QUEEN, The Single Parent?
...Alaa bizikrillaahi tathma innul quluub...
..."Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."...
...(QS. Ar-Ra'd 13: Ayat 28)...
...🌸...
...🌸...
...🌸...
...Guru paling berharga adalah masa...
...lalu....
.......
“Aku sudah mengambil keputusan untuk kebahagiaan kita!” Tegas seorang wanita berhijab biru di tengah jalan sambil mengepalkan tinjuan ke udara.
Langit terlihat cerah hari ini, orang-orang berlalu lalang di sekitarnya menatap kebingungan. Kerutan demi kerutan kening yang melewatinya tidak ia pedulikan. Gemuruh semangat dalam dada begitu menggelora.
Angin menyapu hati gundah gelisah nya. Dokumen yang ia peluk satu pun tidak berhasil mendapatkan tanda tangan persetujuan pemilik perusahaan.
Sudah beberapa kali ia melamar pekerjaan, tetapi tidak ada satu pun yang mau menerimanya. Ia tidak menyerah. Namun hal tersebut ia jadikan sebagai tameng jika mungkin rejekinya bukanlah di sana.
Wanita itu kembali melangkah membawa diri sendiri hingga tiba di bangunan bercat putih cokelat. Rumah itu menjadi saksi bisu seperti apa perjalanan kelam yang ia miliki.
Masa lalu bukan untuk dikenang, tetapi dijadikan sebagai pembelajaran. Batu loncatan agar hidup di masa depan lebih cerah. Hingga kejadian itu tidak untuk dikenang, lagi.
Pintu depan terbuka lebar. Hal pertama yang menyambut kedatangannya adalah senyum cerah malaikat kecil. Seorang anak berusia dua tahun berjalan tertatih mendekat. Ia bersimpuh seraya merentangkan kedua tangan membalas sambutannya kemudian memeluk tubuh mungil itu, hangat. Aroma kayu putih dan bedak bayi menguar seketika. Ia menggendongnya dan duduk di sofa tunggal ruang tamu.
“Assalamu’alaikum, Mamah pulang," ucapnya dengan menghujani kecupan hangat di seluruh wajah sang anak. Gadis kecil itu terkekeh senang.
"Sudah dapat pekerjaan?” tanya seorang wanita paruh baya berusia sekitar lima puluh tahunan mendekat keduanya. Tanpa membalas tatapan itu ia pun menggeleng singkat.
“Mau sampai kapan kamu numpang hidup di sini? Ibu tidak mau yah kalau sampai bulan depan kamu belum juga dapat kerja maka sangat disayangkan kamu harus pergi dari sini.” Mendengar itu ia mendongak melihat kilatan kebencian dalam matanya.
Ia bangkit dengan sorot mata serius tercetak di sana.
“Ibu tidak usah khawatir, minggu depan aku dan Kaila akan pergi dari rumah ini!" Tegasnya nyalang.
“Baguslah jika kamu sadar. Lebih cepat lebih baik.”
Setiap hari hanya ada ucapan menyakitkan yang dilayangkan oleh mantan mertua. Ia sudah tidak sanggup lagi menanggung beban berat itu terus terulang.
Air mata kembali mengalir di pipi mulusnya, dengan kasar ia pun menghapusnya. Ia tidak boleh menangis. Tidak lagi! Tidak untuk kesakitan yang terus menerus datang padanya.
Ia kuat, bersama sang buah hati harus bangkit. Perkataan menyakitkan mereka harus ia jadikan sebagai motivasi terhebat.
Jika dengan cacian itu ia bisa mencapai kesuksesan, tidak peduli seberapa sakit luka yang harus dilewati. Itulah tekadnya. Ia tidak bisa terus diinjak seperti ini. Meskipun tidak ada orang yang mau menampungnya , tetapi Allah tidak pernah meninggalkannya dan ia yakin akan hal itu.
“Baiklah! Bismillah aku harus bertahan.”
...***...
Seminggu kemudian, apa yang ia ucapkan hari itu menjadi kenyataan. Seraya membawa koper besar ia pergi meninggalkan rumah yang sudah menampungnya selama hampir lima tahun. Selama itu ia sudah bertahan dan sekarang waktunya bangkit membuktikan pada dunia jika dirinya sudah bebas dalam
kungkungan sarang kelam nan kejam.
“Sudah pergi sana tidak usah basa-basi lagi," kata sang ibu mertua saat ia hendak menyalami tangannya. Tanpa mengatakan sepatah kata pun ia melangkah pergi.
"Aku berjanji akan membuktikan pada kalian jika... aku bisa terbang bebas. Terima kasih atas pelajaran berharga yang sudah kalian berikan," benaknya penuh tekad.
Perkataan itu mengiringi setiap langkahnya yang rapuh. Cacian ia jadikan sebagai bekal untuk terus melangkah maju, tidak peduli seberapa jauhnya.
Pesawat lepas landas. Awan putih berarak di sekitar membuat ia merasakan kedamaian. Langkah pertama sudah ia ambil dan selanjutnya biarkan berjalan seperti air mengalir.
Tidak sedikit pun senyum mengembang di bibirnya memudar. Ia percaya pergi jauh dari sumber sakit bisa menyembuhkannya dengan cepat. Meskipun harus mengubur perasaannya dalam-dalam.
Beberapa jam kemudian ia tiba disalah satu negara yang berhasil menerimanya. Hari itu setelah ia ditolak lagi oleh perusahaan, ia pun mencari beasiswa S2 dibeberapa negara. Mungkin inilah jawaban atas doa-doanya selama ini. Negara Ginseng, Korea Selatan menerimanya menjadi mahasiswi disalah satu Universitas ternama di sana.
Nikmat mana lagi yang ia dusta kan? Allah menghadirkan kebaikan dan kebahagiaan dibalik cacian dan makian untuknya selama ini. Sakit, perih nan pedih menjadi perjalanan kehidupannya. Luka dan luka terus menemani, ia tidak mau hal itu terjadi lagi.
“Nah, Sayang mulai sekarang kita akan hidup di sini dan memulai lembaran baru," ucapnya pada sang malaikat kecil yang berada dalam gendongan.
Keesokan harinya ia menemui universitas yang hendak menjadi tempatnya mengemban ilmu lagi. Ia senang orang-orang yang ada di sana menerimanya dengan baik walaupun ada perbedaan begitu signifikan. Bahagia tidak terkira, berkah dari Allah untuknya kali ini sangat besar dan ia harus mensyukurinya dengan baik.
Hari demi hari ia lalui dengan berat. Ternyata hidup di negara orang tidak semudah di negaranya sendiri. Rintangan datang dan ia tidak percaya itu lebih besar.
Namun, ia cukup bersyukur sebab itu datang dari orang lain. Bukan dari orang yang ia percayai. Lebih sakit cacian dan makian yang diterimanya di tanah air. Ia percaya Allah Maha Melihat dan Maha Penolong. Setiap kesakitan yang datang Allah menghadirkan ketenangan, melalui malaikat kecilnya.
Disamping sebagai seorang mahasiswi, ia pun bekerja paruh waktu dibeberapa toko di kota besar itu. Seoul, menjadi tempat tinggalnya kali ini. Badan mungilnya harus bekerja ekstra untuk menghidupi keluarga kecilnya.
Bekerja siang malam terlebih dengan tugas kampus yang tidak sedikit membuatnya harus menjaga stamina agar tetap sehat. Ia melakukan itu semua semata-mata untuk kebaikan buah hati yang hidup bersamanya. Seorang anak yang sudah Allah titipkan. Malaikat kecil pembawa kebahagiaan. Meskipun sang ayah tidak menginginkan kehadirannya.
“Aku percaya janji Allah pasti ada dan... Allah tidak pernah salah memberikan ujian. Laa yukallifullohu nafsan illaa wus’ahaa... Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Aku percaya itu.” Wajah damai sang putri menjadi obat pelepas lelah di kala hari sibuk datang menerjang.
Ditengah malam mencekam ia masih berkutat dengan kertas demi kertas. Hanya ditemani cahaya lilin untuk mengurangi biaya listrik ia berusaha sekuat tenaga. Sungguh berat kehidupan yang harus ia jalani, sekarang.
...***...
Tahun berganti tahun. Akhirnya wanita itu berhasil lulus dari Universitas bergelar S2 Arsitektur dengan nilai memuaskan. Tahap demi tahap kehidupannya mulai berubah. Ia sudah tidak menjadi pekerja paruh waktu dan pindah ke apartemen yang lebih layak. Selama masih belajar di kampus pun ada beberapa perusahaan yang menggunakan jasanya. Hingga saat ia lulus………
“Benarkah? Maa syaa Allah, bukankah ini perusahaan ternama? Mereka mau bekerja sama dengan saya?” ungkapnya dengan kedua mata berbinar senang.
“Ne Riana-ssi mereka mau bekerjasama denganmu. Saya sebagai dosen yang membimbing mu sangat bangga akhirnya kamu bisa bersinar. Jangan sia-siakan bakat terpendam itu. Kepakan sayap mu, ini langkah awal untuk masa depan yang cerah,” jelas dosen wanita bernama Lee Min Jae dengan senang.
“Alhamdulillah Ya Allah. Saya baru lulus seminggu yang lalu, tetapi sudah mendapatkan panggilan kerja? Bahkan dulu sulit sekali mencari kerja, tetapi Allah Maha Tahu segalanya," gumam Riana berdecak kagum dengan menahan tangis kebahagiaan. Wanita yang duduk di hadapannya hanya tersenyum bangga.
“Kalau begitu hari ini saya akan segera ke perusahaannya.” Ia pun beranjak pergi.
Riana Aiyash Humaira, seorang wanita single parent yang mencoba menjalani hidup di Negara Ginseng, Korea Selatan.
Riana hidup sebatang kara. Tanpa orang tua ataupun sanak keluarga yang mendampingi. Di usianya sepuluh tahun orang tuanya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.
Ternyata hidup tanpa ayah dan ibu tidak mudah. Ia harus kuat menghadapi ganasnya dunia sendirian. Ia tumbuh menjadi seorang wanita yang sangat cantik. Mata bulat besar dengan bulu mata lentik, berwajah oval, bibir kemerahan siapa pun mau mempersuntingnya. Namun, setiap kali ada pria yang melamarnya ia menolak. Alasannya Riana belum mau menikah.
Ia ingin mencapai kesuksesan untuk orang tuanya. Namun, ternyata mimpi tinggalah mimpi. Ia tidak punya uang untuk bisa melanjutkan sekolah. Hingga ia pun dipaksa menikah dengan seseorang, berkat perjodohan.
Pernikahan itu terjadi dengan syarat Riana harus kembali sekolah. Kesepakatan pun terjalin, ia pun berhasil duduk di bangku kuliah. Lulus dengan gelar S1 tidak menjadikannya menjadi seseorang serta sang suami mencegahnya untuk bekerja. Mau tidak mau ia pun harus menurutinya. Karena ia yakin surga istri ada disuaminya. Namun, kehidupan rumah tangga itu tidak berjalan mulus. Setiap hari selalu ada air mata yang mengalir. Ternyata orang yang ia pikir sebagai tumpuan hidup selalu berlaku tidak baik. Ia sering menangis seorang diri tanpa siapa pun yang tahu.
“Masa lalu yang menyesakan. Sudah, tidak baik dikenang terus,” gumamnya ketika teringat selentingan kisah hari itu.
Kini taksi yang ia tumpangi melaju kencang di jalan bebas hambatan. Bersama dengan kenangan menyakitkan yang perlahan terkikis dalam ingatan.
Beberapa menit berselang, Riana tiba di depan bangunan pencakar langit yang berdiri kokoh dan berjajar rapih dengan bangunan lainnya. Langkah percaya diri menjadi peneman setia saat kedua kaki menapaki bangunan tersebut.
“Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya pria bermata sipit mendekatinya.
“Saya mau bertemu dengan pemimpin perusahaan ini. Saya mendapatkan undangan," jelas Riana seraya menjulurkan dokumen tersebut. Pria tadi membacanya dengan teliti dan sedetik kemudian matanya
melebar.
“Kalau begitu ikut saya, Anda sudah ditunggu sedari tadi,” ungkapnya.
Mereka berdua memasuki lift. Perasaan menggebu dalam dada begitu kuat saat lantai demi lantai membawanya terbang menuju tempat tujuan. Inilah yang ia harapkan. Pencapaian pertama yang mengangkatnya pada titik keberhasilan.
Suara lift terbuka menyadarkan. Riana kembali mengikuti langkah tegap pria jangkung di depannya.
“Silakan masuk!” Titahnya.
Pintu kaca besar itu terbuka menampilkan beberapa orang penting di sana. Ia tidak sanggup melihat mereka. Sedari tadi degup jantung bertalu kencang. Ini pertama kali Riana bertemu orang-orang seperti mereka. Pemegang kekuasaan tertinggi di perusahaan.
Melihat seorang wanita berhijab ditengah-tengah rapat, seketika itu juga keadaan menjadi hening. Tatapan semua
orang mengarah padanya yang sedang duduk diujung meja. Sedari tadi kepala terbalut kain itu terus menunduk hingga suara berat seseorang menyadarkan.
“Apa Anda arsitek itu?”
Riana mendongak melihat tepat ke arah orang yang tengah duduk diujung meja. Ia tahu pasti pria itu yang menjadi CEO perusahaan tersebut.
“Ah, iya," kikuk Riana.
"Sebelumnya perkenalkan nama saya Riana Aisyah Humaira. Saya seorang arsitek baru di bidang ini," jelasnya mengembangkan senyum terbaik.
Semua orang masih memperhatikan. Apa ia salah bicara? Apa ada sesuatu yang aneh dalam dirinya? Riana merasakan tatapan itu berbicara.
“A-apa ada yang salah?” gugupnya takut-takut.
“Ah tentu tidak. Baiklah seperti yang sudah Anda baca dalam surat undangan itu, kami ingin bekerjasama dengan Anda untuk pembangunan galeri. Perkenalkan saya Kim YeonJin, CEO Perusahaan art collection."
Jiwa berwibawa, senyuman yang menawan, serta lesung pipi di wajahnya menambah pesona seorang pemimpin perusahaan tersebut. Untuk sesaat keadaan kembali hening. Apa mereka terpesona? Riana pun sempat menatapnya lekat dan sedetik kemudian mengalihkan tatapannya lalu beristighfar.
“Jadi, apa yang harus saya kerjakan?” tanyanya setelah sekian lama bungkam.
“Saya ingin Anda memperlihatkan kepada saya beberapa rancangan. Saya ingin membangun galeri untuk memperlihatkan lukisan bernilai fantastis itu," katanya lagi senang. Tanpa keraguan Riana mengangguk yakin.
“Baiklah, besok saya akan memperlihatkannya kepada Anda," jawab Riana tak kalah serius.
“Kalau begitu saya akan menantikannya, dan pertemuan hari ini dicukupkan saja.”
Satu persatu orang-orang yang ada di sana mulai membubarkan diri. Hingga tersisa sang pemimpin perusahaan bersama sekretarisnya.
“Hyung… apa Hyung yakin mau bekerja sama dengan wanita itu? Aku pikir arsiteknya seorang pria… tidak aku sangka ternyata seorang wanita dan berhijab pula,” ungkap si sekertaris yang duduk di hadapannya.
“Eung aku yakin. Kita bekerjasama bukan dilihat dari penampilan atau pun gander melainkan dari bakat dan kemampuan.” Tanpa sedikit pun mengalihkan tatapan dari gadget yang sedang ia pegang.
“Oh iya Jim, kita makan siang di restoran hari ini.” Ia pun bangkit dari kursi kebesarannya.
“Dan ini….” Dengan seenak jidat pria itu melemparkan benda pintar pada sang sekertaris.
“Hyung~ dasar maniak uang. Barang bagus seperti ini seenaknya saja dilempar-lempar," dumel nya.
Masa depan Riana Humaira Aisyah perlahan terbuka lebar. Cahaya menyilaukan itu memporak-porandakan kegelapan yang menguasai hati.
Dengan senyum lebar ia keluar dari bangunan besar menyambut hari esok yang bisa mengubah kehidupan. Allah memperlihatkan keajaiban. Riana sangat bersyukur mendapatkan kesempatan ini.
“Bismillah, rezeki tidak akan pernah tertukar. Allah Maha Adil dan Maha Segalanya…..lahaulla," bisik nya penuh semangat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 111 Episodes
Comments
Wini Hilal
anak bayinya siapa yg jaga
2024-04-26
0
MakBarudakh
Aq baca novelmy yg lain dl Thor..
sambil nunggu up novel MATI RASA
2024-03-29
1
Sanjaria Abubakar
mampir Thor
2024-02-20
0