ia panik seraya bangkit dari duduk.
“Eum, kalau begitu saya makan dulu yah.” Riana melengos pergi meninggalkannya begitu saja.
“Yak! Tunggu aku!” YeonJin pun mengikutinya dari belakang.
Tempat makan khusus karyawan siang ini terdengar sedikit gaduh. Kedatangan sang CEO mengundang perhatian banyak orang. Tentu saja mereka heran, tidak biasanya atasan itu mau makan di tempat yang sama dan terlebih bersama Riana.
Bisik-bisik dari karyawan lain berhembus. Riana yang tidak menyadarinya acuh tak acuh menikmati makan siang. Ia pun tidak menyadari jika sedari tadi Kim YeonJin duduk di depannya.
“Kenapa Anda makan di sini? Bukannya setiap hari selalu pergi ke restoran bersama sekertaris Anda, Choi Jimin.” Akhirnya Riana sadar.
“Iya memang. Entah kenapa aku ingin makan di sini sekarang," balasnya begitu saja.
Riana hanya menganggukkan kepala sekilas dan kembali fokus pada kegiatannya.
YeonJin menatap lekat. Tidak pernah ia bayangkan seumur hidup bisa bertemu dengan wanita seperti Riana. Selama ini wanita-wanita yang ada di sekitarnya pasti selalu tebar pesona untuk meluluhkan hati CEO muda ini.
Namun, berbeda dengan Riana. Bahkan untuk menatapnya saja ia berkali-kali menundukkan pandangan. YeonJin tidak mengerti dan sangat penasaran.
“Kenapa kamu selalu menundukan pandangan saat berbicara denganku? Dan lagi, kamu kan bekerja dengan banyak pria. Kenapa kamu memilih menjadi seorang arsitek?” YeonJin menghujaninya dengan pertanyaan.
“Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Saya juga melakukannya kepada para pekerja di lokasi. Kenapa saya memilih menjadi seorang arsitek? Karena saya suka merancang rumah mewah," jawab Riana jujur.
“Ah," gumam YeonJin. Namun, masih ada sesuatu yang mengganjal hatinya. “Apa kamu sudah menikah?”
“Okhok-okhok… Eh!” Riana terbatuk beberapa saat mendengar pertanyaan barusan.
Ia mendongak membalas tatapan sang atasan, lekat. Wajah penasaran itu tertangkap dan Riana kembali mengalihkan pandangan ke arah lain.
“Kenapa Anda bertanya seperti itu?” Herannya.
“Sudahlah Riana panggil aku YeonJin saja. Tidak usah formal, anggap aku ini temanmu. Iya kan kalau sudah menikah kamu tidak perlu capek-capek bekerja seperti ini." YeonJin terus saja berceloteh tanpa menyadari sang lawan bicara terdiam.
Hingga Riana kembali menimpalinya. “Saya tidak bisa ongkang-ongkang kaki dan menerima uang dari seseorang. Mungkin itu... dan mendapat uang dari hasil sendiri lebih memuaskan!" tegasnya.
"Tetapi, memang itu sudah menjadi kewajiban suami menafkahi istrinya.” Mendengar pernyataan YeonJin membuat Riana tersenyum sekilas.
“Cepat makan nanti keburu dingin,” titahnya tanpa menimpali lagi, YeonJin mengangguk patuh dan langsung memakan makanannya yang sedari tadi hanya menjadi pajangan.
"Suami? Bahkan selama kami menikah dia tidak pernah menafkahi ku secara lahir," lanjut Riana membatin. "Ingin melupakan malah semakin teringat. Ya Allah pria ini datang dari mana?" lanjutnya melirik sang atasan sekilas.
Selesai makan siang mereka kembali ke pekerjaan masing-masing. Tanpa Riana tahu YeonJin masih berada di luar ruangannya. Kedua mata itu menatap lekat sosoknya yang tengah serius bermain bersama pensil dan kertas. Sesekali senyum mengembang, ia pun tidak mengerti kenapa lengkungan bulan sabit itu terbit begitu saja.
“Hyung.” Panggilan itu menarik YeonJin ke dunia nyata. Secepat kilat memudarkan senyum lalu menatap sang lawan bicara lekat yang datang entah dari mana.
“Waeyo?” tanyanya acuh tak acuh.
Jimin mengerutkan dahi bingung. “Ada apa? Apa Hyung melihat sesuatu yang menarik?” YeonJin melangkahkan kaki perlahan.
“Ani. Oh yah ada apa?” tanyanya lagi mengingatkan.
“Ada investor yang ingin melelang lukisan mu, Hyung. Dia ada di lantai bawah sedang melihat-lihat,” jelasnya membuat kedua mata itu membulat sempurna.
“Jinjja? Ini kesempatan emas. Ayo pergi.” YeonJin pun menuju tempat yang dimaksudkan.
Pria tinggi berjas abu tengah mematung mengamati lukisan abstrak di hadapannya. Senyum mengembang kembali di wajah YeonJin. Lembaran uang ia pikirkan hari ini kembali memenuhi dompetnya. Hanya dengan memikirkannya saja sudah membuat ia sebahagia itu.
Jimin yang berjalan di sampingnya menoleh paham apa yang mengendap dalam dirinya. Langkah lebar YeonJin semakin bergerak cepat, tidak sabar untuk mendekati investor muda di sana.
“Anyyeong haseyo. Saya Kim YeonJin pemilik perusahaan ini sekaligus lukisan itu," ungkapnya senang.
Pria tadi menoleh dan tersenyum lebar mendapatinya. “Annyeong haseyo. Iya, saya sudah tahu siapa Anda. Kedatangan saya memang ingin membeli lukisan Anda. Dari awal Anda debut saya sudah jatuh hati dengan karya Anda, Kim YeonJin-ssi dan ini menjadi kehormatan bagi saya kita bisa bertemu. Oh yah, saya dari perusahaan CO grup-”
“Ah, Anda pengusaha baru itukan. Lee Hyun Jye?" tunjuk YeonJin tepat ke arah pria di hadapannya ini. "Senang bisa bertemu dengan Anda di sini dan saya merasa sangat terhormat. Terima kasih sudah menyukai karya saya," lanjutnya lalu menggenggam tangan pria bernama Lee Hyun Jye erat. Jimin menutup sebagian wajahnya, malu. Atasannya ini memang kadang terlewat batas jika sudah masuk ke dalam perbincangan bisnis.
“Ah, kalau begitu kita bicarakan ini di ruangan saya. Mari-mari… Choi Jimin-ssi, bisa Anda bawakan lukisan nya?” pintanya pada sang sekertaris. Jimin mengangguk patuh melihat kepergian dua orang berkedudukan tinggi itu.
“Shhh, senangnya punya jabatan," gumam Jimin mengangkat lukisan tadi.
...***...
Kesepakatan sudah diambil. Lee Hyun Jye pengusaha baru itu merogoh kocek yang tidak sedikit untuk membeli lukisan legendarisnya. Kim YeonJin, tengah berbunga-bunga di singgasananya. Rezeki yang tidak disangka-sangka datang begitu cepat mendekat.
Semerbak uang baru menguar di ruangan. Jimin yang masih ada di sana menatapnya lekat. Beberapa detik lalu lukisannya dibawa oleh Hyun Jye. Dengan bangga investor muda itu menggandengnya sendirian meskipun ada dua orang pengawal. YeonJin tidak mempermasalahkan selagi uang sudah masuk ke dalam rekening pribadinya.
“Aku tidak mengerti kenapa Lee Hyun Jye mau membeli lukisan Hyung yang tidak beraturan. Bukankah itu hanya cat warna yang dilempar-lempar kan saja?" heran Jimin.
YeonJin menggoyangkan jari telunjuknya tapat di muka pria itu.
“Itu baru namanya seni. Kamu tidak akan mengerti dengan perasaan yang disampaikan," jelasnya, bangga.
Jimin menghela napas kasar dan memutar bola mata bosan. "Iyalah, dasar maniak kanvas.”
“Apa kamu bilang?” amuk YeonJin. Jimin pun melarikan diri dari sana.
“Yak! Mau ke mana kamu? Aku belum selesai bicara!” Nada tinggi menggelegar di ruangan, Jimin kembali menyembulkan kepala di balik pintu.
“Apa lagi Hyung?" tanyanya penasaran.
“Karena suasana hatiku sedang baik, ajak semua karyawan makan malam bersama di restoran,” ungkapnya lagi.
Kedua mata Jimin membola sempurna. Ini kesempatan emasnya bisa mendekati wanita yang menjadi inceran.
“Siap Hyung nanti aku beritahukan pada mereka.” Selung pipi di wajahnya semakin ke dalam membuat senyumnya terlihat sangat manis.
Malam menjelang, seperti yang sudah diumumkan Jimin beberapa jam lalu kini mereka menuju restoran terdekat. CEO itu berbaik hati mau mentraktir para karyawannya, meskipun tidak semua. Hanya sebatas orang-orang terdekatnya saja. Termasuk Riana.
Wanita itu sudah duduk nyaman bersama rekan-rekan kerja. Ia terlihat bingung melihat mereka makan dengan lahap. Sosoknya yang berada di ujung meja tidak terjangkau pandangan. Namun, tetap saja kedua mata itu memperhatikannya sedari tadi. Tanpa ia sadari pria itu berjalan mendekat.
“Apa ada makanan yang kamu tidak suka?” tanyanya seraya duduk di depannya begitu saja.
“Eh? YeonJin-ssi. Eum, apa ini restoran halal?” Mendengar perkataannya membuat YeonJin tersadarkan. Ia lupa jika Riana berbeda dengan mereka.
“Mianhae, Riana. Aku lupa," balas YeonJin merasa bersalah.
Riana tersenyum menyambutnya. “Eung, tidak apa-apa YeonJin-ssi.”
Baru saja bibirnya hendak mengeluarkan kata-kata lagi pergerakan Riana membuatnya terdiam. Getaran di saku blazer membuat ia buru-buru mengambil ponsel dan menjawab panggilan.
“Assalamu’alaikum, Sarah? Mwo? Baiklah aku segera ke sana sekarang.”
Panggilan pun terputus secara sepihak. Netra bulat itu menatap YeonJin cemas.
“YeonJin-ssi. Saya minta maaf. Saya harus pulang sekarang.”
Tanpa mendengar jawabannya, Riana langsung menyambar tas dan berlalu. Wajah kekhawatiran itu masih terekam jelas dalam pikiran. Seketika itu juga YeonJin mengikutinya, terlebih setelah kejadian kemarin sore. Ia tahu ada sesuatu yang tengah disembunyikan wanita itu.
Sudah berkali-kali Riana menghentikan taksi. Naas kendaraan umum itu tidak ada satu pun yang mau berhenti. Mereka tengah membawa penumpang dan tidak mengindahkan tandanya.
Ketakutan semakin terlihat jelas di wajah cantiknya. Perasaan seorang ibu tidak bisa dibohongi. Sarah yang tadi menghubunginya dan memberitahukan jika sedari tadi Kaila terus menangis.
Riana khawatir ada sesuatu pada putri kecilnya. Itu tidak boleh terjadi. Air mata menggenang membuat pandangan sedikit buram.
“Ya Allah, kenapa tidak ada taksi yang kosong?” tuturnya sedikit kesal.
Di tengah-tengah kebingungan, tiba-tiba saja mobil hitam mewah berhenti tepat di depan. Riana bingung sekaligus takut.
Tidak lama berselang jendelanya terbuka dan menampilkan YeonJin di sana. “Masuklah aku antar!” teriaknya dari dalam.
Tanpa menyia-nyiakan waktu Riana masuk dan mereka pun meninggalkan restoran. Jimin yang tidak sengaja melihatnya merasa tertarik apa yang sebenarnya terjadi pada YeonJin.
“Aku harus mencari tahu,” gumamnya.
Hanya ada keheningan dalam kendaraan roda empat itu. Riana masih menahan kecemasan dalam diam. YeonJin pun tidak mau mengusiknya, sekarang wanita itu terlihat ketakutan.
Setengah jam berlalu, mereka pun tiba di depan bangunan taman kanak-kanak. Riana bergegas keluar tidak mengindahkan keberadaan YeonJin di sampingnya. Tanpa ia sadari pria itu pun turut mengikuti langkahnya.
Melihat sosok sang ibu datang, Kaila bergegas melepaskan pautan tangan dari Sarah dan berlari ingin menerjang Riana.
“Mamah!" teriaknya lantang. Riana pun menyambutnya dengan pelukan hangat.
“Mamah? Tunggu bukankah itu sebutan eomma dalam bahasa Indonesia? Ja-jadi Riana sudah menikah?”
Keterkejutan nampak di wajah tampan YeonJin melihat interaksi ibu dan anak di sana. Ia tidak percaya jika arsitek kebanggaannya sudah memiliki anak dan menikah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
chacha army
suka cerita kakak pas namanya masih kim namjoon ngefeel 😭, but aku akan tetap baca
2023-11-27
1
Happyy
😎😎
2023-06-16
0
Taurusgirl
Apa CEO'y ga periksa dlu Latar belakang orng yg jdi Arsitektur'y??mungkn sekertaris'y hrs'y tau,dari data karyawan?!😁 Cerita'y ckp menarik.😍
2022-07-02
0